Peningkatan jumlah wajib pajak yang melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan menjadi fenomena menarik dalam dunia perpajakan Indonesia. Berdasarkan laporan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), hingga 3 Maret 2025, sebanyak 6,03 juta wajib pajak telah menyampaikan SPT mereka untuk tahun pajak 2024. Angka ini menunjukkan tren positif dalam kepatuhan pajak. Namun, apakah peningkatan ini benar-benar mencerminkan meningkatnya kesadaran pajak, atau sekadar reaksi terhadap kebijakan regulasi?
Meskipun angka pelaporan meningkat, tingkat pemahaman masyarakat terhadap sistem perpajakan masih tergolong rendah. Studi dari DJP dan Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengungkapkan bahwa sekitar 70% wajib pajak belum sepenuhnya memahami kewajiban perpajakan mereka. Laporan dari OECD juga menunjukkan bahwa tingkat literasi pajak di negara berkembang, termasuk Indonesia, masih tertinggal dibandingkan negara maju. Akibatnya, banyak wajib pajak yang sekadar memenuhi kewajiban administratif tanpa benar-benar memahami bagaimana pajak yang mereka bayarkan digunakan oleh negara. Apakah rendahnya pemahaman pajak ini merupakan akibat dari kurangnya edukasi perpajakan, atau karena minimnya transparansi dalam pengelolaan pajak?
Selain itu, lonjakan pelaporan SPT belum tentu berbanding lurus dengan peningkatan penerimaan pajak. Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa meskipun jumlah wajib pajak yang melaporkan SPT meningkat dalam beberapa tahun terakhir, tidak selalu terjadi pertumbuhan yang signifikan dalam penerimaan pajak. Banyak wajib pajak hanya melaporkan SPT tanpa adanya tambahan pembayaran pajak yang besar. Apakah ini berarti masih banyak celah dalam sistem perpajakan yang memungkinkan wajib pajak menghindari pembayaran pajak secara optimal?
Faktor lain yang memengaruhi kepatuhan pajak adalah tingkat kepercayaan masyarakat terhadap otoritas pajak. Berdasarkan Teori Slippery Slope Model yang dikembangkan oleh Kirchler et al. (2008), kepatuhan pajak dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu kekuatan otoritas pajak dan tingkat kepercayaan terhadap institusi tersebut. Jika masyarakat merasa bahwa pemerintah tegas dalam penegakan hukum tetapi kurang transparan, kepatuhan pajak cenderung terjadi karena rasa takut, bukan kesadaran. Di Indonesia, kasus korupsi di lingkungan DJP serta kebocoran data pajak dalam beberapa tahun terakhir semakin mengikis kepercayaan masyarakat terhadap institusi perpajakan. Bagaimana cara pemerintah membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan?
Di sisi lain, implementasi sistem Core Tax Administration System (CTAS) yang baru diperkenalkan sejak Januari 2025 juga menghadapi tantangan. Meskipun sistem ini bertujuan meningkatkan akurasi data dan pengawasan perpajakan, berbagai kendala teknis dalam pelaksanaannya menyebabkan keterlambatan pelaporan. Oleh karena itu, peningkatan jumlah pelaporan SPT mungkin bukan mencerminkan kepatuhan pajak yang lebih baik, melainkan akumulasi wajib pajak yang baru bisa melaporkan setelah sistem berjalan lebih stabil. Apakah teknologi semacam ini benar-benar menjadi solusi dalam meningkatkan kepatuhan pajak, atau hanya memperbaiki aspek administratif semata?
Untuk meningkatkan kesadaran dan kepatuhan pajak secara berkelanjutan, Indonesia dapat mengambil pelajaran dari negara-negara maju. Jepang, misalnya, memasukkan edukasi pajak ke dalam kurikulum sekolah agar masyarakat memahami pajak sejak dini. Swedia menekankan transparansi dengan secara terbuka melaporkan penggunaan pajak kepada masyarakat, sementara Estonia mengandalkan sistem digitalisasi yang mempermudah proses pelaporan pajak. Di Amerika Serikat, pemerintah secara aktif mengadakan kampanye edukasi pajak dan menyediakan layanan konsultasi gratis, sedangkan Jerman menerapkan sanksi tegas tetapi tetap memberikan kesempatan perbaikan bagi wajib pajak yang melakukan kesalahan secara sukarela. Manakah dari pendekatan ini yang paling cocok diterapkan di Indonesia?
Baca juga : Apakah WP Dapat Melakukan Pembetulan SPT Setelah Terbitnya Surat Perintah Pemeriksaan ?
Namun, Indonesia menghadapi tantangan tersendiri yang membedakannya dari negara-negara maju tersebut. Negara seperti Swedia dan Jepang memiliki tingkat korupsi yang rendah dan sistem administrasi yang baik, sehingga transparansi dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dapat terjaga. Oleh karena itu, strategi yang diadopsi dari negara maju perlu disesuaikan dengan kondisi Indonesia, seperti memperkuat pengawasan internal di DJP, meningkatkan transparansi penggunaan pajak, serta memberikan insentif bagi wajib pajak yang patuh. Langkah apa yang seharusnya menjadi prioritas utama dalam reformasi sistem perpajakan Indonesia?
Jika Indonesia ingin meningkatkan kepatuhan pajak secara jangka panjang, langkah-langkah konkret seperti integrasi edukasi pajak dalam sistem pendidikan, peningkatan transparansi, digitalisasi layanan yang lebih efisien, serta komunikasi yang lebih baik dengan masyarakat perlu diterapkan. Namun, langkah pertama yang paling krusial adalah meningkatkan transparansi dalam pengelolaan pajak. Tanpa transparansi yang jelas, upaya edukasi dan digitalisasi sistem perpajakan tidak akan cukup untuk meningkatkan kepercayaan dan kepatuhan masyarakat terhadap otoritas pajak. Bagaimana strategi terbaik untuk mewujudkan transparansi ini agar masyarakat lebih percaya dan secara sukarela memenuhi kewajiban perpajaknya?