Pada tanggal 13 Mei 2025, Pemerintah Kota Malang mengumumkan rencana pemungutan pajak terhadap warung makan yang beroperasi di malam hari. Pernyataan ini langsung menarik perhatian publik karena menyasar sektor informal yang selama ini belum sepenuhnya terjangkau oleh sistem pajak daerah. Kebijakan tersebut dilatarbelakangi oleh temuan lapangan terkait praktik manipulasi pelaporan omzet dan potensi kebocoran Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Berdasarkan hasil inspeksi dan pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Malang, banyak pelaku usaha makanan dan minuman, termasuk warung malam, yang belum tercatat sebagai objek pajak. Lebih mengkhawatirkan lagi, ditemukan sejumlah praktik manipulasi data oleh pelaku usaha yang seharusnya sudah terdaftar sebagai wajib pajak. Salah satu modus umum adalah pelaporan omzet yang jauh lebih rendah dari realitas. Ada pelaku usaha yang sebenarnya memiliki omzet sekitar Rp100 juta per bulan, namun hanya melaporkan Rp50 juta hingga Rp70 juta. Hal ini tentu menimbulkan ketidakadilan fiskal dan mengancam efektivitas sistem pajak daerah.
Pada tahun 2024, realisasi penerimaan pajak sektor makanan dan minuman di Kota Malang tercatat mencapai Rp171 miliar. Angka ini mencerminkan kontribusi signifikan dari sektor kuliner terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Malang, dengan pajak dari warung makan yang beroperasi di malam hari menjadi salah satu sumber utama. Namun, pada tahun 2025, target penerimaan pajak diperkirakan menurun menjadi Rp163 miliar. Meskipun demikian, realisasi hingga April 2025 telah mencapai sekitar Rp54 miliar, yang menunjukkan progres positif meskipun ada penurunan target dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Penurunan target ini kemungkinan dipengaruhi oleh sejumlah faktor, termasuk kebijakan baru yang memfokuskan pada pemajakan warung makan yang beroperasi di malam hari. Meskipun penerimaan pajak untuk sektor ini mengalami fluktuasi, tetap ada potensi yang besar untuk meningkatkan kontribusi pajak dari usaha kuliner, terutama dengan pendekatan yang lebih formal dan sistematis.
Strategi Ekstensifikasi Pajak
Kondisi ini mendorong Pemkot Malang untuk mengembangkan strategi ekstensifikasi pajak, yakni memperluas basis pajak dengan menjangkau pelaku usaha yang belum terdaftar. Warung-warung malam menjadi fokus utama karena selama ini beroperasi di luar jam pengawasan umum dan seringkali berada di luar sistem formal. Bapenda Malang mendefinisikan warung malam sebagai usaha kuliner yang beroperasi di malam hari, khususnya setelah pukul 18.00 hingga dini hari, dan melayani makan di tempat. Mereka bisa berupa angkringan, pujasera, kafe, warung lalapan, hingga penjual nasi goreng keliling.
Tujuan dari kebijakan ini tidak semata-mata untuk memungut pajak, tetapi juga mendorong pelaku usaha masuk ke dalam sistem yang lebih tertib. Dengan menjadi wajib pajak, pelaku usaha terdorong untuk memiliki pencatatan keuangan yang rapi, transparan dalam pelaporan omzet, dan pada akhirnya mendapat akses ke berbagai program formal pemerintah seperti bantuan UMKM, pelatihan, hingga kredit usaha (Hartono, 2021). Pemerintah juga mendorong penggunaan sistem pencatatan digital melalui pemasangan perangkat e-tax pada mesin kasir yang secara otomatis mencatat transaksi dan mengirimkannya ke server pajak daerah, sebagaimana dijelaskan dalam studi oleh Sugiarto dan Prasetyo (2022), yang menunjukkan bahwa penggunaan teknologi dalam pencatatan transaksi dapat meningkatkan akurasi dan transparansi pajak.
Dalam sistem perpajakan Kota Malang, usaha makanan dan minuman dikenai Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) sebesar 10 persen yang dibebankan kepada konsumen. Namun tidak semua warung malam akan langsung dikenai pajak. Hanya usaha yang memiliki omzet minimal Rp5 juta per bulan yang wajib membayar pajak. Bagi usaha di bawah ambang batas tersebut, pendekatannya masih berupa pembinaan dan pendataan.
Tantangan Memajaki “Warung Malam”
Salah satu tantangan yang dihadapi adalah membedakan antara warung malam dan warung biasa. Karena istilah “warung malam” lebih bersifat fungsional daripada legal, pemerintah perlu membuat definisi operasional yang jelas. Kriteria seperti jam buka, lokasi, volume transaksi, dan jenis pelanggan bisa menjadi indikator penting (Sari, 2020). Pendekatan ini harus dilakukan hati-hati agar tidak menimbulkan diskriminasi atau ketidakadilan bagi pelaku usaha kecil, sebagaimana diungkapkan dalam penelitian oleh Setiawan dan Widodo (2019), yang menunjukkan bahwa pengklasifikasian usaha berdasarkan jam operasional harus mempertimbangkan konteks lokal dan kondisi ekonomi masing-masing daerah.
Kota Malang bukanlah daerah pertama yang mencoba memperluas basis pajak melalui sektor kuliner informal. Beberapa kota seperti Yogyakarta dan Surabaya juga pernah melakukan kebijakan serupa. Di Yogyakarta, pemerintah daerah memasang alat pencatat transaksi elektronik di beberapa angkringan dan berhasil meningkatkan kepatuhan pajak tanpa menurunkan jumlah pengunjung. Sementara di Surabaya, Dinas Pendapatan Daerah melakukan pemetaan warung dan rumah makan berdasarkan zona keramaian dan jam operasional, yang kemudian diikuti dengan sosialisasi dan pembinaan sebelum pemungutan pajak dimulai.
Efektivitas kebijakan ini sangat tergantung pada dua hal utama: sosialisasi yang menyeluruh dan kesiapan sistem. Di Kota Malang, Bapenda mengaku telah menyiapkan prosedur yang mengutamakan edukasi dan transparansi. Sebelum memungut pajak, mereka melakukan verifikasi usaha, memberikan sosialisasi kepada pemilik warung, serta menawarkan pelatihan penggunaan perangkat e-tax. Tujuannya adalah menciptakan budaya taat pajak secara sukarela, bukan karena paksaan.
Kebijakan pemajakan warung malam di Kota Malang merupakan langkah berani yang membutuhkan pendekatan hati-hati. Jika dijalankan dengan benar, ini bisa menjadi model bagi kota-kota lain dalam menangani sektor informal tanpa menekan pelaku usaha kecil. Namun jika terlalu agresif tanpa edukasi, ini bisa menimbulkan resistensi dan justru merusak kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan. Oleh karena itu, transparansi, komunikasi yang baik, dan pengawasan berbasis data menjadi kunci keberhasilan kebijakan ini.
Penulis: Muhammad Rizki Mardhi
Editor: Lambang Wiji Imantoro