Kontan |4 Maret 2025
Ketika Danantara pertama kali dikemukakan oleh Prof. Sumitro Djojohadikusumo pada akhir 1980-an, ia membayangkan sebuah lembaga investasi nasional yang dapat menghimpun laba BUMN untuk dikelola secara profesional, mendorong kemandirian ekonomi, dan mendukung usaha kecil serta koperasi. Sumitro percaya bahwa dengan adanya Danantara, Indonesia dapat memiliki sumber pembiayaan mandiri untuk pembangunan, mengurangi ketergantungan pada pinjaman luar negeri, dan menciptakan ekosistem investasi nasional yang berkelanjutan. Namun, Presiden Soeharto kala itu menolak ide tersebut, dengan alasan bahwa Indonesia belum memerlukan skema investasi semacam itu.
Di balik penolakan tersebut, terdapat alasan politis yang lebih kompleks. Soeharto dikenal memiliki kendali kuat terhadap keuangan negara melalui mekanisme yayasan-yayasan yang ia pimpin, seperti Yayasan Supersemar, yang menerima aliran dana dari BUMN. Pembentukan Danantara berpotensi mengalihkan kontrol atas dana tersebut ke lembaga independen yang dikelola secara profesional, sesuatu yang bertentangan dengan pola kepemimpinan Soeharto yang sangat sentralistik. Selain itu, adanya risiko bahwa Danantara akan mengurangi pengaruh politik Orde Baru dalam alokasi sumber daya ekonomi menjadi faktor lain di balik keputusan penolakannya.
Kini, lebih dari tiga dekade kemudian, Indonesia akhirnya membentuk Danantara sebuah Sovereign Wealth Fund (SWF) yang digadang-gadang menjadi pilar investasi negara di luar pajak. Namun, pertanyaannya adalah: Apakah Danantara akan berhasil sesuai harapan atau justru menjadi beban fiskal bagi negara?
Dalam teori, pembentukan SWF seperti Danantara adalah langkah yang masuk akal. Banyak negara telah sukses mengelola dana investasi negara untuk meningkatkan aset nasional. Temasek Holdings di Singapura dan Khazanah Nasional Berhad di Malaysia menjadi contoh bagaimana pengelolaan aset negara yang profesional dapat memperkuat daya saing ekonomi nasional. Jika dikelola dengan baik, Danantara dapat membantu mengurangi ketergantungan pada pajak sebagai sumber utama pendapatan negara dan mendukung pembiayaan proyek strategis nasional tanpa harus terus bergantung pada utang luar negeri.
Di tengah globalisasi dan meningkatnya ketidakpastian ekonomi, memiliki SWF yang kuat juga bisa menjadi benteng stabilitas fiskal. Dengan aset yang dikelola dengan baik, keuntungan dari investasi Danantara bisa digunakan untuk berbagai program pembangunan, termasuk infrastruktur, pendidikan, dan teknologi.
Namun, seberapa realistis harapan ini? Sejauh mana tata kelola dan pengelolaan aset Danantara akan benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat luas?
Kontradiksi dengan Kebijakan Fiskal
Di saat pemerintah membentuk Danantara dengan modal besar, rakyat justru dihadapkan pada kebijakan efisiensi anggaran (austerity). Pemotongan subsidi energi, pembatasan anggaran sosial, dan wacana peningkatan pajak menjadi kebijakan yang bertolak belakang dengan investasi besar melalui SWF. Jika investasi Danantara gagal atau mengalami tekanan politik dalam pengelolaannya, dampaknya akan langsung berimbas pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Kasus 1Malaysia Development Berhad (1MDB) di Malaysia menjadi pelajaran penting. Awalnya dibentuk sebagai instrumen investasi negara, namun skandal korupsi besar di dalamnya menyebabkan kerugian hingga US$12 miliar. Apakah Indonesia benar-benar siap dengan mekanisme pengawasan yang kuat untuk mencegah hal serupa?
Salah satu kritik utama terhadap Danantara adalah kurangnya kejelasan mengenai bagaimana lembaga ini akan beroperasi secara independen dari kepentingan politik. Sejauh ini, belum ada jaminan bahwa keputusan investasi yang diambil benar-benar berdasarkan analisis ekonomi yang kuat, bukan sekadar kepentingan politik kelompok tertentu.
Namun, ada harapan. Pejabat yang ditunjuk untuk mengelola Danantara terdiri dari individu dengan pengalaman di dunia keuangan dan investasi. Sejumlah nama terkenal dan profesional menambah keyakinan bahwa lembaga ini dikelola dengan pertimbangan ekonomi yang matang.
Namun, tetap ada tantangan besar: Apakah individu-individu ini benar-benar akan bertindak independen, ataukah mereka tetap terpengaruh oleh tekanan politik dan kepentingan elite ekonomi? Dalam budaya politik Orde Baru, Presiden Soeharto hanya menerima masukan dari inner circle-nya, sehingga kebijakan yang diambil cenderung lebih mempertimbangkan stabilitas kekuasaan daripada efisiensi ekonomi. Jika pola ini masih berlanjut dalam pengelolaan Danantara, maka independensi lembaga ini patut dipertanyakan.
Optimisme dan Kewaspadaan
Danantara memang bisa menjadi instrumen yang menjanjikan bagi masa depan ekonomi Indonesia. Namun, jika tidak dikelola dengan benar, proyek ini justru bisa menjadi bom waktu fiskal yang meledak dalam dekade mendatang.
Sejarah menunjukkan bahwa kebijakan investasi negara kerap dipolitisasi dan dikendalikan oleh kepentingan segelintir elit. Jika pengelolaan Danantara tidak diawasi secara ketat dan transparan, maka ia berpotensi menjadi instrumen oligarki baru, di mana keuntungan hanya dinikmati segelintir pihak, sementara rakyat tetap terbebani dengan defisit fiskal dan kebijakan ekonomi yang semakin menekan.
Kini, kita berada di persimpangan jalan: Akankah Danantara menjadi motor pertumbuhan ekonomi yang membawa kesejahteraan bagi rakyat, atau justru alat yang memperkokoh dominasi kelompok tertentu dalam struktur ekonomi nasional? Apakah kita telah belajar dari masa lalu, atau hanya mengulangi pola kesalahan yang sama dengan wajah yang berbeda? Masa depan kebijakan ini bergantung pada transparansi, pengawasan independen, dan komitmen pemerintah dalam mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan politik sesaat.
Pelajaran dari masa lalu harus menjadi refleksi. Jika pada 1980-an Soeharto menolak Danantara dengan dalih “belum saatnya”, maka sekarang kita harus bertanya: Apakah ini benar-benar saat yang tepat? Atau justru kita sedang mengulang kesalahan dengan cara yang berbeda?
Artikel ini telah tayang di Kontan dengan judul “Danantara dan Mimpi yang Tertunda”, Klik selengkapnya di sini:
https://insight.kontan.co.id/news/danantara-dan-mimpi-yang-tertunda