Hanya dalam dua hari sejak kebijakan penertiban pengecer elpiji 3 kg diterapkan, masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia mulai menghadapi kelangkaan gas subsidi. Antrian panjang yang terjadi mencerminkan kurangnya perencanaan transisi yang efektif dalam implementasi kebijakan ini. Fenomena ini semakin menegaskan perlunya reformasi subsidi energi, terutama skema distribusi elpiji.
Jika melihat data tahun 2024, pemerintah mengalokasikan subsidi energi sebesar Rp189,1 triliun, di mana Rp87,4 triliun diperuntukkan bagi elpiji 3 kg, suatu jumlah yang melampaui subsidi untuk sektor energi lainnya, seperti bahan bakar minyak tertentu (JBT) dan listrik. Sebenarnya, pemerintah sudah lama menyadari bahwa skema subsidi energi yang berlaku saat ini masih jauh dari prinsip keadilan.
Sebagaimana dijelaskan dalam publikasi Toft et al. (2016) berjudul International Experiences with LPG Subsidy Reform, pola subsidi elpiji di Indonesia cenderung regresif. Di sini, kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi justru memperoleh keuntungan lebih besar dibandingkan kelompok miskin, yang seharusnya menjadi prioritas utama dalam penerimaan subsidi.
Masalah Struktural
Sejak diluncurkannya program konversi minyak tanah ke elpiji pada 2007, konsumsi elpiji meningkat pesat. Namun, praktik subsidi yang berlaku selama ini punya kelemahan mendasar, yaitu semua orang bisa membeli elpiji 3 kg dengan harga subsidi.
Publik rasa-rasanya belum lupa ketika beberapa waktu lalu seorang selebriti terkenal menjadi sorotan ketika di rumahnya ada elpiji hijau. Elpiji subsidi yang bisa diakses semua orang, termasuk oleh mereka yang tidak berhak, menimbulkan sejumlah masalah pelik.
Pertama, subsidi yang sifatnya universal justru mendorong konsumsi berlebihan dari rumah tangga berpenghasilan tinggi maupun pelaku usaha yang seharusnya tidak berhak. Studi yang dilakukan oleh Coady et al. (2015) berjudul The unequal benefits of fuel subsidies revisited menunjukkan temuan menarik. Di negara-negara berkembang, mereka di piramida pendapatan tertinggi justru menerima manfaat subsidi elpiji lebih dari enam kali lipat dibanding kelompok pendapatan terendah.
Kedua, kebocoran subsidi melalui jalur distribusi tak resmi semakin memperparah masalah. Tanpa mekanisme kontrol yang ketat, praktik penimbunan dan penyalahgunaan elpiji subsidi oleh pihak yang tidak berhak bisa semakin marak.
Kasus kelangkaan yang terjadi baru-baru ini menunjukkan bahwa ketika pemerintah mencoba menertibkan pengecer tak resmi, distribusi elpiji justru terganggu karena sistem yang selama ini berjalan informal tiba-tiba dihentikan tanpa solusi alternatif.
Ketiga, skema harga yang stagnan selama lebih dari satu dekade membuat beban keuangan pemerintah terus meningkat. Sejak 2009, harga elpiji 3 kg di angka Rp5.000 per kg. Harga eceran elpiji 3 kg beberapa hari lalu di Jabodetabek masih di sekitar Rp22.000, atau tidak mengalami kenaikan berarti.
Harga tersebut jauh di bawah harga pasar yang semestinya. Akibatnya, subsidi elpiji terus membengkak hampir dua kali lipat dari awalnya sebesar Rp48,97 triliun di 2014 sehingga semakin membebani anggaran negara.
Reformasi Bertahap dan Terencana
Berbagai negara telah melakukan reformasi subsidi elpiji secara lebih terarah dan bertahap. Misal, Meksiko menerapkan kenaikan harga elpiji secara bertahap sebesar 7-8 persen per tahun sejak 2010. Thailand menghapus subsidi elpiji pada 2014 meski tetap memastikan harga tetap stabil melalui intervensi pemerintah yang terukur.
Lain halnya dengan Peru dan El Salvador. Di sana, subsidi langsung diberikan secara tunai kepada rumah tangga yang memenuhi syarat saat mereka membeli elpiji. Di India, subsidi disalurkan langsung ke rekening penerima manfaat yang telah terverifikasi demi meminimalkan risiko korupsi di rantai distribusi.
Pelajaran yang bisa kita ambil dari pengalaman negara-negara lain adalah bahwa reformasi subsidi tidak bisa dilakukan secara mendadak tanpa strategi yang jelas. Ada tiga prinsip utama yang bisa diterapkan pemerintah terkait reformasi subsidi elpiji di Indonesia.
Pertama, membuat sistem targeting secara efektif. Alih-alih bisa diakses semua orang, subsidi perlu difokuskan pada kelompok yang benar-benar membutuhkan.
Pemberian subsidi bisa dipertimbangkan melalui skema bantuan langsung tunai berbasis data penerima manfaat yang valid. Skemanya di lapangan bisa berupa kartu atau barcode subsidi khusus yang hanya diperuntukkan bagi rumah tangga miskin.
Penentuan siapa penerima manfaat yang paling berhak akan cukup menantang. Namun, pemerintah bisa membuat indikator seperti konsumsi listrik mereka kurang dari 90 kWh rata-rata per bulan. Kemudian, konsumsi elpiji dibatasi hingga 6 kg setiap bulannya untuk rumah tangga, atau tiga kalinya untuk usaha kecil.
Kedua, reformasi kebijakan distribusi. Strategi distribusi elpiji diperlukan untuk memastikan kelancaran pasokan serta menghindari ketimpangan akses.
Agar kebijakan baru distribusi berjalan efektif dan tidak memicu kelangkaan, pemerintah perlu memastikan jumlah pangkalan resmi yang memiliki NIB cukup untuk menjangkau seluruh wilayah, terutama daerah terpencil dan pelosok yang masih sangat bergantung pada pengecer kecil.
Waktu satu bulan yang diberikan kepada semua pengecer untuk memiliki NIB sangat tak masuk akal. Akibat pangkalan resmi terbatas, masyarakat kesulitan mendapatkan elpiji dengan harga yang wajar.
Dalam reformasi distribusi elpiji di berbagai negara, masa transisi menjadi kunci keberhasilan implementasi. Pemerintah harus memberikan waktu yang cukup bagi masyarakat untuk beradaptasi dengan sistem baru, termasuk melakukan sosialisasi yang masif terkait cara memperoleh elpiji bersubsidi di pangkalan resmi.
Ketiga, melakukan penyesuaian harga secara bertahap. Harga elpiji harus secara perlahan dibuat agar mendekati harga pasar untuk mengurangi beban subsidi tanpa menimbulkan gejolak sosial yang besar.
Pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan penyesuaian harga elpiji melalui perencanaan matang. Kenaikan harga yang dilakukan secara bertahap akan memberi masyarakat cukup waktu untuk beradaptasi, sekaligus memungkinkan pemerintah mengevaluasi dampaknya terhadap kelompok rentan.
Reformasi distribusi elpiji perlu dilakukan secara fleksibel, dengan evaluasi berkala untuk menyesuaikan kebijakan berdasarkan data di lapangan. Jika didapati masalah seperti aksesibilitas atau kelangkaan, pemerintah harus merespons segera melalui kebijakan mitigasi yang tepat.
Komitmen Pemerintah
Selain aspek teknis, strategi komunikasi juga menjadi faktor kunci bagi keberhasilan reformasi subsidi elpiji. Pemerintah perlu mengedukasi masyarakat terkait urgensi pengurangan subsidi. Misal dengan menunjukkan bagaimana pengalihan dana subsidi digunakan untuk program pembangunan yang lebih berdampak luas seperti infrastruktur atau bantuan sosial yang lebih terarah.
Perlu disampaikan juga ke publik bahwa reformasi subsidi elpiji bukan hanya soal efisiensi fiskal pemerintah. Kebijakan ini sarat akan keadilan sosial sekaligus keberlanjutan energi. Setiap rupiah yang dikeluarkan untuk subsidi yang tak tepat sasaran adalah bentuk ketidakadilan bagi mereka yang benar-benar membutuhkan.
Saat ini, pemerintah dihadapkan pada pilihan sulit, antara tetap mempertahankan subsidi umum yang boros secara anggaran, atau mengambil langkah berani dengan reformasi bertahap demi memastikan subsidi tepat sasaran. Kelangkaan elpiji yang terjadi baru-baru ini adalah bukti bahwa sistem yang ada perlu perubahan fundamental.
Sejarah menunjukkan bahwa reformasi subsidi selalu menjadi keputusan yang penuh tantangan. Namun, keberanian untuk berubah merupakan satu-satunya jalan untuk menciptakan sistem yang lebih adil dan berkelanjutan. Pemerintah harus mengkomunikasikan dan membuktikan bahwa reformasi energi bukan sekadar wacana melainkan komitmen nyata untuk masa depan yang lebih baik.
Artikel ini telah terbit di Kompas dengan judul “Meniti Jalan Reformasi Subsidi Elpiji”