Dalam upaya meningkatkan penerimaan negara, pemerintah terus mencari cara yang efektif dan adil untuk mengoptimalkan sektor perpajakan. Salah satu langkah strategis yang dipilih adalah dengan mengandalkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPN menjadi pilihan utama karena sifatnya yang dikenakan pada sektor konsumsi, menjadikannya pajak yang bersifat universal. Artinya, siapa pun, baik dari golongan masyarakat berpenghasilan rendah maupun tinggi, akan dikenakan pajak yang sama berdasarkan konsumsi mereka. Pendekatan ini memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan negara dan mencerminkan upaya pemerintah dalam memperluas basis pajak secara merata.
Meski pemerintah berpendapat bahwa kenaikan tarif PPN adalah langkah strategis untuk meningkatkan penerimaan negara, kebijakan ini tidak lepas dari pandangan skeptis. Sebagian pihak mempertanyakan apakah kenaikan tarif tersebut merupakan langkah yang ideal, terutama di tengah kondisi ekonomi Indonesia saat ini. Salah satu indikator untuk menilai dampak kebijakan ini adalah tingkat inflasi. Kenaikan tarif PPN sering kali berpotensi memicu inflasi, yang dapat memberikan tekanan tambahan pada daya beli masyarakat.
Langkah pertama kenaikan tarif PPN terjadi pada April 2022, ketika pemerintah meningkatkan tarif dari 10% menjadi 11%. Sebulan sebelum kebijakan ini diberlakukan, tingkat inflasi pada Maret 2022 tercatat sebesar 2,64%. Namun, setelah kenaikan PPN, inflasi tahunan melonjak tajam, mencapai 4,94% pada Agustus 2022. Padahal, pemerintah sebelumnya memprediksi bahwa inflasi akan tetap berada dalam target 2%–4% sepanjang 2022. Lonjakan ini menunjukkan bahwa kenaikan tarif PPN memiliki dampak langsung terhadap kenaikan harga barang dan jasa, sehingga memengaruhi keseimbangan ekonomi nasional.
Dampak inflasi yang melampaui target ini mengundang kritik terhadap kesiapan dan perencanaan kebijakan pemerintah, terutama dalam memitigasi risiko terhadap daya beli masyarakat. Dengan angka inflasi yang melebihi target, banyak pihak mempertanyakan apakah kebijakan ini sudah direncanakan dengan mempertimbangkan dampak ekonominya secara komprehensif. Kenaikan tarif PPN, meskipun bertujuan memperkuat anggaran negara, menimbulkan risiko lain yang harus dikelola dengan baik, terutama dalam menjaga stabilitas daya beli masyarakat.
Alasan Rasionalitas Pemerintah dalam Kebijakan Kenaikan PPN
Meski menuai pro dan kontra, pemerintah tetap konsisten untuk melanjutkan kebijakan kenaikan tarif PPN menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Keengganan pemerintah untuk membatalkan kebijakan ini tidak terlepas dari pilihan rasionalitas (rational choice) yang melandasinya. Namun, rasionalitas pemerintah ini sering kali bertentangan dengan pandangan sebagian masyarakat, anggota legislatif, dan pengusaha.
Pandangan pro dan kontra terhadap kebijakan ini dapat diibaratkan seperti melihat gelas berisi air setengahnya. Ada pihak yang melihat gelas itu berisi setengah penuh, sementara lainnya melihat gelas itu kosong setengahnya. Fenomena ini menunjukkan bahwa baik pihak pro maupun kontra memiliki rasionalitas terbatas (bounded rationality), yang dipengaruhi oleh sudut pandang dan kepentingan masing-masing.
Dari sudut pandang pemerintah, ada empat alasan utama yang mendasari keputusan untuk tetap melanjutkan kenaikan tarif PPN. Pertama, kebijakan PPN 12% merupakan hasil kompromi antara pemerintah dengan sebagian besar anggota DPR pada 2021, yang kemudian diatur dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dalam proses ini, hanya Fraksi PKS yang tidak menyetujui kebijakan tersebut. Kesepakatan ini didasarkan pada fakta bahwa rasio pajak Indonesia masih tergolong rendah, sehingga kenaikan tarif dan perluasan basis PPN menjadi langkah strategis untuk meningkatkan penerimaan negara.
Selain berdasarkan kompromi politik, pemerintah juga melihat pergeseran tren global sebagai alasan penting untuk mempertahankan kebijakan ini. basis pemajakan utama di dunia kini mulai bergeser dari basis penghasilan ke basis konsumsi. Sistem PPN dinilai lebih stabil dibandingkan PPh karena lebih sedikit terpengaruh oleh praktik penghindaran pajak, seperti tax avoidance dan aggressive tax planning. Dengan tarif PPN yang langsung dikalikan dengan penjualan barang/jasa, sistem ini lebih simpel dan efektif dalam menghimpun penerimaan pajak. Pergeseran ini memberikan keunggulan dalam menghadapi dinamika ekonomi global dan memastikan stabilitas penerimaan negara.
Ketiga, pemerintah menargetkan rasio pajak Indonesia mencapai 15% dari PDB dalam lima tahun setelah kebijakan PPN 12% diberlakukan. Pergeseran basis pajak dari PPh ke PPN dianggap dapat memudahkan pemerintah mencapai target ini. Dengan meningkatnya rasio pajak, pemerintah akan memiliki keleluasaan lebih besar untuk membiayai program pembangunan tanpa perlu mengandalkan utang baru. Hal ini menjadi langkah penting dalam mendukung keberlanjutan fiskal jangka panjang.
Keempat, pemerintah berusaha meredam penolakan terhadap kebijakan PPN 12% dengan memberikan berbagai insentif pajak dan nonpajak. Misalnya, insentif berupa pajak ditanggung pemerintah (DTP) dan revisi peraturan pembebasan PPN menjadi bentuk trade-off yang ditawarkan kepada masyarakat. Dengan cara ini, pemerintah mempertahankan kebijakan kenaikan tarif PPN sambil memberikan keringanan di sektor lain sebagai bentuk kompromi.
Masyarakat Diharapkan Mendukung Kebijakan Pemerintah
Kenaikan tarif PPN menjadi 12% telah melalui proses panjang yang melibatkan berbagai pihak, termasuk DPR sebagai representasi masyarakat Indonesia. Sebagai lembaga yang bertugas mewakili suara rakyat, DPR bersama pemerintah telah mempertimbangkan berbagai aspek sebelum menyetujui kebijakan ini. Langkah tersebut merupakan bagian dari upaya strategis untuk memperkuat basis penerimaan negara, sehingga dapat membiayai berbagai program pembangunan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Oleh karena itu, sebagai warga negara, kita diharapkan dapat mendukung kebijakan ini dengan memahami bahwa keputusan tersebut telah melalui mekanisme demokrasi yang mewakili kepentingan bersama.
Tidak dapat disangkal, setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah sering kali memunculkan pro dan kontra. Namun, seyogianya kita menyadari bahwa setiap keputusan pemimpin, termasuk kebijakan fiskal seperti kenaikan PPN, pada dasarnya bertujuan untuk kebaikan masyarakat. Ibarat sebuah kisah tentang kepercayaan pada rencana Tuhan, kebijakan ini pun mungkin memiliki manfaat yang tidak langsung terlihat saat ini, tetapi akan memberikan dampak positif di masa depan. Dengan bersikap lapang dada, kita dapat melihat bahwa kebijakan ini adalah bagian dari upaya kolektif untuk membangun fondasi ekonomi yang lebih kuat dan berkelanjutan.
Kisah “Tuhan Maha Tahu, Namun Dia Menunggu” karya Leo Tolstoy mengajarkan kita untuk percaya bahwa setiap tindakan atau kebijakan yang tampaknya berat di awal memiliki hikmah yang lebih besar di kemudian hari. Demikian pula dengan kebijakan kenaikan PPN, yang meskipun terasa membebani bagi sebagian masyarakat, dirancang untuk memberikan manfaat jangka panjang. Dengan menerima kebijakan ini secara positif, kita menunjukkan bahwa sebagai masyarakat, kita percaya pada rencana besar yang dirancang oleh pemerintah untuk kesejahteraan bersama. Dalam hal ini, dukungan kita menjadi bagian dari perjalanan menuju Indonesia yang lebih mandiri dan berdaya saing.
Pada akhirnya, keputusan pemerintah menunjukkan pendekatan strategis dalam meningkatkan penerimaan negara sekaligus menjaga keseimbangan fiskal. Meski menghadapi kritik, kebijakan PPN 12% diharapkan mampu memberikan dampak positif bagi stabilitas ekonomi nasional dalam jangka panjang. Dengan pendekatan yang seimbang antara kebijakan fiskal dan insentif, pemerintah berharap kebijakan PPN 12% tidak hanya meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga menjaga stabilitas sosial dan ekonomi dalam jangka panjang. Namun, keberhasilan kebijakan ini akan sangat bergantung pada implementasi yang efektif dan komunikasi yang transparan dengan masyarakat.