Detik News | 09 September 2022
Penulis: Dwi Purwanto (Governance Analyst di Pratama-Kreston Tax Research Institute)
Jakarta – Kejaksaan Agung baru saja menetapkan mantan Dirut PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar dan mantan Dirut PT Mugi Rekso Abadi Soetikno Soedarjo sebagai tersangka baru terkait kasus dugaan korupsi pengadaan pesawat di Garuda Indonesia beberapa bulan ini. Penyelidikan tersebut merupakan salah satu upaya pemerintah untuk memperbaiki tata kelola perusahaan dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau yang disebut dengan program bersih-bersih BUMN.
Kejaksaan Agung menerapkan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Menurut rilis Kejaksaan Agung, penyelidikan terhadap kedua tersangka tersebut dilakukan karena adanya penyimpangan dan indikasi tindak pidana korupsi dalam proses pengadaan pesawat di Garuda Indonesia. Para tersangka dinyatakan tidak melakukan analisis risiko berdasarkan prinsip pengadaan barang dan jasa yaitu efisien, efektif, kompetitif, transparan, adil dan wajar serta akuntabel.
Proses pelelangan dalam pengadaan pesawat juga mengarah pada pemenangan penyedia barang atau jasa tertentu. Selain itu, mantan Dirut Garuda Indonesia yang kini menjadi tersangka terindikasi menerima janji dari mantan Dirut PT Mugi Rekso Abadi yang mengarah pada adanya gratifikasi.
Melihat konstruksi pasal yang dikenakan pada para tersangka, tampak dalam kasus ini ada kejanggalan dalam proses pengadaan yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 8,8 triliun. Kerugian negara yang ditimbulkan tersebut diduga menguntungkan bagi pihak lain, dalam hal ini perusahaan Bombardier dan Avions de Transport Regional.
Jika kelak dakwaan Kejaksaan Agung membuktikan adanya gratifikasi dalam proses pengadaan pesawat di Garuda Indonesia, maka hal tersebut akan semakin menegaskan bahwa sektor bisnis BUMN masih sangat kental dengan aroma “suap”. Kondisi ini sama dengan situasi di instansi lainnya jika mengacu pada laporan Tahunan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2021 yang menyatakan bahwa korupsi terkait pengadaan masih menempati urutan kedua setelah kasus suap dari total jumlah tindak pidana korupsi yang ditangani KPK.
Kasus dugaan korupsi pengadaan pesawat juga membuktikan bahwa pengelolaan gratifikasi di Garuda Indonesia masih lemah. Hal ini terlihat dari kasus gratifikasi yang menyeret Emirsyah Satar ke ranah pidana karena gratifikasi yang diterimanya tidak dilaporkan ke KPK.
Tak heran bila Garuda Indonesia tidak bisa lepas dari praktik korupsi karena gratifikasi merupakan suap yang tertunda. Untuk itu, penerima gratifikasi wajib melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK karena dengan melaporkan gratifikasi akan membebaskan ancaman pidana terhadap penerimanya
Harus Lebih Serius
Kebijakan pencegahan korupsi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) salah satunya dilaksanakan melalui upaya pengendalian gratifikasi. Di Indonesia, pemberian hadiah dari satu orang ke orang lain sudah biasa, misalnya dalam memperingati hari besar keagamaan, perayaan pernikahan, ulang tahun, atau perayaan kebahagiaan lainnya.
Sebagai pelaksana pelayanan publik yang langsung berhadapan dengan pemangku kepentingan, pegawai dan pimpinan BUMN rentan dan berpotensi menerima hadiah baik berupa uang maupun barang dan bentuk lainnya yang dapat mengganggu integritas.
Pemberian hadiah tersebut, menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor merupakan “gratifikasi” yang didefinisikan sebagai pemberian dalam arti luas. Hadiah tersebut meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), pembayaran, pinjaman tanpa bunga, voucher perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan gratis, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi ini diterima baik di dalam negeri maupun di luar negeri dan dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Gratifikasi dianggap sebagai suap apabila berkaitan dengan jabatannya dan bertentangan dengan tugas atau kewajibannya. Ketentuan ini tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi ke KPK. Laporan disampaikan paling lambat 30 hari kerja sejak tanggal diterimanya gratifikasi.
Gratifikasi juga bersifat timbal balik atau tidak memerlukan kesepakatan (transaksional). Meskipun ada persamaan antara suap dan gratifikasi, keduanya memiliki perbedaan yang cukup jelas. Perbedaan antara gratifikasi dan suap terletak pada adanya kesepakatan (meeting of mind). Dalam hal ini, suap ada meeting of mind, sementara gratifikasi tidak ada meeting of mind.
Untuk memberikan pedoman bagi pegawai BUMN dalam menentukan tindakan yang berpotensi atau mengarah pada tindak pidana korupsi khususnya gratifikasi, Menteri BUMN telah menerbitkan PER-09/MBU/06/2021 tentang pelaporan gratifikasi di lingkungan BUMN. Peraturan ini bertujuan untuk mendorong terwujudnya peningkatan integritas pegawai BUMN.
Dalam praktiknya, perusahaan harus memiliki kebijakan pengendalian gratifikasi yang disosialisasikan kepada seluruh insan perusahaan dan diseminasikan kepada stakeholder. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan keseragaman pemahaman tentang kebijakan pengendalian gratifikasi.
Sementara itu, untuk mendukung pelaksanaan kebijakan gratifikasi, perusahaan harus membentuk Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) yang berfungsi sebagai unit layanan dan informasi (help desk). Salah satu tugas UPG adalah menerima laporan gratifikasi dari penerima gratifikasi dan berkoordinasi dengan KPK.
UPG tidak dipahami secara kaku, namun bersifat fungsional; fungsinya melekat pada fungsi pengawasan dan pembinaan. Perusahaan dapat memperkuat Satuan Pengawas Internal (SPI), Compliance Unit, Corporate Secretary, atau divisi lain yang memiliki fungsi pengawasan atau penerapan GCG. Jika diperlukan, perusahaan dapat membentuk unit khusus untuk menjalankan fungsi UPG.
Meskipun program pengendalian gratifikasi telah diatur secara khusus, namun kasus Garuda Indonesia menunjukkan bahwa program pengendalian gratifikasi di BUMN mengalami kendala dalam pelaksanaannya. Salah satu kendalanya adalah belum efektifnya fungsi UPG dalam mendukung program pengendalian gratifikasi. UPG tidak fokus menjalankan tugasnya dalam pengendalian gratifikasi karena memiliki tugas pokok di divisinya masing-masing.
Oleh karena itu, seluruh insan BUMN harus lebih serius dalam menerapkan kebijakan pengendalian gratifikasi. Untuk menghindari jerat pidana, seluruh insan BUMN juga harus berani menolak atau melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK melalui UPG. Hal tersebut perlu dilakukan agar tidak menambah lagi daftar panjang kasus korupsi serupa, mengembalikan kepercayaan publik, dan berakhir pada membaiknya pengelolaan bisnis BUMN.
Artikel ini telah tayang di laman Detik News pada 09 September 2022 dengan tautan:
https://news.detik.com/kolom/d-6282176/mengefektifkan-pengendalian-gratifikasi-di-bumn.