Pratama-Kreston Tax Research Center
No Result
View All Result
Rabu, 21 Mei 2025
  • Login
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Center
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Institute
No Result
View All Result

Mengejar Penerimaan Pajak di Tengah Stagnasi Perekonomian

Lambang Wiji ImantorobyLambang Wiji Imantoro
30 April 2025
in Analisis, Artikel
Reading Time: 4 mins read
124 10
A A
0
Ilustrasi penurunan penerimaan pajak

Sumber: Freepik

153
SHARES
1.9k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Melalui Undang-Undang Nomor 62 Tahun 2024 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang diperinci melalui Peraturan Presiden Nomor 201 Tahun 2025, Pemerintah resmi menetapkan target penerimaan pajak sebesar Rp2.189,3 triliun untuk 2025.

Mengutip data Kementerian keuangan (Kemenkeu), mencatat bahwa realisasi penerimaan pajak hingga akhir Februari 2025 hanya mencapai Rp 187,8 triliun, menurun sekitar 30,1 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Pada Februari 2024, penerimaan pajak tercatat sebesar Rp 269,02 triliun.

Penurunan ini turut berkontribusi pada turunnya penerimaan perpajakan secara keseluruhan hingga 24,9 persen dari Rp 320,51 triliun pada Februari 2024 menjadi Rp 240,4 triliun pada Februari 2025.. Bila menilik pada realitas industri, tantangan ekonomi global, serta sistem perpajakan yang jauh dari kata ideal, ditambahn dengan data penerimaan pajak hal ini mencerminkan jika target penerimaan pajak hanya berujung ambisi belaka. Mengapa?

Mandeknya Pertumbuhan Ekonomi

Sebelum menetapkan target penerimaan yang ambisisu, pemerintah perlu untuk menilik situasi perekonomian Indonesia. International Monetary Found (IMF) dan World Bank memprediksi pertumbuhan ekonomomi Indonesia akan terstagnasi di angka 5,1% selama 2025-2029. Ketergantungan ekonomi Indonesia pada sektor konsumsi domestik dan ekspor komoditas barang mentah, ditenggarai menjadi penyebabnya.

Apa kaitannya? Ketika porsi konsumsi domestik terlalu dominan, pemerintah pasti menghadapi keterbatasan dalam memaksimalkan penerimaan di sektor PPN, mengapa? Dalam optimalisasinya, PPN sangat bergantung pada daya beli masyarakat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kontribusi konsumsi rumah tangga mencapai 54,53 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada kuartal II 2024. Ketika daya beli mengalami stagnasi akibat perlambatan pertumbuhan pendapatan riil ataupun dikarenakan faktor inflasi, maka faktor-faktor tersebut akan semakin menekan konsumsi masyarakat di pasar domestik.

Ketika upah rill tidak dapat mengimbangi beban inflasi, hal tersebut akan menekan harga kebutuhan dan jasa, sehingga konsumsi barang dan jasa yang memiliki kontribusi signifikan terhadap PPN cenderung stagnan bahkan menurun. Ketika permintaan terhadap barang dan jasa menurun, potensi penerimaan PPN menjadi sulit dioptimalkan.

Realitanya, pendapatan riil mencerminkan daya beli masyarakat setelah memperhitungkan dampak inflasi. Ketika pendapatan nominal masyarakat tidak meningkat seiring dengan kenaikan harga barang dan jasa, daya beli mereka secara riil akan tergerus. Akibatnya penurunan daya beli tidak hanya akan berdampak pada menurunnya volume konsumsi, tetapi juga dapat mempersempit basis pemajakan. Efek dominonya, penerimaan PPN menjadi sulit untuk dioptimalkan, terutama akibat beban inflasi yang seringkali lebih dirasakan kelas menengah-bawah yang menjadi penggerak konsumsi domestik.

Selanjutnya, Ketergantungan ekspor Indonesia pada komoditas barang mentah di sektor Energi Sumber Daya Mineral seperti batu bara ataupun barang mentah lain seperti kelapa sawit juga berpengaruh terhadap stabilitas penerimaan pajak, khususnya PPh badan. Barang mentah memiliki nilai tambah yang rendah dan sangat dipengaruhi oleh harga di pasar global.

Ketika harga komoditas turun, perusahaan-perusahaan di sektor tersebut mengalami penurunan pendapatan atau bahkan kerugian. Hal ini pasti berdampak langsung pada jumlah PPh Badan yang dapat mereka setorkan, karena pajak tersebut dihitung berdasarkan laba bersih perusahaan.

Klaim tersebut bukan tanpa bukti. Penyebab utama terkontraksinya penerimaan dari sektor PPh Badan disebabkan oleh melorotnya profitabilitas sejumlah perusahaan akibat penurunan harga komoditas terutama pertambangan di pasar global. Mengutip data dari Kemenkeu, penerimaan pajak pada semester 1/2024 mengalami penurunan sebsar 7,9% yoy. Menteri Keuangan menganggap penurunan realisasi PPh badan hingga 34,5% diakibatkan turunnya profitabilitas perusahaan sebagai dampak dari turunnya harga komoditas.

Problematika tersebut semakin diperteruk oleh rendahnya nilai tambah dari barang mentah yang diekspor. Ketika komoditas ekspor hanya dijual dalam bentuk bahan baku, kontribusi sektor manufaktur hilir terhadap penerimaan pajak menjadi minim akibat tidak ada proses industri bernilai tinggi yang dilakukan di dalam negeri. Akibatnya, Indonesia kehilangan peluang untuk memanfaatkan potensi ekspor barang jadi yang bernilai lebih tinggi dari sisi pendapatan negara maupun potensi kontribusi pajaknya terutama dari pendapatan PPh dan PPN.

Sektor Informal Hambat Pertumbuhan Penerimaan

Masalah selanjutnya adalah rendahnya tax ratio Indonesia yang menyebabkan sulitnya Indonesia memperluas basis pemajakannya. Ketika tax ratio rendah hal tersebut menunjukan mayoritas aktivitas ekonomi belum masuk ke dalam cakupan sistem perpajakan. Hal tersebut berimpilikasi pada semakin menyempitnya basis pemajakan.

Selain itu, tax ratio yang rendah juga mengindikasikan adanya celah dalam pengumpulan pajak, baik disebabkan kurangnya kepatuhan, lemahnya pengawasan, atau dominasi sektor informal yang sulit dijangkau. Data dari Kemenkeu menyebut, hingga Oktober 2024 tax ratio Indonesia terhadap PDB masih terstagnasi 10,02%, bahkan menurut World Bank, Indonesia masih kesulitan untuk mencapai target tax ratio 11%.

Penyabab utama rendahnya tax ratio ialah tingginya dominasi sektor informal. BPS mencatat di 2024, tenaga kerja yang terserap ke sektor informal mencapai 59,17%. Dengan lebih dari setengah populasi tenaga kerja yang terserap ke sektor informal, aktivitas ekonomi mereka tidak tercatat dalam sistem resmi dan tidak dapat dikenai pajak secara efektif.

Tanpa mekanisme pencatatan yang formal, pelaku sektor informal jarang, bahkan tidak pernah, melaporkan penghasilan mereka untuk dikenakan pajak penghasilan (PPh) atau pajak lainnya, sehingga sulit untuk mengoptimalisasikan kontribusi PPh ataupun pajak lainnya.

Selanjutnya, dalam penelitian, Rothenberg et al. (2016), menyatakan 93% perusahaan di Indonesia bersifat informal. Hal tersebut membuktikan betapa besarnya kontribusi sektor informal terhadap perekonomian nasional, namun sayangnya tidak berbanding lurus dengan jumlah pajak yang dapat dipungut. Ketika sektor informal mendominasi, sudah pasti sektor formal menjadi satu-satunya andalan penerimaan pajak terutama dari sektor PPh.

Jika sektor formal mengalami perlambatan, karena resesi, krisis global, atau kebijakan yang problematik, maka kontribusi pajaknya akan menurun drastis. Hal ini akan langsung memengaruhi penerimaan negara karena sulitnya mengoptimalkan pemungutan pajak dari sektor informal.

Mengupayakan Perubahan

Guna mewujudkan target penerimaan pajak yang ambisius, pemerintah harus segera mengambil langkah perubahan. Optimalisasi PPN melalui penguatan daya beli masyarakat dapat dimulai dengan kebijakan pengendalian inflasi dan peningkatan pendapatan riil. Selain itu,pemerintah perlu memprioritaskan pemberian insentif fiskal untuk mendorong hilirisasi industri agar ekspor komoditas memiliki nilai tambah lebih tinggi.

Pemerintah juga harus mempercepat formalisasi sektor informal melalui integrasi digital, seperti penggunaan teknologi pencatatan keuangan sederhana yang terhubung dengan sistem perpajakan. Terakhir, pemerintah perlu meningkatkan pengawasan pajak dengan menggunakan data yang lebih akurat. Hal ini hanya dapat dilakukan melalui digitalisasi serta penerapan sistem dan pengelolaan pajak yang lebih transparan, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan.

Meski demikian, Keberhasilan penerimaan pajak tak hanya terletak pada kebijakan semata, melainkan pada kolaborasi seluruh elemen masyarakat. Tanpa adanya upaya yang konkret, Indonesia akan terjebak dalam stagnasi berkepanjangan, serta berisiko kehilangan momentum penting dalam mencapai kemajuan dan peningkatan kesejahteraan secara merata.

Tags: EkonomiPPhPPh BadanPPN
Share61Tweet38Send
Previous Post

Dilema Penerapan Pemutihan PKB

Next Post

Menata Ulang Kebijakan Fiskal Emas untuk Bullion Bank

Lambang Wiji Imantoro

Lambang Wiji Imantoro

Related Posts

Kantor DJP. Sumber: Metro TV
Analisis

Penerimaan Pajak di Bawah Kepemimpinan Baru

21 Mei 2025
Sumber: Freepik
Analisis

Setelah Retribusi, Saatnya Kualitas Layanan Dibenahi

20 Mei 2025
Artikel

Penerapan ESG dalam Dunia Usaha Indonesia: Meningkatkan Nilai atau Beban Tambahan?

20 Mei 2025
Alert to Greenwashing - concept with text against a woodland and magnifying glass
Artikel

Mengungkap Praktik Greenwashing: Kasus Coca-Cola dan Tantangan Implementasi ESG

20 Mei 2025
Artikel

Membangun Standar Nasional Assurance Keberlanjutan

20 Mei 2025
Artikel

Implementasi Tarif PPN 12% dan Skema Nilai Lain 11/12

19 Mei 2025
Next Post
Ilustrasi Bank Emas atau Bullion Bank

Menata Ulang Kebijakan Fiskal Emas untuk Bullion Bank

Standar Baru Jaminan Laporan Keberlanjutan ISSA 5000

Menambal Jurang Fiskal : UHNWI vs Buruh

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Instansi Anda memerlukan jasa berupa kajian kebijakan fiskal, pajak dan retribusi daerah, penyusunan naskah akademik, ataupun jasa survei?

Atau, Perusahaan Anda membutuhkan pendampingan dalam menyusun Laporan Tahunan (Annual Report) atau Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report)?

Konsultasikan kepada ahlinya!

MULAI KONSULTASI

Popular News

  • Jika Suami Tidak Berpenghasilan, Berapa Besarnya PTKP Istri?

    1463 shares
    Share 585 Tweet 366
  • Batas Waktu Pengkreditan Bukti Potong PPh Pasal 23

    931 shares
    Share 372 Tweet 233
  • Apakah Jasa Angkutan Umum Berplat Kuning Dikenai PPN?

    908 shares
    Share 363 Tweet 227
  • Apakah Pembelian Domain Website dikenakan PPh Pasal 23?

    753 shares
    Share 301 Tweet 188
  • Iuran BPJS dikenakan PPh Pasal 21?

    721 shares
    Share 288 Tweet 180
Copyright © 2025 PT Pratama Indomitra Konsultan

Pratama Institute

Logo Pratama Indomitra
  • Antam Office Tower B Lt 8 Jl. TB Simatupang No. 1 Jakarta Selatan Indonesia 12530
  • Phone : (021) 2963 4945
  • [email protected]
  • pratamaindomitra.co.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Konsultasi
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami

© 2025 Pratama Institute - All Rights Reserved.