Bisnis Indonesia | 11 Oktober 2021
Misi pemerintah untuk mengubah struktur penerimaan pajak dari Pajak Penghasilan Badan ke Pajak Pertambahan Nilai akan dilaksanakan pada tahun depan. Akan tetapi, ambisi ini menghadapi tantangan yang berat, baik dari sisi administrasi maupun daya beli.
Perubahan struktur tersebut terefleksi di dalam Rancangan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pekan lalu.
Dalam beleid itu, pemerintah berusaha untuk memangkas ketergantungan penerimaan negara dari Pajak Penghasilan (PPh) Badan atau pajak korporasi dan memaksimalkan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Hal ini dilakukan dengan menaikkan tarif PPN menjadi 11% per 1 April tahun depan. Persoalannya, estimasi hasil penghitungan prospek penerimaan PPN pada tahun depan sangat penuh dengan tantangan.
Hantu penggerusan daya beli membayangi pencapaian potensi penerimaan dari pajak konsumsi yang diestimasi meningkat sangat tajam.
Berdasarkan penghitungan yang dilakukan Bisnis, potensi penerimaan PPN pada tahun depan mencapai Rp1.018,64 triliun.
Angka itu diperoleh dengan menggunakan asumsi tarif sebesar 11% dengan porsi konsumsi terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 60%, dan mengesampingkan adanya fasilitas pembebasan PPN.
Asumsi kontribusi sektor konsumsi terhadap PDB mengacu pada data realisasi pada tahun lalu yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS).
Pada tahun lalu, kontribusi sektor ini terhadap PDB sangat dominan yakni mencapai 57,66%.
Sementara itu, belanja perpajakan atau tax expenditure yang dialokasikan pemerintah untuk PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) pada tahun lalu tercatat senilai Rp140,4 triliun.
Artinya, dengan mengurangi porsi belanja perpajakan, potensi penerimaan PPN diperkirakan secara neto mencapai Rp878,24 triliun.
Jumlah tersebut setara dengan 62,67% dari total estimasi penerimaan pajak setelah implementasi UU HPP pada 2022 yang mencapai Rp1.401,3 triliun.
Estimasi peneriman PPN itu juga melejit hingga 95,86% dibandingkan dengan realisasi pada tahun lalu yang hanya mencapai Rp448,39 triliun. Capaian Rp448,39 triliun itu pun gabungan antara PPN dan PPnBM.
Sejumlah pemerhati pajak menilai, pertumbuhan target penerimaan pada tahun depan yang ditetapkan oleh pemerintah cukup menantang.
Terlebih, daya beli masyarakat masih rentan akibat tekanan pandemi Covid-19 yang melanda sejak tahun lalu.
Pemerhati Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji mengatakan, pencapaian target pada tahun depan sangat dipengaruhi oleh bayang-bayang risiko pola positivity rate dan skenario pengendalian pandemi Covid-19.
“Jika hal tersebut belum bisa dikelola dengan baik maka akan terdapat tekanan terhadap aktivitas ekonomi, yang kemudian berdampak bagi penerimaan pajak,” kata Bawono kepada Bisnis, akhir pekan lalu.
Hal senada disampaikan Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono. Menurutnya, potensi dari penerimaan PPN sangat tergantung pada kondisi ekonomi.
Musababnya, pertumbuhan ekonomi didorong oleh geliat konsumsi yang selama ini menjadi mesin penggerak utama. Sejalan dengan meningkatnya tarif PPN maka akan berdampak pada penggerusan daya beli masyarakat yang pada ujungnya berisiko menghambat laju konsumsi.
Prianto menjelaskan, basis pemajakan PPN adalah konsumsi dalam negeri sehingga pertumbuhan ekonomi nasional dapat memberikan acuan atau gambaran mengenai prospek perolehan pajak dari PPN.
“Ketika transaksi ekonomi meningkat, pertumbuhan ekonomi secara umum meningkat, dan PPN pun meningkat,” kata dia. Di sisi lain, tarif PPN sebesar 11% baru diimplementasikan pada 1 April 2022.
Artinya pada Januari sampai dengan Maret tahun depan pajak atas konsumsi masih mengacu pada tarif lama yang selama ini berlaku yakni sebesar 10%.
ADMINISTRASI
Sementara itu, tantangan lain yang perlu diwaspadai adalah dari sisi administrasi pajak. Pasalnya, perubahan kebijakan PPN yang baru berimplikasi pada banyaknya pelaku bisnis yang menjadi pengusaha kena pajak (PKP).
Prianto mengatakan dari sisi otoritas pajak, administrasi kantor pajak akan meningkat sejalan dengan makin banyaknya pelaku usaha yang menjadi PKP, sehingga wajib melakukan penyetoran, pelaporan, dan pengawasan kepatuhan pajak.
“Ini akan meningkatkan administration cost. Dari sisi masyarakat, makin banyak PKP karena objek PPN diperluas akan meningkatkan biaya kepatuhan pajak [compliance cost],” kata dia.
Sejalan dengan itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengklaim kebijakan PPN tidak akan menggerus daya beli masyarakat. Pasalnya, dalam skema ini pemerintah memberikan fasilitas pengecualian.
Fasilitas pembebasan PPN diberikan terhadap barang kebutuhan pokok jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, dan beberapa jenis jasa lainnya.
“Masyarakat berpenghasilan menengah dan kecil tetap tidak perlu membayar PPN atas konsumsi kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, dan layanan sosial,” kata Menkeu.
Menurut Sri Mulyani, pemberian fasilitas PPN diberikan agar lebih mencerminkan keadilan dan tepat sasaran, serta tetap menjaga kepentingan masyarakat dan dunia usaha.
Otoritas fiskal juga memberlakukan tarif khusus untuk kemudahan dalam pemungutan PPN atas jenis barang jasa tertentu atau sektor usaha tertentu.
Besaran tarif khusus yang dimaksud adalah PPn Final dengan tiga opsi tarif, yakni 1%, 2%, dan 3% dari peredaran usaha yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
“Tujuan kebijakan ini yaitu untuk optimalisasi penerimaan negara dengan tetap mewujudkan sistem perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian hukum,” ujar Menkeu.
Artikel ini telah tayang dilaman SFConsulting.co.id dengan link https://www.sfconsulting.co.id/sf/?mod=berita&page=show&stat=&id=17502&q=&hlm=12 pada 11 Oktober 2021