Pratama-Kreston Tax Research Center
No Result
View All Result
Rabu, 21 Mei 2025
  • Login
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Center
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Institute
No Result
View All Result

Menata Ulang Kebijakan Fiskal Emas untuk Bullion Bank

Lambang Wiji ImantorobyLambang Wiji Imantoro
3 Mei 2025
in Analisis, Artikel
Reading Time: 4 mins read
132 2
A A
0
Ilustrasi Bank Emas atau Bullion Bank

Sumber: Freepik

153
SHARES
1.9k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Pemerintah resmi memperkenalkan Bullion Bank atau bank emas pada Rabu (26/2/2025). Dibentuknya bank emas merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk mengembangkan infrastruktur keuangan yang lebih terdiversifikasi dan mendukung optimalisasi pemanfaatan emas nasional.

Namun, dibentuknya bullion banking ini tentu membawa implikasi besar terhadap kebijakan fiskal, khususnya terkait perpajakan. Kabarnya, pemerintah saat ini tengah meninjau ulang skema pajak yang berlaku atas transaksi emas, termasuk kemungkinan merevisi ketentuan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas penjualan emas dari produsen kepada bank bulion.

Pembentukan bank bulion sebenarnya telah diatur melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Bila menilik pada UU P2SK, keberadaan bank bulion diharapkan mampu menciptakan ekosistem perdagangan emas yang lebih terstruktur, transparan, dan memiliki kepastian hukum yang lebih baik dibandingkan praktik perdagangan emas yang selama ini berlangsung secara konvensional.

Lantas apakah kehadiran bank bulion akan seideal yang diharapkan? Lalu, apakah tidak akan menimbulkan kompleksitas baru di ranah perpajakan?

Belum Jelasnya Aturan Perpajakan

Dalam pasal 130 UU P2SK menyatakan, bank bulion merupakan kegiatan usaha yang berkaitan dengan emas dalam bentuk simpanan, pembiayaan, perdagangan, penitipan emas, dan/atau kegiatan lainnya yang dilakukan lembaga jasa keuangan (LJK). Lebih lanjut, di Pasal 131 diatur jika lembaga jasa keuangan yang menjalankan usaha bulion wajib memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Meskipun demikian, regulasi perpajakan bagi bank bulion masih belum jelas. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 48/2023, yang dianggap menjadi acuan utama dalam penerapan perpajakan terhdap industri emas, rupanya lebih berfokus pada pajak bagi pelaku usaha emas perhiasan dan emas batangan, termasuk pemotongan pajak atas jasa terkait emas. Faktanya, aturan ini belum secara spesifik mengatur transaksi bank bulion, yang berperan sebagai institusi keuangan dalam perdagangan emas dan memiliki model bisnis yang berbeda dari pabrikan maupun pedagang emas.

Dalam aturan tersebut, setiap imbalan yang diterima dari jasa modifikasi, perbaikan, pelapisan, penyepuhan, hingga pembersihan emas dikenakan pajak penghasilan, di mana pihak yang membayar jasa wajib memotong PPh. Jenis pajaknya pun bervariasi tergantung pada siapa penerima penghasilannya. Jika diterima oleh perorangan dikenakan PPh Pasal 21, sedangkan jika diterima badan usaha dikenakan PPh Pasal 23. Selain itu, jasa-jasa terkait emas ini juga dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan skema besaran tertentu, yaitu sebesar 1,1% dari nilai penggantian.

Ketentuan perpajakan dalam PMK 48/2023 jelas ditujukan untuk mengatur kewajiban fiskal bagi pelaku usaha emas perhiasan, sehingga masih menyisakan kekosongan peraturan dalam hal pengelolaan emas sebagai instrumen finansial. Ketidakpastian regulasi ini dapat memunculkan pemasalahan dalam penerapan pajak bagi bank bulion di masa depan. Tanpa aturan yang secara khusus mengakomodasi aspek perpajakan dalam operasional bank bulion, potensi perbedaan interpretasi terkait pajak penghasilan, pajak transaksi, maupun PPN atas aktivitas yang mereka lakukan akan jadi keniscayaan.

Urgensi Penyesuaian Regulasi Bank Emas

Selanjutnya, sebagai lembaga yang tidak hanya bertransaksi emas fisik, tetapi juga mengelola emas dalam bentuk simpanan, pembiayaan, dan perdagangan berbasis keuangan, maka aturan perpajakanya perlu disesuaikan. Bank bulion tidak bisa mengikuti PMK 48/2023  yang dibuat untuk bisnis emas tradisional, sehingga diperlukan regulasi yang lebih relevan dengan model operasionalnya.

Jika aturan pajaknya tidak disesuaikan, akan ada potensi tumpang tindih dalam pengenaan pajak yang justru bisa menghambat operasional bank bulion. Sebagai contoh, tanpa penyesuaian aturan pajak, transaksi simpanan emas di bank bulion bisa saja tetap dikenakan PPh Pasal 22 seperti halnya penjualan emas fisik, padahal sifatnya lebih menyerupai produk investasi seperti tabungan.

Hal yang sama bisa terjadi pada pembiayaan emas, yang seharusnya diperlakukan seperti kredit biasa, tetapi malah dikenai pajak transaksi layaknya perdagangan emas. Jika aturan ini tidak diperjelas, akan muncul ketidakpastian bagi industri dan investor yang ingin menggunakan layanan bank bulion sebagai sarana investasi.

Terkait revisi kebijakan pajak ini, terdapat dua pendekatan yang bisa dipertimbangkan pemerintah. Pertama, penerapan PPh Pasal 22 terhadap transaksi emas dengan bank bulion sebagai bentuk penerapan prinsip equal level playing field dengan sektor usaha lainnya.

Kedua, pemberian pengecualian pajak bagi transaksi emas dengan bank bulion sebagai bentuk insentif untuk mendorong perkembangan industri ini. Kedua opsi tersebut memiliki implikasi yang berbeda terhadap daya saing bank bulion, penerimaan pajak negara, serta minat masyarakat dalam menggunakan jasa bullion banking.

Jika pemerintah menerapkan skema pertama, maka aturan ini akan menciptakan persaingan yang lebih adil dengan bisnis emas lainnya. Namun, kebijakan ini bisa membuat bullion banking kurang dilirik oleh investor, akibat biaya transaksi cenderung jadi lebih tinggi.

Di sisi lain, jika pemerintah memberikan pengecualian pajak untuk transaksi di bank bulion atau skema kedua, industri ini bisa berkembang lebih cepat karena menjadi lebih menarik bagi investor. Namun, kebijakan ini juga bisa menimbulkan ketidakadilan pajak dan akan mengurangi potensi penerimaan negara dari sektor ini.

Membangun Kepastian Regulasi

Pemerintah perlu memahami bahwa kebijakan pajak untuk bank bulion tidak boleh hanya berfokus pada insentif fiskal atau berorientasi penerimaan negara semata. Lebih daripada itu, pemerintah harus menciptakan aturan yang jelas dan stabil, sehingga pelaku usaha, investor, dan masyarakat bisa merasa aman dan yakin dalam menggunakan layanan bank bulion.

Tanpa kepastian, minat terhadap bullion banking bisa berkurang sehingga tujuan besar pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat perdagangan emas yang lebih kompetitif bisa terganggu. Karenanya, pemerintah perlu melakukan kajian mendalam, di antaranya dengan melibatkan asosiasi industri, akademisi, serta pemangku kepentingan lainnya agar skema perpajakan yang diadopsi benar-benar mencerminkan kebutuhan pasar.

Di sisi lain, pemerintah juga harus mempertimbangkan aspek integrasi kebijakan fiskal dengan strategi pengembangan pasar emas secara lebih luas. Salah satu yang perlu diperhatikan adalah bagaimana bank bulion bisa terhubung dengan mekanisme perdagangan emas di dalam maupun luar negeri.

Pada akhirnya, keberhasilan bullion banking sebagai instrumen penguatan pasar emas nasional sangat bergantung pada keberanian pemerintah dalam mengambil keputusan yang strategis dan berorientasi pada tujuan jangka panjang. Jika pemerintah ingin memastikan Indonesia tidak hanya menjadi penghasil emas tetapi juga pemain utama dalam ekosistem perdagangan emas global, maka regulasi yang diterapkan harus progresif, berpihak pada pertumbuhan industri, serta mampu menarik minat investor.

Kebijakan pajak yang tidak sinkron dan setengah hati justru akan menghambat potensi besar yang menanti dan membuat Indonesia kembali tertinggal dibanding negara lain yang lebih berani dalam mengatur sektor emasnya. Pemerintah harus totalitas dalam memimpin pasar bank emas ini.

Tags: Bank EmasBullion BankPPhPPN
Share61Tweet38Send
Previous Post

Mengejar Penerimaan Pajak di Tengah Stagnasi Perekonomian

Next Post

Standar Baru Jaminan Laporan Keberlanjutan ISSA 5000

Lambang Wiji Imantoro

Lambang Wiji Imantoro

Related Posts

Kantor DJP. Sumber: Metro TV
Analisis

Penerimaan Pajak di Bawah Kepemimpinan Baru

21 Mei 2025
Sumber: Freepik
Analisis

Setelah Retribusi, Saatnya Kualitas Layanan Dibenahi

20 Mei 2025
Artikel

Penerapan ESG dalam Dunia Usaha Indonesia: Meningkatkan Nilai atau Beban Tambahan?

20 Mei 2025
Alert to Greenwashing - concept with text against a woodland and magnifying glass
Artikel

Mengungkap Praktik Greenwashing: Kasus Coca-Cola dan Tantangan Implementasi ESG

20 Mei 2025
Artikel

Membangun Standar Nasional Assurance Keberlanjutan

20 Mei 2025
Artikel

Implementasi Tarif PPN 12% dan Skema Nilai Lain 11/12

19 Mei 2025
Next Post

Standar Baru Jaminan Laporan Keberlanjutan ISSA 5000

Menambal Jurang Fiskal : UHNWI vs Buruh

Transaksi Afiliasi

Seni Mengelola Transaksi Afiliasi

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Instansi Anda memerlukan jasa berupa kajian kebijakan fiskal, pajak dan retribusi daerah, penyusunan naskah akademik, ataupun jasa survei?

Atau, Perusahaan Anda membutuhkan pendampingan dalam menyusun Laporan Tahunan (Annual Report) atau Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report)?

Konsultasikan kepada ahlinya!

MULAI KONSULTASI

Popular News

  • Jika Suami Tidak Berpenghasilan, Berapa Besarnya PTKP Istri?

    1463 shares
    Share 585 Tweet 366
  • Batas Waktu Pengkreditan Bukti Potong PPh Pasal 23

    931 shares
    Share 372 Tweet 233
  • Apakah Jasa Angkutan Umum Berplat Kuning Dikenai PPN?

    908 shares
    Share 363 Tweet 227
  • Apakah Pembelian Domain Website dikenakan PPh Pasal 23?

    753 shares
    Share 301 Tweet 188
  • Iuran BPJS dikenakan PPh Pasal 21?

    721 shares
    Share 288 Tweet 180
Copyright © 2025 PT Pratama Indomitra Konsultan

Pratama Institute

Logo Pratama Indomitra
  • Antam Office Tower B Lt 8 Jl. TB Simatupang No. 1 Jakarta Selatan Indonesia 12530
  • Phone : (021) 2963 4945
  • [email protected]
  • pratamaindomitra.co.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami

© 2025 Pratama Institute - All Rights Reserved.