Presiden Prabowo Subianto menunjukkan komitmennya dalam memberdayakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Setelah menyetujui regulasi pemutihan kredit macet atau Non-Performing Loan (NPL) UMKM, melalui konferensi pers pada 16 Desember 2024, pemerintah memperkenalkan paket kebijakan stimulus 2025.
Paket kebijakan ini mencakup dua insentif yang ditujukan untuk mendorong kinerja UMKM. Pertama, pemerintah memperpanjang tarif Pajak Penghasilan (PPh) final 0,5% hingga akhir 2025. Kedua, bagi UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun, PPh akan dibebaskan. Meskipun kebijakan ini bukan hal baru dan dijadwalkan selesai pada akhir 2024, kedua insentif tersebut tetap diperlukan untuk membantu UMKM yang masih merasakan dampak negatif dari pandemi COVID-19.
Paket kebijakan ini juga berfungsi sebagai kompensasi atas kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% di 2025. Dengan begitu, pelaku UMKM diharapkan dapat lebih optimistis dalam menghadapi tantangan ekonomi di masa depan. Seperti yang ditunjukkan oleh Mario Amore dan rekan-rekannya dalam artikel bertajuk “Dispositional Optimism and Business Recovery During a Pandemic,” menjaga optimisme adalah kunci bagi dunia usaha untuk mempercepat pemulihan setelah melalui krisis.
Oleh karena itu, UMKM perlu merespons paket kebijakan ini dengan sikap yang lebih proaktif. Namun, berdasarkan pengalaman sebelumnya, pemanfaatan insentif, terutama tarif PPh final 0,5%, masih jauh dari optimal. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat bahwa dari target penyerapan insentif sebesar Rp1,08 triliun, baru sekitar 62,03% atau Rp670 miliar yang terealisasi. Ini menunjukkan bahwa masih banyak UMKM yang belum memanfaatkan insentif tersebut.
Kurangnya kesadaran tentang peraturan yang berlaku dan prosedur birokrasi yang rumit menjadi faktor utama ketidakefektifan ini. Hal ini patut menjadi perhatian mengingat banyak literatur yang menyebutkan bahwa insentif pajak merupakan bentuk dukungan finansial terbaik dari pemerintah untuk menjaga kelangsungan bisnis UMKM (Deyganto, 2022).
Urgensi dan Tantangan ESG
Pada titik ini, meskipun fungsi stabilisasi pemerintah telah berjalan, masih perlu dilakukan perbaikan lebih lanjut. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana UMKM bisa menjadi lebih tangguh dan siap menghadapi guncangan. Permasalahan yang harus diatasi tidak hanya berkaitan dengan aspek finansial, tetapi juga dengan aspek keberlanjutan seperti lingkungan (environmental), sosial (social), dan tata kelola (governance), yang dikenal dengan sebutan ESG. Sayangnya, aspek keberlanjutan ini sering kali terlupakan dalam kebijakan pengembangan UMKM.
Dengan demikian, dalam memperkuat ketahanan bisnis, UMKM tidak bisa hanya mengandalkan bantuan dari pemerintah. Para pemilik UMKM perlu mengubah manfaat finansial yang mereka terima melalui kebijakan stimulus menjadi langkah-langkah inovatif dalam strategi mereka.
Bukti dari Prianto Budi Saptono dan koleganya dalam makalah “Flourishing MSMEs: The Role of Innovation, Creative Compliance, and Tax Incentives” mendukung argumen tersebut. Studi ini, yang melibatkan 360 unit UMKM, menunjukkan bahwa pemanfaatan insentif pajak saja tidak cukup untuk membuat bisnis bertahan selama pandemi. Inovasi, terutama yang berhubungan dengan penerapan prinsip ESG, menjadi kunci untuk meningkatkan dampak positif insentif pajak terhadap ketahanan UMKM.
Penerapan prinsip ESG dalam bisnis UMKM memang terbilang baru. Banyak UMKM di Indonesia menghadapi kesulitan dalam mengintegrasikan ESG ke dalam proses produksi mereka. Kendala utama yang dihadapi adalah masalah pembiayaan. Masalah ini kemudian menimbulkan berbagai tantangan lain.
Sebagaimana diketahui, menerapkan prinsip ESG memerlukan investasi yang tidak sedikit. Karena keterbatasan dana, banyak pemilik UMKM yang cenderung menghindari kegiatan yang tidak langsung berhubungan dengan profitabilitas. Hal ini menjadi hambatan bagi mereka untuk bertransformasi menuju praktik bisnis yang lebih berkelanjutan.
Resistensi terhadap perubahan pada gilirannya mempengaruhi keputusan UMKM untuk tidak merekrut tenaga kerja berkualitas dan berpendidikan tinggi. Hal ini mengarah pada masalah internal, seperti rendahnya kemampuan dalam manajemen bisnis. Akibatnya, informasi yang dibutuhkan untuk mendukung penerapan ESG, seperti data yang valid mengenai profil perusahaan dan rantai pasok, menjadi tidak memadai.
Padahal, informasi tersebut sangat dibutuhkan oleh pemerintah untuk membantu pelaku UMKM dalam mengimplementasikan prinsip ESG. Walhasil, regulasi yang mendukung penerapan ESG tanpa memberatkan UMKM masih belum tersedia, meskipun kebutuhan untuk regulasi semacam itu sangat mendesak.
Upaya Menuju Ketahanan UMKM
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, beberapa langkah perlu dilakukan guna mendorong penerapan ESG pada UMKM.
Pertama, kebijakan stimulus yang berlaku pada 2025, seperti penghapusan NPL dan perpanjangan insentif pajak, harus dimaksimalkan. Dukungan finansial semacam ini dapat mengurangi beban UMKM untuk berinvestasi dalam praktik bisnis berkelanjutan. Oleh karena itu, birokrasi yang rumit dan persyaratan administratif yang membebani harus disederhanakan. Selain itu, sosialisasi yang lebih luas melalui seminar atau kampanye juga penting untuk memastikan lebih banyak UMKM mengetahui dan memanfaatkan program ini.
Kedua, penerapan ESG perlu dimulai dengan menyesuaikan kapasitas UMKM. Dari sisi lingkungan, UMKM dapat mengurangi limbah dengan memilih bahan baku yang lebih ramah lingkungan, mendaur ulang bahan baku yang digunakan, atau menggunakan teknologi yang hemat energi. Di sisi sosial, UMKM dapat melibatkan komunitas lokal dengan mempekerjakan tenaga kerja dari daerah sekitar dan bekerja sama dengan pemasok lokal. Dari sisi tata kelola, UMKM dapat meningkatkan pengelolaan keuangan dengan melakukan pencatatan transaksi secara teratur, menetapkan prosedur pembukuan yang jelas, dan mengawasi pengeluaran untuk memastikan transparansi.
Ketiga, pemerintah perlu melakukan pendataan langsung ke UMKM untuk merumuskan kebijakan yang lebih tepat sasaran. Dengan mendata secara lebih mendalam, pemerintah dapat merancang kebijakan yang tidak memberatkan UMKM. Selain itu, pemerintah dapat mengatur kewajiban penerapan dan pelaporan ESG secara bertahap, misalnya berdasarkan tingkat omzet UMKM.
Keempat, perguruan tinggi juga memiliki peran penting dalam memberikan pelatihan terkait penerapan ESG di tingkat UMKM. Mereka dapat mengadakan program pelatihan dan pendampingan yang bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang pentingnya ESG serta cara-cara praktis untuk mengintegrasikannya dalam operasional bisnis.
Langkah-langkah tersebut seharusnya dianggap sebagai bagian integral dari upaya memperkuat ketahanan UMKM di dalam negeri. Dengan demikian, UMKM tidak hanya menjadi pilar utama perekonomian, tetapi juga bagian dari industri yang lebih modern dan berkelanjutan. Semoga.