Bisnis Indonesia | 9 Juni 2021
Praktik diskriminasi pajak kian nyata. Di satu sisi, pemerintah memberikan berbagai kemudahan dan relaksasi tarif untuk masyarakat kelas atas. Di sisi lain, kelompok bawah makin terbebani dengan reformulasi struktur pajak.
Berdasarkan informasi yang diperoleh Bisnis, reformulasi pajak melalui Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) merupakan hasil negosiasi pemerintah dengan pelaku usaha saat menyusun program Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty pada 2016.
Kala itu, masyarakat kelas atas atau wajib pajak orang pribadi nonkaryawan mendukung dan akan mengikuti program Tax Amnesty dengan syarat pemerintah harus mengubah struktur penerimaan pajak, yang selama ini mengandalkan pajak penghasilan (PPh) badan menjadi bertumpu pada pajak pertambahan nilai (PPN).
Fakta itu dipertegas dalam RUU KUP, di mana struktur penerimaan akan mengandalkan pajak konsumsi, bukan pajak korporasi.
“RUU KUP sejalan dengan tren kebijakan perpajakan global, di antaranya kecenderungan menghentikan penurunan tarif PPh badan dan menggunakan instrumen PPN dalam optimalisasi penerimaan,” tulis pemerintah dalam RUU KUP yang dikutip Bisnis, Selasa (8/6).
Hal itu juga didukung argumentasi pemerintah dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2022. Dalam dokumen itu, pemerintah mengatakan, dengan perbaikan sistem, PPN akan menjadi sumber utama penerimaan pajak.
Hal ini sebagai komplementer, melengkapi PPh badan yang sedang diarahkan sebagai instrumen kebijakan sisi penawaran dengan langkah penurunan tarif dan pemberian berbagai insentif, seperti tax holiday dan tax allowance.
Sesungguhnya, upaya perubahan struktur itu telah dilakukan sejak tahun lalu melalui penerbitan UU No. 2/2020. Dalam regulasi tersebut, tarif pajak untuk korporasi dipangkas menjadi 22% pada tahun lalu dan tahun ini, kemudian kembali diturunkan menjadi 20% pada 2022.
Relaksasi pajak korporasi ini berdampak sangat besar bagi penerimaan negara. Pasalnya, PPh badan merupakan kontributor terbesar dalam penerimaan pajak.
Kemudian, pemerintah mengubah skema PPN. Celakanya, reformulasi ini menyasar seluruh kebutuhan masyarakat. Artinya, seluruh produk konsumsi, termasuk kebutuhan pokok, bakal menjadi barang kena pajak (BKP).
Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute Wahyu Nuryanto menilai kebijakan pemerintah diskriminatif. Di satu sisi, korporasi dimanja karena merasakan berbagai relaksasi tarif. Namun bagi masyarakat kelas bawah, perubahan tarif PPN menjadi beban. “Ini karena sumber penerimaan makin terbatas karena pandemi dan target penerimaan naik. Maka harus mencari sumber penerimaan baru,” kata Wahyu.
Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI) Prianto Budi Saptono menambahkan PPN dan PPh memang sering kali menjadi instrumen utama sebagai basis pemajakan atau two leading tax bases di banyak negara.
Namun, dampak yang ditimbulkan dari kenaikan PPN lebih besar.
Artikel ini telah tayang di laman Bisnis Indonesia dengan link https://bisnisindonesia.id/article/diskriminasi-pajak-kian-nyata pada 09 Juni 2021.