CNBC Indonesia | 02 Juli 2024
Jakarta, CNBC Indonesia – Tanda-tanda ekonomi Indonesia tengah dalam masalah semakin bermunculan. Setelah beberapa waktu lalu nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terkapar hingga menyentuh level di atas Rp 16.400 dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bertebaran, kini muncul tanda pelemahan daya beli masyarakat.
Pelemahan ini tercermin dari kondisi deflasi selama dua bulan berturut-turut. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) deflasi telah terjadi dalam dua bulan berturut-turut. Terbaru ialah data per Juni 2024 yang deflasi sebesar 0,08%, semakin dalam dari posisi per Mei 2024 yang deflasi 0,03%.
Deflasi beruntun ini menjadi pertanda bahwa daya beli masyarakat mulai turun, menyebabkan permintaan barang anjlok dan pada akhirnya menurunkan tekanan harga yang terjadi bulan-bulan sebelumnya.
“Deflasi itu indikasi dari daya beli masyarakat menurun,” kata Ekonom dari Universitas Indonesia Ninasapti Triaswati dalam Program Profit CNBC Indonesia, Senin (1/7/2024).
Ninasapti menjelaskan, anjloknya daya beli itu disebabkan dua hal, pertama ialah suku bunga kebijakan moneter Bank Indonesia yang masih bertahan di level tinggi saat ini membuat biaya pinjaman atau pendanaan tinggi. Pada ujungnya mengerek biaya produksi usaha ikut terkerek hingga akhirnya efisiensi terjadi melalui PHK. Kedua ialah tak adanya stimulus penciptaan lapangan kerja padat karya di tanah air.
“Kalau kita lihat data-data anecdotal, maka itu mengkhawatirkan. Berarti di skala masyarakat daya belinya rendah, kebijakan pemerintah juga tidak create job, jadi tidak mendukung pembentukan lapangan kerja karena suku bunganya masih ditahan tinggi,” ucapnya.
Maka tak heran, indikator yang menandakan daya beli masyarakat tengah melemah itu kini muncul, sebab geliat aktivitas industri di dalam negeri juga anjlok drastis. Tercermin dari Setoran Pajak Penghasilan atau PPh badan anjlok drastis per Mei 2024, terkontraksi hingga minus 35,7% secara neto, berbalik arah dari catatan pada periode yang sama pada tahun lalu yang tumbuh 24,8%.
Pakar pajak yang merupakan Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono mengatakan, anjloknya setoran pajak tersebut menjadi pertanda bahwa perekonomian Indonesia sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja.
Prianto menjelaskan, PPh badan merosot itu disebabkan oleh dua hal. Pertama, banyak perusahaan mencairkan restitusi PPh badan pada 2022 yang cair pada periode Januari-Juni 2024. Pencairan itu, kata dia, dilakukan setelah ada pemeriksaan oleh KPP selama periode satu tahun hingga menghasilkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB).
Kedua, geliat ekonomi pada 2024 mulai seret sehingga banyak perusahaan mengajukan pengurangan angsuran PPh Pasal 25 tahun ini. Secara umum, Prianto bilang angsuran tersebut dapat diturunkan bila proyeksi PPh Badan pada 2024 lebih besar 75% x PPh Badan 2023.
“Jadi, dua kondisi di atas menandakan bahwa laba perusahaan mengalami penurunan. Salah satu penyebabnya adalah pendapatan yang menurun. Dengan demikian, perekonomian dapat dikatakan sedang tidak baik-baik saja,” tegasnya.
Semakin tingginya biaya produksi yang mengganggu iklim usaha di tanah air juga disebabkan nilai tukar rupiah yang pada bulan lalu menyentuh level Rp 16.400/US$, meskipun berdasarkan data Refinitiv, kurs rupiah menguat pada hari ini, Senin (1/7/2024), sebesar 0,31% di angka Rp16.320/US$. Apresiasi ini telah terjadi selama tiga hari beruntun dan merupakan posisi terkuat sejak 13 Juni 2024.
Namun, sejumlah ekonom mengingatkan nilai tukar rupiah yang terpuruk itu bisa menyebabkan harga-harga barang terkerek naik. Akibatnya inflasi terjadi beberapa bulan terakhir, seperti inflasi bahan pangan bergejolak atau volatile food yang naik sejak Januari 2024 hingga mencapai level tertingginya pada Maret 2024 sebesar 10,33%, sebelum akhirnya turun pada Juni 2024 ke posisi 5,96%.
“Baik itu konsumsi maupun produksi yang kita impor untuk bahan baku dan penolong itu akan menjadi lebih mahal, otomatis juga akan menekan dari sisi daya beli masyarakat dan juga daya saing bagi industri,” kata Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) M. Faisal.
Tekanan terhadap iklim industri tanah air itu pun pada akhirnya juga tergambar dari aktivitas manufaktur Indonesia yang terjun bebas ke level terendah dalam 13 bulan pada Juni 2024. Data Purchasing Managers’ Index (PMI) yang dirilis S&P Global hari ini, Senin (1/7/2024) menunjukkan PMI manufaktur Indonesia jatuh ke 50,7 pada Juni 2024.
Meski masih dalam kategori ekspansif, karena angka indeks di atas 50, nilai indeks per Mei 2024 itu lebih rendah dibandingkan Mei 2024 yang sebesar 52,1. Indeks bahkan menjadi yang terendah sejak Mei 2023 atau 13 bulan terakhir terakhir. PMI manufaktur Indonesia sudah melandai dalam tiga bulan beruntun. Penurunan PMI Manufaktur pada Juni 2024 sebesar 2,7% adalah yang terdalam sejak September 2023 (turun 2,9%).
S&P Global menjelaskan penurunan PMI Juni dipicu laju ekspansi yang lebih lambat baik dalam output maupun pesanan baru. Produksi naik dengan laju terendah sejak Mei 2023, sementara pertumbuhan pesanan baru adalah yang terlemah dalam 13 bulan terakhir. Penjualan ekspor yang lemah juga mengurangi pesanan. Bisnis ekspor baru turun untuk keempat kalinya berturut-turut.
Data ini sebetulnya tidak mencengangkan, karena PHK sudah marak di Indonesia sejak beberapa bulan lalu akibat banyaknya pabrik yang tutup. Misalnya, di Industri Tekstil dan Produk dari Tekstil (TPT) yang sudah 36 tutup di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Banten. Mulai dari Kabupaten Serang, Tangerang, Bandung, Semarang, Sukoharjo, Karanganyar, hingga Pekalongan.
“Sebetulnya kami ada data 36 perusahaan tekstil menengah besar yang tutup dan 31 pabrik lainnya melakukan PHK karena efisiensi. Ini data kami kumpulkan sejak tahun 2019. Dan ini baru hanya pabrik yang tempat anggota kami bekerja. Belum termasuk data pemerintah dan Apindo,” kata Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja bahkan telah menyebut, iklim usaha di sektor TPT yang tak kondusif itu telah menyebabkan puluhan ribu tenaga kerja kena PHK. “Sampai Mei 2024, total PHK yang terjadi di industri TPT kurang lebih terdapat 10.800 tenaga kerja yang terkena PHK. Hingga kuartal I-2024 terjadi kenaikan jumlah PHK sebesar 3.600 tenaga kerja atau naik sebesar 66,67%, itu secara year on year (yoy) ya,” kata Jemmy.
Permasalahan PHK yang mayoritas tengah banyak muncul di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) pun sampai mendapat sorotan khusus dari Anggota DPD saat rapat kerja dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Gedung DPD, Jakarta, Selasa (11/6/2024).
Salah satunya disampaikan oleh Anggota DPD dari daerah pemilihan Jawa Tengah, yakni Casytha Arriwi Kathmandu. Saat itu ia mengatakan, di Jawa Tengah telah terjadi PHK besar-besaran akibat perusahaannya tutup, khususnya di industri tekstil akibat kebijakan relaksasi impor melalui Permendag Nomor 8 Tahun 2024 yang telah diterbitkan sejak 17 Mei 2024.
“Saya ingin beri informasi juga bahwa ada beberapa tekstil tutup di Jawa Tengah di Karanganyar estimasi 1.500 orang sudah kena PHK, di Semarang 8.000 orang di-PHK, terakhir di Pekalongan satu pabrik tekstil sudah 700 di-PHK,” ucap Casytha.
Maraknya data PHK itu pun telah menarik perhatian Presiden Joko Widodo. Presiden Jokowi telah menyetujui kebijakan untuk melakukan proteksi industri tekstil melalui dua kebijakan yang akan dikeluarkan dalam waktu dekat, yaitu Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan Bea Masuk Anti – Dumping (BMAD) untuk produk impor tekstil.
Hal ini diungkapkan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) usai rapat tentang PHK yang terjadi di Industri tekstil, di Istana Kepresidenan pekan lalu. “Barusan rapat mengenai keluhan dari pelaku industri tekstil yang beberapa industri tutup ada beberapa yang terancam PHK massal,” kata Zulhas saat memberikan keterangan resmi.
Artikel ini telah tayang di laman CNBC Indonesia dengan judul “Waspada! Ekonomi RI Hadapi Masalah Besar” pada 2 Juli 2024, melalui tautan berikut:
https://www.cnbcindonesia.com/news/20240702061153-4-550926/waspada-ekonomi-ri-hadapi-masalah-besar