Belum lama ini Pajak Pertambahan Nilai (PPN) kembali menjadi perbincangan publik. Pasalnya, pemerintah tengah berencana untuk kembali menaikkan besaran tarif PPN menjadi 12% pada 2025 mendatang.
Kenaikan ini tentu menuai banyak penolakan dari masyarakat, mengingat banyak yang beranggapan jika kenaikan PPN turut mempengaruhi harga-harga kebutuhan masyarakat.
Lantas apa itu PPN dan mengapa kehadirannya dianggap penting oleh pemerintah namun justru menjadi momok bagi masyarakat?
Apa itu PPN?
Pajak Pertambahan Nilai atau akrab disebut PPN, merupakan pajak yang dikenakan atas penyerahan barang ataupun jasa kena pajak. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga merupakan pajak yang dikenakan pada setiap tahap produksi atau distribusi barang dan jasa yang tergolong sebagai Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP).
PPN dipungut secara bertahap di setiap rantai produksi atau distribusi, mulai dari produsen, distributor, hingga pengecer, dan dibebankan kepada konsumen akhir. Pajak ini bersifat indirect tax, artinya pembayarannya dilakukan oleh konsumen akhir, meskipun pihak yang wajib memungut, menyetorkan, dan melaporkannya ke negara adalah produsen atau penjual barang/jasa tersebut.
Untuk subjek PPN adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP), baik orang pribadi maupun badan, yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP), yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN
Adapun jumlah tarif PPN yang dibayarkan berdasarkan pada Pasal 4 angka 2 UU HPP yang mengubah Pasal 7 ayat (1) UU PPN, tarif PPN adalah 11% per 1 April 2022 dan tarif PPN naik menjadi 12% per 1 Januari 2025.
Karakteristik Pemungutan PPN
Mengutip informasi publik yang diterbitkan Badan Kebijakan Fiskal, PPN memiliki beberapa karakteristik dalam pemungutannya diantaranya pemungutan PPN bersifat objektif, yaitu pemungutan PPN didasarkan pada objek pajak tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak (WP) sebagai subjek pajak.
Selanjutnya, secara ekonomis beban PPN dapat dialihkan kepada pihak lain, tetapi kewajiban memungut, menyetor, melapor ditujukan pada pihak yang menyerahkan barang/jasa. Dengan kata lain PPN juga merupakan bentuk dari pajak tidak langsung.
Selanjutnya PPN juga memiliki karakteristik Multi Stage Tax, artinya pemungutan PPN dilakukan secara berjenjang. PPN dipungut secara bertahap di setiap rantai produksi atau distribusi, mulai dari pabrikan/produsen, distributor, hingga pengecer, dan dibebankan kepada konsumen akhir.
Selanjutnya, PPN harus dipungut menggunakan faktur pajak, sehingga Pengusaha Kena Pajak (PKP) sebagai pemungut pajak harus menerbitkan faktur pajak sebagai bukti pemungutan PPN.
Terakhir, PPN bersifat Netral yang artinya PPN akan dikenakan baik atas konsumsi barang maupun jasa, dan dipungut menggunakan prinsip tempat tujuan, yaitu bahwa PPN dipungut di tempat barang atau jasa dikonsumsi.
Barang dan Jasa yang Dipungut PPN 12%
Masih merujuk pada BKF, secara umum pengenaan PPN akan dikenakan atas beberapa objek diantaranya:
- Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP). Misalnya barang elektronik yang dibeli di pusat perbelanjaan.
- Impor BKP dan/atau pemanfaatan JKP Tak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. Misalnya: layanan streaming film dan musik.
- Ekspor BKP dan/atau JKP oleh PKP. Sebagai catatan, Pengaturan cakupan BKP bersifat “negative list”, dalam artian bahwa pada prinsipnya seluruh barang merupakan BKP, kecuali ditetapkan sebagai barang yang tidak dikenai PPN.
- Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan. Misalnya, PPN atas bangunan.
- Penyerahan aktiva oleh PKP yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang PPN yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.
Dasar Pengenaan PPN
PPN terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif PPN dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang meliputi:
- Harga Jual
nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan BKP, tidak termasuk PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak
- Penggantian
nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan JKP, ekspor JKP, atau ekspor BKP Tidak Berwujud, tidak termasuk PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak; atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena impor JKP dan/atau oleh penerima manfaat dari impor BKP Tidak Berwujud
- Nilai Impor
nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan kepabeanan dan cukai untuk impor BKP, tidak termasuk PPN dan PPnBM
- Nilai ekspor
yaitu nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir
- Nilai lain
Nilai yang diatur dengan atau berdasarkan PMK hanya untuk menjamin rasa keadilan dalam hal: Harga Jual, Nilai Penggantian, Nilai Impor, dan Nilai Ekspor sukar ditetapkan; dan/atau penyerahan BKP yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak
Mengapa PPN Dianggap Penting Bagi Pemerintah?
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono, mengatakan bahwa esensi dasar dari kebijakan PPN 12 persen ini adalah, negara butuh dana dari pajak untuk dana pembangunan.
Adapun Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan, penerimaan pajak Indonesia mencapai Rp342,88 triliun sepanjang 1 Januari-15 Maret 2024. Angka ini setara dengan 17,24% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2024.
Mengingat kontribusinya yang begitu besar terhadap penerimaan pajak, maka wajar bagi pemerintah menjadikan PPN sebagai komponen penerimaan pajak yang perlu untuk dioptimalkan.
Bahkan sepanjang masa Pandemi Covid-19 tepatnya pada 2021, kinerja PPN terus mengalami peningkatan. Pada saat itu pemerintah tengah mengupayakan pemulihan ekonomi nasional pasca Pandemi Covid-19. Oleh karena itu, PPN menjadi salah satu tumpuan yang diharapkan dari kenaikan tarif yang berpengaruh positif pada penerimaan pajak. Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mengatakan bahwa penerimaan PPN sepanjang 2021 mencapai Rp551,0 trilliun yang setara 106,3% dari target awal Rp518,55 trilliun. Sedangkan saat ini (2023) penerimaan PPN telah terkerek hingga mencapai Rp764 triliun.
Namun demikian pemerintah juga perlu untuk mempertimbangkan matang-matang penaikan tari PPN ini, mengingat sifat PPN yang tak pandang bulu, tidak hanya kelompok ekonom menengah atas, golongan ekonomi akar rumput juga akan terdampak pada kenaikannya.