Pratama-Kreston Tax Research Center
No Result
View All Result
Sabtu, 21 Juni 2025
  • Login
  • Konsultasi
  • ESG
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
    • Working Paper
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Center
  • Konsultasi
  • ESG
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
    • Working Paper
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Institute
No Result
View All Result

Kebijakan Fiskal untuk Kartini Zaman Ini

Ismail KhozenbyIsmail Khozen
21 April 2025
in Artikel
Reading Time: 4 mins read
125 8
A A
0
Sumber: Freepik
152
SHARES
1.9k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Setiap tanggal 21 April kita memperingati Hari Kartini. Pada momentum tersebut kita mengenang seorang pelopor emansipasi wanita yang tak hanya memperjuangkan akses pendidikan, tetapi juga menentang norma-norma sosial yang mengekang peran perempuan di ranah publik.

Meski seabad sudah berlalu, warisan pemikirannya masih cukup relevan, terutama ketika kita masih disuguhi ketimpangan yang terus berlangsung dalam berbagai aspek kehidupan.

Hari Kartini tak semestinya hanya menjadi seremoni tahunan yang dipenuhi bunga dan kebaya. Ini adalah momentum bangsa kita agar reflektif tentang sejauh mana kemajuan yang telah dicapai perempuan Indonesia dalam berbagai bidang kehidupan. Di tengah berbagai narasi kemajuan, kenyataan masih menunjukkan adanya ketimpangan struktural yang signifikan, mulai dari dunia kerja hingga akses terhadap layanan publik.

Salah satu aspek penting dan fundamental tapi sering diabaikan dalam upaya menciptakan lingkungan yang lebih berpihak pada perempuan adalah kebijakan perpajakan. Meminjam semangat Kartini, sudah saatnya kita mempertanyakan: apakah kebijakan fiskal kita juga berpihak pada cita-cita yang ia wariskan?

Penting untuk dicatat bahwa pajak bukan sekadar instrumen fiskal, namun juga merupakan refleksi dari nilai-nilai sosial yang dianut suatu negara. Sayangnya, banyak kebijakan kita masih bias terhadap gender dan cenderung memperburuk ketimpangan yang ada.

Contohnya, pajak yang dikenakan atas produk kesehatan perempuan semisal pembalut akan secara spesifik ditanggung oleh kaum perempuan. Kita juga bisa lihat minimnya insentif pajak bagi ibu yang bekerja.

Dalam teori klasik perpajakan, konsep keadilan pajak seringnya fokus pada horizontal equity (kesetaraan bagi mereka yang memiliki penghasilan yang sama) dan vertical equity (pembebanan pajak lebih besar bagi mereka yang lebih mampu). Namun, seperti yang diungkap Anthony C. Infanti dalam karya berjudul Tax Equity, perspektif tersebut mengasumsikan bahwa kesetaraan hanya berkaitan dengan besaran pendapatan.

Akibatnya, definisi keadilan pajak sekalipun tidak mempertimbangkan perbedaan struktural yang mempengaruhi akses dan peluang antara laki-laki dan perempuan. Sistem pajak yang tampak netral dari kacamata tradisional tersebut sangat mungkin tidak netral secara kenyataan sosial.

Bias gender kebijakan fiskal

Salah satu contoh nyata dari bias gender dalam perpajakan adalah beban pajak tidak langsung yang pada konteks kita misal berupa Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Seperti yang dijelaskan dalam laporan UN ESCAP (2024) bertajuk “Taxing for tomorrow”, pajak konsumsi umumnya berdampak lebih besar pada perempuan dibanding laki-laki.

Apa sebab? Alokasi pendapatan perempuan cenderung lebih banyak untuk kebutuhan rumah tangga dan barang konsumsi dasar. Pengenaan pajak terhadap produk-produk esensial yang spesifik atas keperluan perempuan semakin menunjukkan bagaimana kebijakan fiskal saat ini bisa secara tidak langsung menambah beban ekonomi mereka.

Ketidakadilan serupa juga bisa kita lihat pada Pajak Penghasilan (PPh). Desain sistem PPh kita bisa dibilang masih sangat bias terhadap perempuan. Di Indonesia, perempuan yang menjadi kepala keluarga akan cukup kesulitan memperoleh hak pajaknya.

Misalnya, perempuan yang bercerai harus melalui prosedur birokrasi yang rumit untuk sekadar bisa mengakui Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) atas anak yang masih menjadi tanggungannya. Jika tidak punya dokumen resmi seperti hak asuh dari pengadilan agama, PTKP bagi perempuan tidak otomatis bertambah. Hal berbeda dinikmati laki-laki yang statusnya dipandang sebagai kepala keluarga sehingga PTKP langsung diakui tanpa perlu proses rumit tersebut meski nyatanya ia belum tentu menanggung secara riil kebutuhan anak pasca cerai.

Kondisi di atas mencerminkan bagaimana sistem perpajakan yang tampaknya netral justru bisa mempertebal ketimpangan yang sudah ada. Tanpa adanya kebijakan yang secara eksplisit mempertimbangkan dampak gender, perempuan akan terus dinomorduakan terkait akses ekonomi dan kesejahteraan.

Transformasi nyata

Untuk mengatasi permasalahan yang ada, kebijakan fiskal kita perlu desain yang lebih adil dengan mempertimbangkan kesenjangan gender secara spesifik. Salah satu langkah konkretnya misal penghapusan pajak atas produk kesehatan perempuan seperti pembalut dan kebutuhan kesehatan reproduksi lainnya. Kebijakan tersebut telah diterapkan banyak negara.

Calderón-Villarreal (2023, dalam Taxing women’s bodies) misalnya dalam konteks di Amerika menunjukkan negara-negara yang telah mengeliminasi pajak atas produk terkait menstruasi, di antaranya Jamaika, Kanada, Saint Kitts & Nevis, Trinidad & Tobago, Guyana, Kolombia, Puerto Riko, Meksiko, Ekuador, dan Barbados. Penghapusan pajak tersebut akan mengurangi beban ekonomi perempuan, terutama mereka yang kelompok ekonominya menengah ke bawah.

Selain itu, Indonesia perlu mengadopsi kebijakan insentif pajak bagi perempuan yang kembali ke dunia kerja, terutama bagi ibu yang sebelumnya berhenti bekerja untuk mengurus anak. Bentuk insentif ini bisa berupa kredit pajak bagi pekerja perempuan atau pengurangan pajak bagi perusahaan yang menerapkan kebijakan yang ramah terhadap keluarga semisal cuti melahirkan yang lebih panjang maupun fleksibilitas waktu/tempat kerja bagi perempuan.

Sementara dari sisi pengalokasian penerimaan pajak, penting juga bagi pemerintah menerapkan gender-responsive budgeting. Kita perlu reformasi fiskal yang berangkat dari kesadaran bahwa pajak juga merupakan instrumen redistribusi yang bisa memperbaiki ketimpangan sosial.

Artinya, anggaran dari dana pajak harus juga dipertimbangkan untuk meningkatkan akses perempuan terhadap pendidikan, kesehatan, serta infrastruktur sosial yang menunjang partisipasi mereka dalam ekonomi.

Selain itu, sebagian dana dari pajak juga bisa diarahkan untuk memperluas program pelatihan keterampilan bagi perempuan di sektor-sektor strategis serta memperkuat perlindungan sosial bagi pekerja perempuan di sektor informal yang rentan terhadap eksploitasi. Tanpa perspektif yang lebih adil, sistem pajak akan terus memperkuat ketimpangan struktural yang membebani perempuan.

Maka, pertanyaannya bukan lagi apakah kita perlu perubahan, tetapi seberapa berani kita mewarisi semangat Kartini untuk berbenah. Jika kebijakan fiskal terus abai terhadap realitas yang dihadapi perempuan, maka jurang ketimpangan hanya akan semakin menganga.

Peringatan Hari Kartini seharusnya menjadi momentum agar kita berani menggeser cara pandang kita. Bahwa perempuan bukan hanya sebatas dikenang dalam pidato seremonial, namun harus diperhitungkan dalam setiap kebijakan, termasuk dalam desain perpajakan dan anggaran negara.

Share61Tweet38Send
Previous Post

Menjamin Kredibilitas Laporan Keberlanjutan dengan ISAE 3000

Next Post

Menakar Kebijakan Pajak dalam Ajang Internasional

Ismail Khozen

Ismail Khozen

Manager Pratama Institute. Pengajar di Departemen Ilmu Administrasi Fiskal, Universitas Indonesia.

Related Posts

Kurfa Laffer dan relevansinya perpajakan di Indonesia
Analisis

Relevansi Kurva Laffer bagi Perpajakan Indonesia

20 Juni 2025
Sumber: Freepik
Artikel

Memahami Perbedaan Standar Assurance Laporan Keberlanjutan

16 Juni 2025
Sumber: Freepik
Artikel

Menanti Panduan Pelatihan ESG Nasional

2 Juni 2025
Artikel

Perpajakan Berkelanjutan di Era IFRS S1 dan S2

2 Juni 2025
Sumber: Freepik
Analisis

Pajak untuk Pemerataan Literasi

30 Mei 2025
Sumber: Freepik
Artikel

Peneliti PRINS Berbagi Perspektif Terkait Pajak Daerah dan Cukai MBDK

28 Mei 2025
Next Post
Ilustrasi ajang sepakbola internasional

Menakar Kebijakan Pajak dalam Ajang Internasional

Pajak Minimum Global

Peluang dan Studi Kasus Implementasi OECD Pillar Two di Indonesia

PBBKB

Langkah Strategis Relaksasi Tarif PBBKB di Jakarta

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Instansi Anda memerlukan jasa berupa kajian kebijakan fiskal, pajak dan retribusi daerah, penyusunan naskah akademik, ataupun jasa survei?

Atau, Perusahaan Anda membutuhkan pendampingan dalam menyusun Laporan Tahunan (Annual Report) atau Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report)?

Konsultasikan kepada ahlinya!

MULAI KONSULTASI

Popular News

  • Jika Suami Tidak Berpenghasilan, Berapa Besarnya PTKP Istri?

    1469 shares
    Share 588 Tweet 367
  • Batas Waktu Pengkreditan Bukti Potong PPh Pasal 23

    957 shares
    Share 383 Tweet 239
  • Apakah Jasa Angkutan Umum Berplat Kuning Dikenai PPN?

    932 shares
    Share 373 Tweet 233
  • Apakah Pembelian Domain Website dikenakan PPh Pasal 23?

    779 shares
    Share 312 Tweet 195
  • Iuran BPJS dikenakan PPh Pasal 21?

    737 shares
    Share 295 Tweet 184
Copyright © 2025 PT Pratama Indomitra Konsultan

Pratama Institute

Logo Pratama Indomitra
  • Antam Office Tower B Lt 8 Jl. TB Simatupang No. 1 Jakarta Selatan Indonesia 12530
  • Phone : (021) 2963 4945
  • [email protected]
  • pratamaindomitra.co.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Konsultasi
  • ESG
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
    • Working Paper
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami

© 2025 Pratama Institute - All Rights Reserved.