Perlunya mitigasi risiko karbon semakin mendesak, mengingat dampak signifikan yang dihasilkan oleh peningkatan konsentrasi karbon dioksida (CO2) di atmosfer. Berdasarkan Global Risk Report 2024, masyarakat global menempatkan cuaca ekstrem sebagai ancaman utama dalam satu dekade ke depan. Peningkatan emisi karbon tahunan yang terjadi di seluruh dunia berkontribusi besar terhadap fenomena cuaca ekstrem ini, seperti badai, banjir, dan kekeringan yang lebih sering dan lebih parah. Hal ini menunjukkan bahwa upaya mitigasi emisi karbon harus segera dilakukan guna meminimalkan risiko-risiko tersebut.
Tantangan lingkungan global ini mendorong pemerintah dan masyarakat untuk mempertimbangkan prinsip-prinsip tata kelola kebijakan lingkungan sebagai fondasi dalam merumuskan kebijakan mitigasi karbon. Tata kelola yang baik harus memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil tidak hanya fokus pada aspek ekonomi, tetapi juga memperhatikan dampak jangka panjang terhadap lingkungan. Prinsip-prinsip ini menjadi landasan penting dalam perumusan rancangan kebijakan mitigasi risiko karbon yang sedang disusun.
Salah satu prinsip utama dalam tata kelola kebijakan lingkungan adalah polluter-pays-principle. Prinsip ini menegaskan bahwa pihak yang menyebabkan pencemaran harus menanggung biaya pemulihannya, daripada membebankan biaya tersebut kepada masyarakat luas. Dengan kata lain, pencemar bertanggung jawab untuk mengatasi dampak dari aktivitas yang mereka lakukan.
Prinsi kedua, principle of prevention menuntut tanggung jawab negara untuk memastikan bahwa aktivitas dalam yurisdiksi mereka tidak menimbulkan kerusakan lingkungan di negara lain, guna menghindari dampak lintas batas yang merugikan.
Prinsip ketiga, precautionary principle menyarankan adanya tindakan pencegahan yang diperlukan jika terdapat potensi risiko kerusakan lingkungan jangka panjang yang belum sepenuhnya dipahami. Prinsip ini menekankan pentingnya kehati-hatian dalam pengambilan keputusan, terutama ketika dampak masa depan sulit diprediksi.
Prinsip terakhir, common but differentiated responsibilities, menyatakan bahwa meskipun semua negara bertanggung jawab untuk menjaga lingkungan, tingkat keterlibatan mereka dapat berbeda tergantung pada tingkat pembangunan sosial dan ekonomi masing-masing negara.
Sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut, pemerintah Indonesia saat ini sedang merancang kebijakan pajak karbon sebagai salah satu langkah mitigasi risiko karbon. Pajak karbon dipandang sebagai instrumen ekonomi yang efektif untuk mengendalikan emisi karbon, karena mendorong pelaku usaha dan masyarakat untuk mengurangi emisi dan beralih ke teknologi yang lebih ramah lingkungan. Kebijakan ini diharapkan tidak hanya akan mengurangi emisi, tetapi juga mendukung transisi menuju ekonomi hijau yang lebih berkelanjutan.
Rancangan Kebijakan Pajak Karbon
Rancangan kebijakan pajak karbon di Indonesia diatur dalam UU No 7 Tahun 2021 (UU HPP), dengan beberapa poin penting yang menjadi perhatian.
Pertama, tarif pajak karbon akan ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga karbon di pasar karbon, dengan tarif paling rendah sebesar Rp30,00 per kilogram CO2e.
Kedua, basis pengenaan pajak mencakup pembelian barang-barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu selama periode tertentu.
Ketiga, implementasi pajak karbon akan dilakukan secara bertahap, dimulai dengan pendekatan cap and tax yang nantinya akan diperluas sesuai dengan peta jalan pajak karbon dan peta jalan pasar karbon yang telah disusun.
Terakhir, penerimaan dari pajak karbon akan dimanfaatkan untuk mendukung upaya pengendalian perubahan iklim dan proyek-proyek lingkungan lainnya.
Pada akhirnya, rancangan kebijakan pajak karbon ini menunjukkan komitmen pemerintah Indonesia dalam mitigasi risiko karbon, serta memperlihatkan peran aktif Indonesia dalam Paris Agreement on Climate Change. Dengan kebijakan ini, Indonesia tidak hanya mengambil langkah penting dalam mengurangi emisi karbon domestik, tetapi juga turut berkontribusi dalam upaya global untuk mengatasi perubahan iklim.