Penerbitan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) merupakan manifestasi nyata implementasi Pasal 35A Undang‑Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang telah direvisi, sebagaimana ditegaskan kembali melalui Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak No. SE‑05/PJ/2022 tentang Pengawasan Kepatuhan Wajib Pajak.
SP2DK bukan sekadar instrumen administratif, melainkan wujud upaya sistematis untuk menegakkan prinsip self‑assessment, di mana tanggung jawab pelaporan dan perhitungan pajak diserahkan kepada Wajib Pajak. Dengan demikian, otoritas pajak berkewajiban melakukan pembinaan dan pengawasan secara berkelanjutan agar kepatuhan tidak hanya terjadi pada saat pelaporan semata, tetapi juga terjaga dalam jangka panjang.
Dalam praktiknya, SP2DK berfungsi sebagai medium dialog yang lebih konstruktif ketimbang sekadar pemeriksaan formal. Petugas pajak khususnya Account Representative (AR) menginisiasi permintaan penjelasan melalui platform digital Coretax atau akun DJP Online. Melalui akses real time ke menu “Dokumen Saya”, Wajib Pajak menerima notifikasi elektronik dan dapat langsung mengunggah dokumen atau tanggapan. Mekanisme ini tidak hanya mempercepat proses, tetapi juga meminimalkan risiko dokumen hilang saat pengiriman fisik. Lebih jauh, interaksi berbasis digital memungkinkan kedua belah pihak mengawasi status tanggapan secara transparan, sehingga potensi miskomunikasi dapat ditekan.
Dari sisi statistik, data terbaru periode Januari–April 2025 mencatat kenaikan volume SP2DK sebesar 20 persen: dari 150.000 surat menjadi 180.000 surat dibanding periode sama tahun sebelumnya. Peningkatan signifikan ini terjadi di tengah kontraksi penerimaan pajak nasional dari Rp 330 triliun menjadi Rp 310 triliun, turun 6 persen secara year on year.
Kesenjangan antara membengkaknya jumlah SP2DK dan menyusutnya penerimaan pajak memunculkan pertanyaan krusial: apakah intensifikasi SP2DK benar‑benar efektif meningkatkan kepatuhan, atau justru menimbulkan beban administratif ekstra?
Salah satu akar permasalahan terletak pada sinkronisasi basis data antar‑instansi publik dan swasta. Meski Direktorat Jenderal Pajak berwenang mengakses berbagai sumber data mulai dari Nomor Induk Kependudukan (NIK), laporan transaksi perbankan, hingga data laporan kegiatan usaha namun hambatan teknis seperti format data yang tidak seragam dan prosedur keamanan siber yang berbeda antar lembaga kerap menimbulkan jeda waktu dan kesalahan pencocokan.
Menurut survei Asosiasi Konsultan Pajak Indonesia, kendala tersebut mendorong kenaikan biaya kepatuhan rata‑rata hingga 15 persen per korporasi pada kuartal pertama 2025. Ironisnya, alat pengawasan yang seharusnya memperbaiki kepatuhan berisiko menurunkan antusiasme Wajib Pajak akibat beban administrasi yang semakin berat.
Sejak awal 2025, Direktorat Jenderal Pajak merespons tantangan tersebut dengan meluncurkan Core Tax Administration System (CTAS), sebuah sistem back‑end terpadu yang menjaga proses bisnis dasar tetap pada data matching antara laporan SPT dan data eksternal, tetapi memperkuat interoperabilitas antarsistem.
Integrasi NIK ke lebih dari 95 persen sistem informasi pemerintah serta lembaga lain memungkinkan pemrosesan data secara real time dengan tingkat akurasi mencapai 98 persen. Di samping itu, teknologi ini mendukung penyusunan SP2DK berbasis bukti digital foto dokumen, tangkapan layar transaksi elektronik, atau laporan keuangan terverifikasi sehingga validitas permintaan jelas terukur.
Implementasi CTAS telah menurunkan rata‑rata waktu penyelesaian sengketa pajak dari 45 hari kerja menjadi sekitar 30 hari kerja. Efisiensi ini menandakan bahwa data matching otomasi dan digitalisasi dokumen benar‑benar mempercepat proses. Namun, keberhasilan teknis ini harus diimbangi dengan pendekatan manajemen risiko (risk‑based approach) yang lebih selektif.
Daripada menerbitkan SP2DK secara massal, otoritas pajak perlu memfokuskan pengawasan pada sektor, entitas, atau pola transaksi yang menunjukkan potensi risiko tinggi. Dengan begitu, jumlah SP2DK yang diterbitkan tetap terkendali dan relevan, sehingga Wajib Pajak yang benar‑benar memerlukan klarifikasi terlayani tanpa menambah beban administratif yang tidak perlu.
Untuk mendukung pendekatan ini, peningkatan kapasitas analitik data mutlak dilakukan. Direktorat Jenderal Pajak dapat memanfaatkan machine learning untuk mengenali pola abnormal dalam pelaporan SPT, misalnya lonjakan nilai klaim biaya usaha atau penyimpangan pada pos pengurangan penghasilan.
Melalui model prediktif, kriteria prioritas SP2DK dapat terus disempurnakan, memastikan bahwa surat hanya dikirimkan kepada wajib pajak yang memenuhi parameter risiko. Hal ini tidak hanya meningkatkan efektivitas pengawasan, tetapi juga mengurangi resistensi karena Wajib Pajak melihat SP2DK sebagai instrumen adil, bukan semata beban administratif.
Di tengah upaya intensifikasi dan digitalisasi, penting pula memperkuat pembinaan dan edukasi Wajib Pajak. Sosialisasi kebijakan, panduan teknis, dan pelatihan penggunaan platform digital bukan sekadar pelengkap, melainkan bagian integral dari strategi. Dengan pemahaman yang lebih baik, Wajib Pajak dapat memanfaatkan sistem untuk menyampaikan data dengan benar dan tepat waktu, sekaligus merespons SP2DK secara efisien.
Secara keseluruhan, intensifikasi penerbitan SP2DK harus dilihat sebagai bagian dari ekosistem pengawasan terpadu, yakni sistem self‑assessment, digitalisasi, data integrasi, dan risk‑based approach berpadu untuk memperkuat kepatuhan pajak. Dengan mengoptimalkan CTAS, memperluas integrasi data, dan menyaring SP2DK berdasarkan risiko, pemerintah dapat menekan compliance cost, meningkatkan kepatuhan sukarela, dan akhirnya mencapai target penerimaan negara secara adil serta berkelanjutan. Upaya ini memperlihatkan bahwa teknologi dan kebijakan administrasi pajak yang progresif dapat menjadi fondasi kuat dalam membangun sistem perpajakan modern yang responsif terhadap tantangan zaman.