Bisnis Indonesia | 31 Januari 2023
Penulis: Dwi Purwanto (Governance Analyst di Pratama-Kreston Tax Research Institute)
Beberapa waktu lalu, Kejaksaan Agung menetapkan direktur dan mantan direktur salah satu BUMN Karya sebagai tersangka terkait dengan kasus dugaan korupsi penyimpangan penggunaan fasilitas pembiayaan dari bank.
Penetapan tersangkan oleh Kejagung itu menjadi titik masuk Kementerian Badan Usaha Milk Negara (BUMN) membenahi tata kelola perusahaan atau program bersih-bersih BUMN.
Menurut Kejagung, peran tersangka adalah menyetujui pencairan dana supply chain financing (SCF) dengan dokumen pendukung palsu. Sementara itu, untuk menutupi perbuatannya, dana hasil pencairan SCF seolah-olah dipergunakan untuk pembayaran utang vendor yang belakangan diketahui fiktif sehingga mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara.
Kasus ini menjadi bukti budaya korporasi di BUMN masih kental diwarnai dengan budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang memicu terjadinya fraud hingga menyebabkan kerugian negara. Kasus korupsi yang terungkap menunjukkan bahwa persoalan integritas masih menjadi masalah di BUMN.
Agar kembali pada tujuan didirikannya BUMN yaitu memenuhi kebutuhan masyarakat dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat, Kementerian BUMN perlu menata ulang penerapan dan sistem tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance (GCG).
Penerapan GCG
Menurut Marciano et all. (2018), GCG adalah seperangkat aturan yang berkaitan dengan proses pengendalian perusahaan, yang melibatkan seluruh stakeholders untuk menjamin terselenggaranya kinerja perusahaan dalam mencapai visi misi perusahaan.
Penerapan GCG yang efektif merupakan langkah untuk mencegah, menghambat, dan mempersulit seseorang melakukan tindak pidana korupsi. Namun, kredo GCG tampaknya hanya “lipstik” untuk beberapa BUMN.
Mereka menyatakan kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku dengan menetapkan pedoman GCG di masing-masing BUMN. Namun, dalam pelaksanaannya, ketentuan itu hanya sebatas dicatat tanpa perlu diimplementasikan.
Dalam rangka mengefektifkan GCG, khususnya pengendalian korupsi di BUMN dilakukan melalui kebijakan pengendalian gratifikasi, whistleblowing system (WBS), pengelolaan benturan kepentingan, laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN), pedoman perilaku, dan ISO 37001 (Sistem Manajemen Anti-Suap/Kebijakan SMAP).
Hanya, implementasi kebijakan pengendalian korupsi di BUMN belum efektif. Meskipun program pengendalian gratifikasi telah diatur secara khusus, implementasinya perlu ditingkatkan. Insan BUMN juga harus berani menolak atau melaporkan gratifikasi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi melalui Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG).
Untuk menjembatani dan memfasilitasi karyawan dan stakeholders yang mengetahui adanya korupsi atau penyalahgunaan wewenang, setiap BUMN juga telah menyediakan WBS. Namun, WBS masih memiliki kelemahan dari aspek perlindungan pelapor dan tindak lanjut pelaporan.
Perusahaan harus menjamin perlindungan bagi pelapor dari segala ancaman, intimidasi, atau tindakan tidak menyenangkan dari pihak manapun akibat melaporkan suatu pelanggaran. Perusahaan juga wajib menindaklanjuti setiap pengaduan yang masuk meskipun laporan tersebut tidak mencantumkan identitas.
Seperti halnya pengendalian gratifikasi, sebenarnya benturan kepentingan telah diatur secara khusus. Namun, penanganan benturan kepentingan yang melibatkan BUMN masih menghadapi kendala, seperti tidak adanya aturan tegas mengenai sanksi bagi pejabat BUMN yang terbukti melakukan transaksi benturan kepentingan.
Ketidaktegasan sanksi menyebabkan pengambil keputusan tidak dapat berbuat banyak dalam menjatuhkan sanksi. Untuk itu, pemerintah diharapkan melakukan reformasi dengan menerbitkan regulasi yang lebih detail mengenai benturan kepentingan, terutama mengenai pengenaan sanksi terhadap pejabat BUMN yang terbukti melakukan transaksi benturan kepentingan.
Terkait LHKPN, sistem e-LHKPN yang dibentuk KPK patut diapresiasi. Oleh karena itu, pejabat pengelola LHKPN harus lebih serius dalam mengawasi pelaksanaan penyampaian LHKPN. Selain itu, jika penyelenggara negara yang lalai tidak menyampaikan LHKPN, atasan penyelenggara negara harus mengingatkan dan memberikan sanksi kepada pejabat tersebut.
Sementara itu, penerapan pedoman perilaku juga memiliki beberapa permasalahan, salah satunya adalah ketidaktegasan dalam memberikan sanksi terhadap pelanggaran pedoman perilaku. Beberapa alasan tidak tegasnya sanksi tersebut antara lain karena tidak tega, rasa kekeluargaan, dan menjaga nama baik perusahaan.
Penerapan pedoman perilaku akan efektif jika sistem reward dan punishment dapat dilaksanakan secara adil dan sesuai peraturan yang berlaku.
Dengan mengefektifkan GCG di BUMN dan seluruh BUMN, maka potensi BUMN dieksploitasi melalui praktik korupsi akan dapat diminimalkan.
Artikel ini telah tayang di laman Bisnis Indonesia dengan judul Mengefektifkan GCG di BUMN dengan tautan https://bisnisindonesia.id/article/opini-mengefektifkan-gcg-di-bumn pada 31 Januari 2023