Tribunnews.com | 13 Januari 2021
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono menilai sengketa pajak PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) terjadi dampak ambiguitas hukum perpajakan tanah air.
Menurutnya, ada perbedaan penafsiran hukum perpajakan selama ini termasuk yang tengah membelit PGN dengan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak.
“Ambiguitas hukum perpajakan ini sudah berlangsung selama bertahun-tahun tanpa ada solusi yang tuntas,” kata Prianto dalam webinar Analisis Kasus PGN vs DJP: Pemeriksaan & Metode Penafsiran Hukum Pajak, Rabu (13/1/2021).
Dalam upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan tersebut sehingga PGN mesti membayar Rp3,06 triliun.
Prianto menyebut, sengketa ini muncul lantaran PGN dan Ditjen Pajak berbeda penafsiran soal status gas bumi sebagai objek pajak yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
PGN dan Ditjen Pajak dinilai sama-sama mengacu pada bukti yang kuat dan berdasar pada peraturan pajak.
“Tapi kedua pihak memiliki penafsiran yang berbeda atas peraturan perpajakan tersebut,” ujarnya.
Alhasil, majelis hakim Pengadilan Pajak mengabulkan permohonan PGN, sedangkan majelis hakim MA mengabulkan permohonan PK yang diajukan Ditjen Pajak.
Baik PGN, Ditjen Pajak, dan MA sama-sama merujuk pada Pasal 4a ayat (2) UU PPN beserta penjelasannya. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa jenis barang yang tidak dikenai PPN adalah barang tertentu termasuk barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya.
“Frasa yang diambil langsung dari sumbernya ini telah menimbulkan multitafsir,” ulasnya.
Dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (2) huruf a UU PPN di atas di antaranya menyatakan ‘Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya meliputi gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat’.
Berdasarkan uraian penjelasan pasal tersebut, ada dua titik multitafsir, yaitu: frasa ‘termasuk gas bumi seperti elpiji’ dan frasa ‘yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat’.
PGN lanjut Prianto, juga berpegang pada surat konfirmasi dari Kantor Pelayanan Pajak Badan Usaha Milik Negara (KPP BUMN) pada 19 Agustus 2009.
Dalam surat tersebut, seperti termuat dalam laporan keuangan PGAS tahun 2017, KPP BUMN mengkonfirmasi kepada PGN bahwa gas bumi merupakan salah satu jenis barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya yang masuk dalam kelompok yang tidak dikenakan PPN.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan link https://www.tribunnews.com/bisnis/2021/01/13/soal-sengketa-pajak-pgn-ini-kata-pengamat-perpajakan?page=2 pada 13 Januari 2021.