Perdagangan aset kripto dianggap sebagai komoditas yang dikenai pajak. Selain itu, penghasilan yang diperoleh dari transaksi perdagangan ini juga meningkatkan kemampuan ekonomi wajib pajak.
Sejak tahun 2022, pemerintah secara resmi telah memberlakukan pajak atas perdagangan aset kripto di Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan diperjelas melalui peraturan teknis dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68/PMK.03/2022.
Regulasi mengenai besaran pajak kripto saat ini sedang dikaji ulang oleh pihak yang berkepentingan karena dinilai terlalu tinggi. Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) juga keberatan dengan adanya pajak kripto karena industri ini masih berkembang.
Prianto Budi Saptono, praktisi pajak, akademisi, sekaligus peneliti Pratama Institute for Fiscal Policy and Governance Studies memberikan pandangan mengenai perkembangan regulasi pajak kripto di Indonesia serta langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mengoptimalkan penerimaan pajak dari perdagangan aset kripto.
Perkembangan Regulasi Pajak Kripto
Belakangan ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah membahas aturan baru terkait aspek perpajakan untuk transaksi aset kripto. Hal ini merupakan bagian dari proses pengalihan pengawasan aset kripto dari Bappebti ke OJK, yang diperkirakan akan selesai pada awal tahun 2025.
Saat ini, aset kripto masih diperlakukan sebagai komoditas, sehingga pengaturannya berada di bawah Bappebti. Namun, setelah pengawasan dialihkan ke OJK, sangat mungkin kripto akan dianggap sebagai bagian dari instrumen keuangan. “Ketika OJK menjadi pembuat kebijakan pajak atas transaksi kripto, persoalan legalitas dan hierarki hukum yang mengatur perpajakan akan muncul,” ujar Prianto.
Ia menambahkan, pajak di Indonesia harus berdasarkan undang-undang sesuai Pasal 23A UUD 1945. Undang-undang perpajakan yang berlaku memberikan amanat bahwa pengaturan teknisnya berupa Peraturan Pemerintah dan/atau Peraturan Menteri Keuangan, bukan Peraturan OJK. Sehingga, ketika OJK mengeluarkan regulasi baru, aturan tersebut harus merujuk pada undang-undang yang berlaku.
Potensi Pajak Kripto
Menanggapi pertanyaan mengenai potensi pajak kripto, Prianto menjelaskan bahwa potensi ini tergantung pada jenis pajak dan tarif yang diterapkan. Saat ini, pajak kripto diatur berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) dan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN), dengan aturan teknis dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 68/PMK.03/2022 (PMK 68/2022). Beleid ini mengatur tentang PPN dan PPh atas transaksi perdagangan aset kripto.
Berbagai jenis PPN dikenakan pada transaksi kripto tergantung pada objeknya, yaitu:
- PPN sebesar 1% dari nilai transaksi aset kripto yang diserahkan oleh penjual aset kripto;
- PPN sebesar 11% dari nilai jasa penyediaan sarana elektronik untuk transaksi kripto, oleh PPMSE (Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik);
- PPN sebesar 1,1% atas jasa verifikasi transaksi dan jasa manajemen penambangan aset kripto (mining pool).
Di sisi Pajak Penghasilan (PPh), jenis pajaknya juga beragam. Prianto merinci beberapa di antaranya:
- PPh Pasal 22 final sebesar 0,1% dari nilai transaksi penjualan aset kripto;
- PPh atas penghasilan dari penyediaan sarana elektronik untuk transaksi kripto, dengan tarif umum sesuai Pasal 17 UU PPh;
- PPh Pasal 22 final sebesar 0,1% untuk penghasilan dari penambangan aset kripto.
Akan tetapi, Prianto menegaskan bahwa potensi besar dari pajak kripto baru dapat dipastikan setelah adanya pengalihan pengawasan dari Bappebti ke OJK.
Optimalisasi Pajak dari Perdagangan Aset Kripto
Untuk mengoptimalkan pajak dari perdagangan aset kripto, Prianto menyarankan agar otoritas yang berwenang, dalam hal ini nantinya OJK, memastikan bahwa perdagangan aset kripto semakin semarak, seperti halnya transaksi aset keuangan lainnya seperti saham atau surat utang. “Transaksi perdagangan aset kripto harus diatur agar lebih terstruktur dan dioptimalkan dari sisi legalitas dan pemungutan pajak, sehingga dapat memberikan kontribusi signifikan bagi penerimaan negara,” tuturnya.
Dengan peralihan pengawasan kripto dari Bappebti ke OJK yang direncanakan selesai pada 2025, diharapkan regulasi terkait pajak kripto dapat diselaraskan dengan instrumen keuangan lainnya. Hal ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi pelaku industri serta meningkatkan potensi penerimaan negara dari sektor yang sedang berkembang pesat ini.