Kontan | 24 Mei 2021
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengungkapkan, rencana tax amnesty jilid II akan mirip dengan program sunset policy yang pernah sukses di 2008. Namun, tax amnesty jilid II kemungkinan tidak akan semenarik tax amnesty jilid I.
Meskipun demikian, Prianto menerka rencana kebijakan pajak tersebut masih berkaitan dengan program tax amnesty yang telah berlangsung di periode Juli 2016-Maret 2017. Yang jelas, apapun nama kebijakan pajak yang tengah ramai diperbincangkan tersebut, secara konseptual, beleid jilid II atau SP sama-sama menggunakan model sunset clause atau sunset provision.
Pasalnya, kebijakan pajak tersebut hanya bersifat sementara dan memunculkan klausul peraturan dengan batas pemberlakuan. Ibarat matahari terbenam (sunset), prosesnya tidak lama dan hanya beberapa menit. “Paling tidak, ada dua program utama dari rencana kebijakan pajak yang bertujuan untuk mengatasi shortfall pajak akibat pandemi Covid-19 tersebut,” kata Prianto dalam siaran pers, Senin (24/5).
Prianto menyarankan tax amnesty jilid II mengusung dua program. Program utama I adalah untuk peserta tax amnesty jilid I yang ternyata belum ungkapkan semua aset per 31/12/2015 sesuai Surat Keterangan Pengampunan Pajak (SKPP).
Program Utama II adalah untuk Wajib Pajak orang pribadi (WPOP) dengan tiga kriteria kumulatif berikut. Pertama, WPOP memperoleh aset di periode 2016-2019. Kedua, WPOP tersebut masih memiliki aset perolehan 2016-2019 tersebut hingga 31/12/2019. Ketiga, aset perolehan 2016-2019 tersebut belum dilaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi 2019.
Untuk Program Utama I, pengungkapan aset per 31/12/2015 yang masih belum dilaporkan di TA jilid 1 akan dikenai PPh final sebesar 15% dari nilai aset. Namun, jika aset tersebut diinvestasikan ke Surat Berharga Negara (SBN) yang pemerintah tentukan, tarif pajak finalnya sebesar 12,5% dari Nilai Aset.
Kedua tarif di atas, menurut Prianto, masih lebih rendah dari tarif PPh final sesuai skema (PAS) Pengungkapan Aset Sukarela) sukarela dengan tarif PPh final yang diatur di Peraturan Menkeu (PMK) No. 118/PMK.03/2016 dan perubahannya. Sampai saat ini, PMK tersebut sudah direvisi dua kali dan revisi terakhir mengacu pada PMK No. 165/PMK.03/2017.
Bagi peserta Program Utama I, baik badan maupun orang pribadi, Pemerintah akan berikan fasilitas penghapusan sanksi. Akan tetapi, jika program tax amnesty jilid II sudah selesai dan ternyata kantor pajak masih temukan aset yang belum dilaporkan, kantor pajak akan kenakan sanksi 200% sesuai UU No. 11/2016 tentang Pengampunan Pajak.
“Jika dirujuk UU No. 11/2016, sanksi pidana telah dihapus berdasarkan SKPP di TA jilid 1. Jadi, sanksi yang dihapus menurut TA jilid 2 fokus pada sanksi administrasi berupa kenaikan 200%,” kata Prianto.
Lebih lanjut, bagi peserta Program Utama II, aset perolehan 2016-2019 yang memenuhi tiga kriteria kumulatif di atas akan dikenakan PPh final. Tarifnya 30% dari deklarasi aset atau tarif 20% dari deklarasi aset sepanjang aset tersebut diinvestasikan ke SBN yang ditentukan pemerintah.
Tarif 30% di atas sama dengan tarif tertinggi di UU PPh saat ini. Jika tarif ini disepakati oleh DPR dan diterapkan, menurut Prianto, program TA jilid II kemungkinan tidak akan menarik. Pasalnya, tarif 30% tersebut jauh lebih tinggi dari tarif TA jilid I.
Selain itu, tambahan harta sesuai data aoutomatic exchange of information (AEoI) 2018 tidak selalu berasal dari tambahan kemampuan ekonomis yang menjadi objek PPh. Data AEoI 2018 dapat juga bersumber dari mutasi rekening dari institusi keuangan di suatu negara yang tidak menandatangani kesepakatan AEoI. “Dengan demikian, tidak ada tambahan kemampuan ekonomis dan Wajib Pajak cukup melakukan pembetulan SPT PPh OP,” ujar dia.
Bagi WPOP yang sudah mengikuti TA jilid II, pemerintah menjanjikan fasilitas penghapusan sanksi. “Untuk hal ini, tidak disebutkan lebih rinci, apakah hanya sanksi administrasi atau termasuk sanksi pidana. Agar memberikan daya tarik, penghapusan sanksi tersebut harus mencakup sanksi administrasi dan sanksi pidana untuk periode 2016-2019,” katanya.
WPOP yang sudah ikut TA jilid II, tapi ternyata masih memiliki aset per 31/12/2019 yang belum dilaporkan, pemerintah akan mengenakan PPh final 30% dari nilai aset plus sanksi bunga per bulan. Prianto menambahkan, sanksi bunga ini lebih rendah dari risiko sanksi sesuai TA jilid 1 yang berupa sanksi kenaikan 200%.
“Informasi di atas tentu saja masih sangat summir (jauh dari lengkap). Namun demikian, informasi tersebut dapat memberikan pencerahan bagi masyarakat luas terkait isu hangat tentang rencana TA jilid 2,” ujar Prianto.
Pada akhirnya, kata Prianto, apapun jenis kebijakan pajaknya, satu falsafah pajak terkenal taxation without representation is robbery menjadi sangat relevan bagi semua Wajib Pajak. Dengan kata lain, perpajakan itu identik dengan perampokan yang seringkali bersifat memaksa. Istilah perampokan menjadi hilang ketika sudah ada persetujuan dari perwakilan rakyat di DPR, meski sifat memaksanya masih ada.
Prianto mengungkapkan, falsafah di atas sejalan dengan bunyi Pasal 23A UUD 1945. “Konstitusi kita menyatakan, pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang,” imbuh dia.
Artikel ini telah tayang di laman Kontan.co.id dengan link https://nasional.kontan.co.id/news/pengamat-rencana-tax-amnesty-jilid-2-mirip-sunset-policy?page=1 pada 24 Mei 2021.