Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) menetapkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 % menjadi 12 % paling lambat 1 Januari 2025. Amanat Pasal 7 ayat (1) UU PPN s.t.d.t.d. UU HPP akan diterjemahkan dalam praktik sehari-hari dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.03/2024 (“PMK-131/2024”) pada 31 Desember 2024, yang merinci mekanisme dasar pengenaan pajak (DPP) dan perhitungan PPN bagi berbagai jenis Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP).
Sejak pandemi COVID-19, penerimaan negara melemah akibat turunnya aktivitas ekonomi. UU HPP kemudian hadir untuk memperkuat struktur fiskal, antara lain dengan menaikkan tarif PPN menjadi 12 %. Kenaikan satu poin persentase ini diharapkan membuka ruang anggaran lebih besar bagi belanja prioritas seperti di sektor kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur—serta membantu menekan defisit anggaran jangka menengah. Meski pemerintah belum merilis proyeksi angka resmi, penambahan 1 % tarif PPN diperkirakan dapat menambah kontribusi penerimaan cukup signifikan.
PMK-131/2024 memberikan dua skema dasar pengenaan pajak yang berlaku mulai 1 Januari 2025. Pertama, untuk BKP tergolong mewah, DPP ditetapkan sama dengan harga jual atau nilai impor sehingga perhitungan PPN langsung sebesar 12 %. Kedua, untuk BKP non-mewah, JKP, serta pemanfaatan BKP tidak berwujud dan JKP impor, dikenakan skema DPP alternatif yakni 11/12 × nilai transaksi yang menghasilkan tarif efektif 11 % meski tarif resmi secara hukum tetap 12 %. Pendekatan ini semacam “diskon” pada dasar pajak tanpa merubah tarif nominal.
BKP Mewah dan Non-Mewah
BKP mewah mencakup barang-barang bernilai tinggi sesuai PP 73/2019 jo. PP 74/2021 dan PP 61/2020, seperti mobil penumpang bermesin di atas ambang kapasitas silinder (misalnya > 1.500 cc), motor listrik dengan harga jual tinggi, hunian bernilai di atas Rp 30 miliar, kapal pesiar, pesawat pribadi, serta perhiasan dan batu mulia bernilai tinggi. Karena permintaan barang-barang ini relatif tidak elastis terhadap harga, pemerintah menerapkan tarif penuh 12 % agar penerimaan maksimal, tanpa menimbulkan beban sosial yang berarti bagi konsumen segmen premium.
Perhitungan PPN pada BKP mewah dilakukan secara sederhana, yakni DPP sama dengan harga jual atau nilai impor, kemudian PPN sebesar 12 % dikalikan DPP. Misalnya, kapal pesiar impor senilai Rp 10 miliar akan menimbulkan PPN terutang sebesar Rp 1,2 miliar (12 % × Rp 10 miliar). Prosedur ini memudahkan wajib pajak dan fiskus karena tidak memerlukan skema penyesuaian atau potongan lagi.
Berbeda dengan skema mewah, PMK-131/2024 memudahkan administrasi BKP non-mewah dan JKP lewat dasar pengenaan nilai lain. DPP dihitung sebagai 11/12 kali nilai transaksi, setelah itu PPN tetap dihitung 12 % dari DPP tadi. Secara matematis, tarif efektifnya menjadi 11 % (12 % × 11/12). Sebagai contoh, sebuah paket jasa konsultasi senilai Rp 10 juta memiliki DPP = Rp 9.166.667 (11/12 × Rp 10 juta), lalu PPN = ±Rp 1.100.000 (12 % × Rp 9.166.667). Meski tarif resmi tak berubah, mekanisme ini sangat membantu sistem akuntansi otomatis dalam menghitung PPN dengan satu rumus sederhana.
Meskipun dirancang untuk menyederhanakan, implementasi dua skema ini menghadirkan beberapa tantangan. Pertama, kesiapan sistem e-faktur dan perangkat akuntansi UMKM perlu ditingkatkan agar mendukung perhitungan 11/12 secara otomatis. Tanpa pembaruan perangkat lunak, risiko kesalahan manual dan keterlambatan pelaporan akan meningkat. Kedua, interpretasi tentang ambang batas BKP mewah dapat bervariasi antar kantor pajak daerah, sehingga perlu panduan seragam agar sengketa klasifikasi dapat diminimalkan. Ketiga, jika sosialisasi kebijakan belum merata, banyak pelaku usaha kecil yang kebingungan saat menerapkan kedua skema ini, sehingga potensi salah bayar atau kurang bayar harus diantisipasi.
Respon Pelaku Usaha
Respons pelaku usaha terhadap kebijakan ini beragam. Perusahaan besar umumnya cepat menyesuaikan sistem ERP dan e-faktur mereka, bahkan menambahkan quality-assurance internal untuk memastikan konsistensi perhitungan DPP. Sebaliknya, UMKM lebih mengandalkan jasa konsultan pajak atau beralih ke software akuntansi berbasis cloud yang otomatis menyesuaikan skema 11/12. Praktisi dan konsultan pajak sendiri aktif menyelenggarakan webinar dan pelatihan, membantu klien memahami kapan harus menggunakan DPP penuh dan kapan skema nilai lain.
Untuk memperlancar implementasi, DJP dan Kementerian Keuangan perlu mengintensifkan beberapa upaya. Pertama, pengembangan modul bimtek dan pelatihan online interaktif tentang perhitungan DPP dan PPN, lengkap dengan studi kasus nyata, akan sangat membantu pelaku usaha. Kedua, penerbitan surat edaran nasional yang menegaskan ambang batas BKP mewah di semua wilayah akan menstandarkan interpretasi dan meminimalkan variasi implementasi. Ketiga, pemerintah bisa mempertimbangkan insentif, misalnya potongan PPh final bagi UMKM yang berhasil mengadopsi sistem e-faktur terintegrasi dalam enam bulan pertama penerapan.
Secara keseluruhan, PMK-131/2024 telah memberikan kerangka teknis yang matang untuk menerjemahkan kenaikan tarif PPN 12 % menjadi praktik sehari-hari. Dengan skema DPP ganda, pemerintah berhasil menyeimbangkan kebutuhan penerimaan fiskal yang lebih besar dengan kemudahan administrasi bagi pelaku usaha non-mewah dan jasa. Keberhasilan kebijakan ini sangat tergantung pada kolaborasi antara pemerintah, otoritas pajak, dan pelaku usaha dalam menyiapkan sistem, melakukan sosialisasi, serta mematuhi ketentuan pelaporan.