“The era of global warming has ended; the era of global boiling has arrived.”
— António Guterres, Sekretaris Jenderal PBB, 2023
Pernyataan tegas dari Sekjen PBB tersebut bukanlah sekadar retorika, tetapi cerminan dari kenyataan global yang semakin mengkhawatirkan. Global Risks Report 2024 yang dirilis The World Economic Forum menempatkan risiko terkait iklim dan lingkungan di posisi teratas dalam daftar risiko global jangka panjang. Artinya, krisis iklim kini dianggap sebagai ancaman paling serius terhadap ketahanan sistem global melampaui risiko-risiko geopolitik, ekonomi, bahkan teknologi. Risiko ini tidak hanya mengancam kelangsungan hidup ekosistem, tetapi juga mengguncang perekonomian, memperbesar ketimpangan sosial, dan melemahkan fondasi pembangunan jangka panjang.
Indonesia, sebagai negara kepulauan tropis yang luas, menghadapi situasi yang bahkan lebih kompleks dan rawan. Berdasarkan World Risk Index 2023 yang diterbitkan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), Indonesia menempati peringkat kedua sebagai negara dengan risiko bencana tertinggi di dunia. Kombinasi antara ancaman geologis (gempa bumi dan tsunami) dengan meningkatnya intensitas bencana hidrometeorologis (banjir, kekeringan, kebakaran hutan, badai tropis) akibat perubahan iklim menjadikan Indonesia sangat rentan. Krisis iklim bukan lagi isu lingkungan yang jauh di horizon, melainkan persoalan nyata yang berdampak langsung terhadap keseharian masyarakat dan arah pembangunan nasional.
Krisis Iklim adalah Krisis Pembangunan
Perubahan iklim memicu dampak multidimensi yang saling memperkuat. Dari sisi lingkungan, terjadi peningkatan suhu global, pencairan es di kutub, naiknya permukaan laut, dan penurunan biodiversitas yang mengancam keseimbangan ekosistem. Dari sisi ekonomi, perubahan iklim mengganggu rantai pasok pangan, memperburuk volatilitas harga, menurunkan produktivitas sektor pertanian dan perikanan, serta memperbesar kerentanan sektor informal yang bergantung pada alam.
Dampak sosialnya pun tidak kalah serius. Ketimpangan sosial membesar karena masyarakat miskin lebih sulit beradaptasi. Tekanan terhadap lahan dan sumber daya memicu konflik sosial horizontal, migrasi iklim, hingga peningkatan kriminalitas. Oleh karena itu, krisis iklim sesungguhnya adalah krisis pembangunan yang menuntut pendekatan lintas sektor, lintas lembaga, dan lintas generasi.
Merespons kondisi ini, Indonesia telah menyatakan komitmennya dalam berbagai forum internasional, termasuk melalui Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC), target Net Zero Emission sebelum 2060, dan pengarusutamaan Sustainable Development Goals (SDGs) dalam perencanaan pembangunan nasional. Meski demikian, seluruh kerangka kebijakan ini sangat tergantung pada ketersediaan pendanaan yang cukup, terukur, dan berkelanjutan.
Peran Sektor Keuangan: Dari Retorika ke Realisasi
Kebutuhan pembiayaan perubahan iklim di negara berkembang sangat besar. Menurut International Finance Corporation (IFC), total kebutuhan investasi untuk pembangunan hijau di emerging countries mencapai USD 23 triliun pada periode 2016–2030. Di Indonesia sendiri untuk memenuhi komitmen mitigasi perubahan iklim selama 2018–2020, memerlukan dana lebih dari IDR 4.000 triliun. Untuk membangun ketahanan iklim, dibutuhkan IDR 172,9 triliun, dan untuk mencapai SDGs hingga 2030, dibutuhkan total pembiayaan hingga IDR 67.000 triliun. Sementara itu, kapasitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sangat terbatas dan tidak mampu menutup keseluruhan kebutuhan tersebut.
Dalam konteks ini, sektor keuangan memegang peran strategis sebagai penggerak dan penopang transisi menuju pembangunan rendah karbon. Perbankan, lembaga keuangan non-bank, dan pasar modal memiliki tanggung jawab dan peluang untuk menyalurkan pembiayaan ke proyek-proyek berkelanjutan melalui instrumen seperti green bonds, sustainability-linked loans, climate funds, dan credit enhancement yang memungkinkan skala pembiayaan lebih besar. Selain itu, praktik ESG investing dapat menjadi pengungkit perubahan perilaku korporasi dalam mengelola dampak lingkungan dan sosial secara lebih transparan dan bertanggung jawab.
Namun peran ini hanya dapat efektif jika didukung oleh kerangka regulasi yang progresif dan insentif yang tepat. Pemerintah perlu memastikan kejelasan kebijakan, menetapkan standar pelaporan yang selaras dengan praktik global (seperti ISSB), dan menyediakan mekanisme pengurangan risiko bagi investor hijau. Di saat yang sama, institusi keuangan harus mulai mengintegrasikan risiko iklim ke dalam sistem penilaian kredit, perencanaan risiko, dan strategi bisnis jangka panjang.
Era global boiling menandai babak baru dalam sejarah manusia. Ini bukan hanya tantangan ekologis, melainkan ujian terhadap ketangguhan sistem keuangan, tata kelola negara, dan komitmen kita terhadap generasi mendatang. Jika sektor keuangan tetap pasif atau sekadar menunggu perintah regulasi, maka kita akan kehilangan momentum untuk bertindak. Kini saatnya menjadikan sektor keuangan sebagai bagian dalam agenda iklim nasional dari retorika menuju realisasi yang berdampak nyata.