Setiap tanggal 21 April kita memperingati Hari Kartini. Pada momentum tersebut kita mengenang seorang pelopor emansipasi wanita yang tak hanya memperjuangkan akses pendidikan, tetapi juga menentang norma-norma sosial yang mengekang peran perempuan di ranah publik.
Meski seabad sudah berlalu, warisan pemikirannya masih cukup relevan, terutama ketika kita masih disuguhi ketimpangan yang terus berlangsung dalam berbagai aspek kehidupan.
Hari Kartini tak semestinya hanya menjadi seremoni tahunan yang dipenuhi bunga dan kebaya. Ini adalah momentum bangsa kita agar reflektif tentang sejauh mana kemajuan yang telah dicapai perempuan Indonesia dalam berbagai bidang kehidupan. Di tengah berbagai narasi kemajuan, kenyataan masih menunjukkan adanya ketimpangan struktural yang signifikan, mulai dari dunia kerja hingga akses terhadap layanan publik.
Salah satu aspek penting dan fundamental tapi sering diabaikan dalam upaya menciptakan lingkungan yang lebih berpihak pada perempuan adalah kebijakan perpajakan. Meminjam semangat Kartini, sudah saatnya kita mempertanyakan: apakah kebijakan fiskal kita juga berpihak pada cita-cita yang ia wariskan?
Penting untuk dicatat bahwa pajak bukan sekadar instrumen fiskal, namun juga merupakan refleksi dari nilai-nilai sosial yang dianut suatu negara. Sayangnya, banyak kebijakan kita masih bias terhadap gender dan cenderung memperburuk ketimpangan yang ada.
Contohnya, pajak yang dikenakan atas produk kesehatan perempuan semisal pembalut akan secara spesifik ditanggung oleh kaum perempuan. Kita juga bisa lihat minimnya insentif pajak bagi ibu yang bekerja.
Dalam teori klasik perpajakan, konsep keadilan pajak seringnya fokus pada horizontal equity (kesetaraan bagi mereka yang memiliki penghasilan yang sama) dan vertical equity (pembebanan pajak lebih besar bagi mereka yang lebih mampu). Namun, seperti yang diungkap Anthony C. Infanti dalam karya berjudul Tax Equity, perspektif tersebut mengasumsikan bahwa kesetaraan hanya berkaitan dengan besaran pendapatan.
Akibatnya, definisi keadilan pajak sekalipun tidak mempertimbangkan perbedaan struktural yang mempengaruhi akses dan peluang antara laki-laki dan perempuan. Sistem pajak yang tampak netral dari kacamata tradisional tersebut sangat mungkin tidak netral secara kenyataan sosial.
Bias gender kebijakan fiskal
Salah satu contoh nyata dari bias gender dalam perpajakan adalah beban pajak tidak langsung yang pada konteks kita misal berupa Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Seperti yang dijelaskan dalam laporan UN ESCAP (2024) bertajuk “Taxing for tomorrow”, pajak konsumsi umumnya berdampak lebih besar pada perempuan dibanding laki-laki.
Apa sebab? Alokasi pendapatan perempuan cenderung lebih banyak untuk kebutuhan rumah tangga dan barang konsumsi dasar. Pengenaan pajak terhadap produk-produk esensial yang spesifik atas keperluan perempuan semakin menunjukkan bagaimana kebijakan fiskal saat ini bisa secara tidak langsung menambah beban ekonomi mereka.
Ketidakadilan serupa juga bisa kita lihat pada Pajak Penghasilan (PPh). Desain sistem PPh kita bisa dibilang masih sangat bias terhadap perempuan. Di Indonesia, perempuan yang menjadi kepala keluarga akan cukup kesulitan memperoleh hak pajaknya.
Misalnya, perempuan yang bercerai harus melalui prosedur birokrasi yang rumit untuk sekadar bisa mengakui Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) atas anak yang masih menjadi tanggungannya. Jika tidak punya dokumen resmi seperti hak asuh dari pengadilan agama, PTKP bagi perempuan tidak otomatis bertambah. Hal berbeda dinikmati laki-laki yang statusnya dipandang sebagai kepala keluarga sehingga PTKP langsung diakui tanpa perlu proses rumit tersebut meski nyatanya ia belum tentu menanggung secara riil kebutuhan anak pasca cerai.
Kondisi di atas mencerminkan bagaimana sistem perpajakan yang tampaknya netral justru bisa mempertebal ketimpangan yang sudah ada. Tanpa adanya kebijakan yang secara eksplisit mempertimbangkan dampak gender, perempuan akan terus dinomorduakan terkait akses ekonomi dan kesejahteraan.
Transformasi nyata
Untuk mengatasi permasalahan yang ada, kebijakan fiskal kita perlu desain yang lebih adil dengan mempertimbangkan kesenjangan gender secara spesifik. Salah satu langkah konkretnya misal penghapusan pajak atas produk kesehatan perempuan seperti pembalut dan kebutuhan kesehatan reproduksi lainnya. Kebijakan tersebut telah diterapkan banyak negara.
Calderón-Villarreal (2023, dalam Taxing women’s bodies) misalnya dalam konteks di Amerika menunjukkan negara-negara yang telah mengeliminasi pajak atas produk terkait menstruasi, di antaranya Jamaika, Kanada, Saint Kitts & Nevis, Trinidad & Tobago, Guyana, Kolombia, Puerto Riko, Meksiko, Ekuador, dan Barbados. Penghapusan pajak tersebut akan mengurangi beban ekonomi perempuan, terutama mereka yang kelompok ekonominya menengah ke bawah.
Selain itu, Indonesia perlu mengadopsi kebijakan insentif pajak bagi perempuan yang kembali ke dunia kerja, terutama bagi ibu yang sebelumnya berhenti bekerja untuk mengurus anak. Bentuk insentif ini bisa berupa kredit pajak bagi pekerja perempuan atau pengurangan pajak bagi perusahaan yang menerapkan kebijakan yang ramah terhadap keluarga semisal cuti melahirkan yang lebih panjang maupun fleksibilitas waktu/tempat kerja bagi perempuan.
Sementara dari sisi pengalokasian penerimaan pajak, penting juga bagi pemerintah menerapkan gender-responsive budgeting. Kita perlu reformasi fiskal yang berangkat dari kesadaran bahwa pajak juga merupakan instrumen redistribusi yang bisa memperbaiki ketimpangan sosial.
Artinya, anggaran dari dana pajak harus juga dipertimbangkan untuk meningkatkan akses perempuan terhadap pendidikan, kesehatan, serta infrastruktur sosial yang menunjang partisipasi mereka dalam ekonomi.
Selain itu, sebagian dana dari pajak juga bisa diarahkan untuk memperluas program pelatihan keterampilan bagi perempuan di sektor-sektor strategis serta memperkuat perlindungan sosial bagi pekerja perempuan di sektor informal yang rentan terhadap eksploitasi. Tanpa perspektif yang lebih adil, sistem pajak akan terus memperkuat ketimpangan struktural yang membebani perempuan.
Maka, pertanyaannya bukan lagi apakah kita perlu perubahan, tetapi seberapa berani kita mewarisi semangat Kartini untuk berbenah. Jika kebijakan fiskal terus abai terhadap realitas yang dihadapi perempuan, maka jurang ketimpangan hanya akan semakin menganga.
Peringatan Hari Kartini seharusnya menjadi momentum agar kita berani menggeser cara pandang kita. Bahwa perempuan bukan hanya sebatas dikenang dalam pidato seremonial, namun harus diperhitungkan dalam setiap kebijakan, termasuk dalam desain perpajakan dan anggaran negara.