Menyoal Keberpihakan dalam Kebijakan Pajak

PPN

Image by freepik

Detiknews.com | 3 Januari 2025


Jakarta – Kebijakan pajak adalah manifestasi dari keberpihakan pemerintah. Dalam konteks Indonesia, kenaikan tarif 12% Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan tertundanya implementasi pajak karbon menimbulkan tanda tanya besar bagi publik. Utamanya, terkait prioritas dan komitmen pemerintah terhadap keadilan sosial, pembangunan ekonomi, dan perlindungan lingkungan.

Jika ditinjau lebih jauh, kebijakan pajak pemerintah saat ini dengan memprioritaskan kenaikan PPN ketimbang pengenaan pajak karbon mencerminkan arah keberpihakan yang lebih condong kepada kelompok masyarakat dan industri tertentu. Akibatnya, lapisan masyarakat lain akan menanggung beban yang lebih berat.

PPN adalah pajak konsumsi yang bersifat regresif. Artinya, beban pajak ini lebih besar proporsinya bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dibandingkan kelompok berpenghasilan tinggi. Saat ini, sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/2024, tarif PPN 12% memang baru berlaku untuk barang dan jasa mewah. Namun, kenaikan PPN 12% atas semua barang dan jasa kena pajak sebetulnya tinggal menunggu waktu mengingat pemerintah dapat sewaktu-waktu menerbitkan aturan kenaikan tersebut.

Meski barang kebutuhan pokok seperti beras dan telur dikecualikan dari pengenaan PPN, banyak barang dan jasa lain yang digunakan masyarakat menengah-bawah yang tetap menjadi objek PPN. Dengan tarif dinaikkan menjadi 12%, harga barang-barang akan meningkat sehingga mengurangi daya beli masyarakat kecil yang sebagian besar pendapatannya dialokasikan untuk konsumsi barang non mewah. Sebaliknya, kelompok berpenghasilan tinggi yang memiliki lebih banyak aset tidak akan terlalu terdampak oleh kenaikan tersebut.

Baca juga : Kebijakan Multitarif PPN Picu Masalah Kompleksitas

Kebijakan pajak saat ini menunjukkan keberpihakan pemerintah yang lebih besar terhadap kebutuhan fiskal jangka pendek daripada perlindungan terhadap kesejahteraan kelompok rentan. Pada akhirnya, masyarakat kecil menghadapi beban pajak yang semakin berat, sementara efek redistribusi yang diharapkan dari kenaikan penerimaan negara belum tentu dirasakan langsung oleh mereka yang membutuhkan.

Di sisi lain, mandeknya implementasi pajak karbon juga mencerminkan keberpihakan pemerintah yang lebih memprioritaskan industri emitter. Pajak karbon, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), dirancang untuk memberikan sinyal harga terhadap emisi karbon.

Pajak karbon didesain untuk mendorong industri bertransformasi menuju proses produksi yang lebih bersih dan melakukan transisi energi. Namun, hingga saat ini, kebijakan tersebut belum juga diterapkan. Hal ini menimbulkan pertanyaan publik terkait komitmen pemerintah dalam menurunkan emisi gas rumah kaca.

Penundaan implementasi pajak karbon umumnya disebabkan oleh kekhawatiran pemerintah akan dampaknya pada daya saing industri domestik, terutama yang berbasis energi fosil. Industri pembangkit listrik tenaga batu bara, misalnya, masih menjadi “anak emas” pemerintah dalam perekonomian melalui sejumlah insentif meskipun kontribusinya terhadap polusi udara dan emisi karbon sangat signifikan.

Dalam studi Timilsina (2022) berjudul Carbon Taxes disebutkan bahwa pajak karbon merupakan instrumen yang sangat efektif untuk mengurangi emisi dengan biaya yang lebih rendah dibandingkan kebijakan lain seperti subsidi energi terbarukan. Namun, di Indonesia, resistensi dari sektor industri dan sensitivitas isu kenaikan harga energi membuat kebijakan ini tampak sulit diterapkan. Hal ini dapat menggambarkan keberpihakan pemerintah pada sektor emitter dibandingkan lingkungan atau masyarakat.

Sementara itu, Jorgenson et al. (1992) dalam publikasi berjudul Carbon Taxes and Economic Welfare menyatakan bahwa pajak karbon yang didesain dengan baik sebenarnya dapat memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan sosial. Pendapatan yang dihasilkan dari pajak karbon dapat digunakan untuk program distribusi kekayaan, misalnya melalui subsidi energi bersih untuk masyarakat kecil. Akan tetapi, tanpa keberanian politik untuk menghadapi resistensi dari kelompok kepentingan, potensi tersebut menjadi sulit terwujud.

Baca juga : Serba-Serbi PPN Pasca PMK-131/2024

Kecenderungan untuk menaikkan tarif PPN dan pajak karbon yang masih mandek juga menunjukkan bahwa pemerintah lebih memilih jalan yang cepat dan mudah. Dengan menaikkan PPN, dampaknya akan secara langsung terhadap penerimaan negara. Di sisi lain, pemerintah juga terkesan menghindari upaya yang lebih sulit (pajak karbon) yang memerlukan desain kebijakan matang dan keberanian politik untuk melawan kepentingan industri besar. Ini adalah kenyataan pahit dari kebijakan pajak kita saat ini.

Pertanyaannya, sampai kapan pemerintah akan terus berpihak pada kepentingan tertentu? Kebijakan fiskal pemerintah perlu diarahkan kembali untuk memastikan keadilan sosial dan perlindungan lingkungan. Kelak, kenaikan tarif PPN mesti disertai dengan mekanisme kompensasi yang lebih adil bagi kelompok rentan, misalnya melalui peningkatan bantuan sosial atau pengurangan pajak penghasilan bagi lapisan bawah. Sementara itu, implementasi pajak karbon harus segera dilaksanakan dengan kerangka desain yang mencakup mekanisme alokasi pendapatan untuk melindungi kelompok masyarakat yang paling terdampak sekaligus restorasi lingkungan.

Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memastikan agar tidak hanya bergantung pada jenis pajak yang turut menyasar kelompok lemah. Pelaku industri yang memberikan kontribusi besar terhadap perusakan lingkungan juga mesti diminta berkontribusi lewat pajak. Di tengah situasi global yang menantang seperti krisis iklim yang terjadi saat ini, pilihan kebijakan yang berkeadilan adalah suatu keniscayaan yang memerlukan tanggung jawab moral dan politik pemerintah.

Ismail Khozen – Manajer Pratama Institute for Fiscal Policy and Governance Studies, dosen Departemen Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia


Baca artikel detiknews, “Menyoal Keberpihakan dalam Kebijakan Pajak” selengkapnya https://news.detik.com/kolom/d-7760899/menyoal-keberpihakan-dalam-kebijakan-pajak.

Pratama Indomitra
Exit mobile version