Ringkasan Jawaban
Jika hotel di Singapura memiliki SKD WPLN dan tidak memiliki BUT di Indonesia, pembayaran ke hotel di Singapura tersebut tidak akan dipajaki di Indonesia. Namun, jika hotel di Singapura tersebut tidak dapat menunjukkan SKD WPLN, maka ketentuan dalam tax treaty tidak berlaku. Akibatnya atas pembayaran dari pihak di Indonesia ke hotel di Singapura akan dipotong PPh Pasal 26 dengan tarif 20% dari jumlah bruto pembayaran yang dilakukan
Pembahasan Lengkap
Terima kasih Pak Wibowo atas pertanyaannya. Pembayaran ke luar negeri dari penghasilan yang bersumber di Indonesia harus memperhatikan ada atau tidaknya tax treaty antara Indonesia dan negara yang bersangkutan. Hal ini karena adanya tax treaty berpengaruh pada hak pemajakan yang dimiliki baik oleh negara domisili dalam hal ini negara mitra perjanjian, maupun negara sumber dalam kasus adalah Indonesia.
Diketahui bahwa Indonesia dan Singapura memiliki tax treaty, artinya ketentuan perpajakan baik bagi Indonesia maupun Singapura mengacu pada peraturan tax treaty yang berlaku. Hal ini karena tax treaty dapat mengesampingkan undang-undang domestik sebagaimana asas lex specialis derogat legi generali yang berarti undang-undang yang bersifat khusus meniadakan keberlakuan undang-undang yang bersifat umum. Akan tetapi, untuk memanfaatkan fasilitas dalam tax treaty, perusahaan lawan transaksi harus memiliki Surat Keterangan Domisili (SKD) sesuai dengan Pasal 3 ayat (2) Peraturan Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2018 (“PER-25/2018”).
“Dalam hal terdapat pengaturan khusus dalam P3B, Pemotong dan/atau Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan dalam P3B sepanjang WPLN menyampaikan SKD WPLN yang berisi informasi mengenai telah terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.”
(Pasal 3 ayat (2) PER-25/2018)
SKD WPLN adalah surat keterangan berupa formulir yang diisi oleh WPLN dan disahkan oleh Pejabat yang Berwenang dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B dalam rangka penerapan P3B.
Penghasilan jasa perhotelan dapat dikategorikan sebagai business profit sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) tax treaty Indonesia-Singapura.
“The profits of an enterprise of a Contracting State shall be taxable only in that State unless the enterprise carries on business in the other Contracting State through a permanent establishment situated therein. If the enterprise carries on business as aforesaid, the profits of the enterprise may be taxed in the other State but only so much of them as is attributable to that permanent establishment.”
(Pasal 7 ayat (1) tax treaty Indonesia-Singapura)
Dalam ketentuan business profit disebutkan bahwa penghasilan yang diterima perusahaan di Singapura hanya dapat dipajaki di Singapura. Dengan demikian, penghasilan jasa hotel yang bersumber dari Indonesia yang diterima oleh hotel di Singapura hanya dapat dipajaki di Singapura dan Indonesia tidak memiliki hak pemajakan. Namun, apabila hotel di Singapura tersebut memiliki BUT di Indonesia, Indonesia memiliki hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh BUT tersebut dan yang bersumber dari Indonesia.
Dari kasus saudara, selama usaha hotel di Singapura memiliki SKD WPLN, pembayaran ke hotel di Singapura tersebut tidak akan dipajaki di Indonesia (dengan asumsi tidak ada BUT di Indonesia) sebagaimana ketentuan business profit dalam tax treaty Indonesia-Singapura. Akan tetapi, apabila hotel di Singapura tersebut tidak dapat menunjukkan SKD WPLN, maka ketentuan dalam tax treaty tidak berlaku. Akibatnya atas pembayaran dari perusahaan saudara ke hotel di Singapura akan dipotong PPh Pasal 26 sesuai dengan Pasal 26 ayat (1) huruf d “imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan” yang dipotong pajak dengan tarif 20% dari jumlah bruto pembayaran yang dilakukan. Demikian, semoga membantu