Pratama-Kreston Tax Research Center
No Result
View All Result
Sabtu, 12 Juli 2025
  • Login
  • Konsultasi
  • ESG
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
    • Working Paper
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Center
  • Konsultasi
  • ESG
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
    • Working Paper
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
Pratama-Kreston Tax Research Institute
No Result
View All Result

Pengamat: Hukum Pajak yang Ambigu Jadi Pemicu Sengketa Pajak PGN

Pratama IndomitrabyPratama Indomitra
28 September 2021
in Liputan Media
Reading Time: 3 mins read
132 3
A A
0
154
SHARES
1.9k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Kontan | 13 Januari 2021

Sengketa pajak PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) dinilai sebagai salah satu dampak ambiguitas hukum perpajakan di Tanah Air. Demikian diungkapkan Prianto Budi Saptono, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute.

Menurut Prianto, perbedaan penafsiran hukum perpajakan selama ini telah banyak terjadi. Bahkan, hal ini telah menjadi salah satu hambatan bagi investasi di Indonesia. “Ambiguitas hukum perpajakan ini sudah berlangsung selama bertahun-tahun tanpa ada solusi yang tuntas,” kata Prianto dalam webinar Analisis Kasus PGN vs DJP: Pemeriksaan & Metode Penafsiran Hukum Pajak, Rabu (13/1).

Menurut Prianto, Undang-Undang Cipta Kerja (omnibus law cipta kerja), kluster perpajakan hanya mengatur beberapa hal terkait kemudahan investasi. Ini, tanpa menyelesaikan persoalan ambiguitas hukum perpajakan yang sebetulnya juga menjadi penghambat investasi di Indonesia.

Contohnya kasus yang saat ini tengah membelit PGN terkait tahun pajak 2012 dan 2013. Dalam upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Direktorat Jenderal Pajak, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan tersebut, sehingga PGN hgarus membayar denda Rp 3,06 triliun.

Prianto menyebut, sengketa ini muncul lantaran PGN dan Ditjen Pajak berbeda penafsiran soal status gas bumi sebagai objek pajak yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

PGN dan Ditjen Pajak dinilai sama-sama mengacu pada bukti yang kuat dan berdasar pada peraturan pajak. “Tapi kedua pihak memiliki penafsiran yang berbeda atas peraturan perpajakan tersebut,” ujarnya.

Alhasil, majelis hakim Pengadilan Pajak mengabulkan permohonan PGN. Sementara majelis hakim MA mengabulkan permohonan PK yang diajukan Ditjen Pajak. Baik PGN, Ditjen Pajak, dan MA sama-sama merujuk pada Pasal 4 ayat (2) UU PPN beserta penjelasannya.

Ketentuan tersebut menyatakan bahwa, jenis barang yang tidak dikenai PPN adalah barang tertentu termasuk barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya. Nah, frase “yang diambil langsung dari sumbernya” ini telah menimbulkan multitafsir.

Dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (2) huruf a UU PPN di atas di antaranya menyatakan “Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya meliputi: b. gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat”.

Berdasarkan uraian penjelasan pasal tersebut, ada dua titik multitafsir, yaitu: frasa “termasuk gas bumi seperti elpiji” dan frasa “yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat”.

Sebetulnya, penjelasan yang lebih rinci ada di Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 252 tahun 2012. Pada pasal 1 ayat 1, gas bumi disebut merupakan barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Nah, cakupan gas bumi yang tidak dikenai PPN adalah gas bumi yang dialirkan melalui pipa, liquified Natural Gas (LNG) dan Compressed Natural Gas (CNG).

Di pasal 2 PMK 252/2012 disebutkan Liquified Petroleum Gas (LPG) dalam tabung yang siap dikonsumsi masyarakat atau yang dikenal sebagai elpiji tidak termasuk dalam cakupan gas bumi yang tidak dikenai PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1.

Artinya, elpiji merupakan barang kena pajak dan dikenai PPN. Sementara gas bumi yang dialirkan melalui pipa, LNG dan CNG tidak kena PPN.

PGN lanjut Prianto, juga berpegang pada surat konfirmasi dari Kantor Pelayanan Pajak Badan Usaha Milik Negara (KPP BUMN) pada 19 Agustus 2009.

Dalam surat tersebut, seperti termuat dalam laporan keuangan PGAS tahun 2017, KPP BUMN mengkonfirmasi kepada PGN bahwa gas bumi merupakan salah satu jenis barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya yang masuk dalam kelompok yang tidak dikenakan PPN.

“Sementara teman-teman di Ditjen Pajak bilang yang tidak kena PPN itu, misalnya, ketika PGN beli dari PHE (Pertamina Hulu Energi). Tapi barang yang sudah ada di PGN dan di trader itu barang yang kena pajak,” ujar Prianto.

Terkait permohonan PK yang diajukan Ditjen Pajak ke MA, lanjut Prianto, terdapat risiko yang muncul selama proses peradilan. Pasalnya, hakim memutus perkara berdasarkan alat bukti, pengetahuan hakim dan berdasar keyakinan hakim sesuai kebenaran materil.

Nah, di pengadilan khusus seperti pengadilan pajak, hakim yang mengadili perkara memiliki pengetahuan soal perpajakan. “Sementara di level MA, bisa jadi hakimnya tidak punya pengetahuan yang cukup soal pajak. Tapi, saya tidak tahu persis kondisinya bagaimana, karena persidangannya juga berlangsung tertutup,” pungkas Prianto.

 

Artikel ini telah ditayangkan di laman Kontan.co.id dengan link https://nasional.kontan.co.id/news/pengamat-hukum-pajak-yang-ambigu-jadi-pemicu-sengketa-pajak-pgn pada 13 Januari 2021.

Tags: KemenkeuMenkeuPGN VS DJPPrianto Budi SaptonoSengketa Pajak
Share62Tweet39Send
Previous Post

Pengamat: Rencana Tax Amnesty Jilid 2 Mirip Sunset Policy

Next Post

Pengamat: Sengketa PGN Hasil Ambiguitas Hukum Perpajakan di Indonesia EKONOMI

Pratama Indomitra

Pratama Indomitra

Related Posts

Padel
Liputan Media

Menimbang Pajak Olahraga Bagi Gaya Hidup Sehat Warga

9 Juli 2025
Zakat dan Pajak
Liputan Media

Harmoni zakat dan pajak dalam spirit Ramadhan

18 Maret 2025
Pelaporan SPT
Liputan Media

Lonjakan Lapor SPT: Tren Positif atau Kepatuhan Semu?

14 Maret 2025
Danantara
Liputan Media

Danantara dan Mimpi yang Tertunda

5 Maret 2025
Tax Buoyancy
Liputan Media

Pelemahan Daya Respons Penerimaan Pajak

19 Februari 2025
Image by freepik
Liputan Media

Skandal eFishery, Cermin Buram Tata Kelola Perusahaan

17 Februari 2025
Next Post

Pengamat: Sengketa PGN Hasil Ambiguitas Hukum Perpajakan di Indonesia EKONOMI

Soal Sengketa Pajak PGN, Ini Kata Pengamat Perpajakan

Soal Sengketa Pajak yang Seret PGN, Ini Catatan buat Aturan Perpajakan RI

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Instansi Anda memerlukan jasa berupa kajian kebijakan fiskal, pajak dan retribusi daerah, penyusunan naskah akademik, ataupun jasa survei?

Atau, Perusahaan Anda membutuhkan pendampingan dalam menyusun Laporan Tahunan (Annual Report) atau Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report)?

Konsultasikan kepada ahlinya!

MULAI KONSULTASI

Popular News

  • Jika Suami Tidak Berpenghasilan, Berapa Besarnya PTKP Istri?

    1473 shares
    Share 589 Tweet 368
  • Batas Waktu Pengkreditan Bukti Potong PPh Pasal 23

    976 shares
    Share 390 Tweet 244
  • Apakah Jasa Angkutan Umum Berplat Kuning Dikenai PPN?

    944 shares
    Share 378 Tweet 236
  • Apakah Pembelian Domain Website dikenakan PPh Pasal 23?

    797 shares
    Share 319 Tweet 199
  • Iuran BPJS dikenakan PPh Pasal 21?

    751 shares
    Share 300 Tweet 188
Copyright © 2025 PT Pratama Indomitra Konsultan

Pratama Institute

Logo Pratama Indomitra
  • Antam Office Tower B Lt 8 Jl. TB Simatupang No. 1 Jakarta Selatan Indonesia 12530
  • Phone : (021) 2963 4945
  • [email protected]
  • pratamaindomitra.co.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Konsultasi
  • ESG
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
    • Working Paper
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami

© 2025 Pratama Institute - All Rights Reserved.