Bisnis Indonesia | 14 Februari 2023
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan sepertinya belum berencana memungut cukai dari produk plastik dan minuman berpemanis dalam kemasan atau MBDK pada tahun ini.
Hal ini seiring dengan pernyataan Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani yang menyampaikan bahwa sejauh ini belum ada rencana dari otoritas fiskal untuk mengeksekusi pungutan dari kedua barang tersebut.
“Sampai dengan saat ini belum ada rencana untuk pelaksanaan kebijakan tersebut,” katanya kepada Bisnis, pekan lalu. Askolani tidak memberikan penjelasan secara terperinci mengenai alasan belum dieksekusinya pungutan cukai plastik dan MBDK pada tahun ini.
Terkait hal tersebut, Direktur Eksekutif Pratama Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono menilai pemerintah perlu mencari pengganti lain dalam melakukan ekstensifikasi Barang Kena Cukai atau BKC.
“Konsekuensi jika 2 objek cukai baru itu tidak dipungut, pemerintah harus cari substitusi lain yg berasal dari pajak lainnya, misalnya, PPh [Pajak Penghasilan] 21 atas natura dan PPN [Pajak Pertambahan Nilai] atas konsumsi dalam negeri,” pungkasnya.
Sebagai catatan, Presiden Joko Widodo telah menargetkan penerimaan cukai dari produk plastik dan MBDK sebesar Rp4,06 triliun pada 2023.
Hal ini berlandaskan pada Peraturan Presiden atau Perpres Nomor 130/2022 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2023, Perinciannya, pendapatan cukai produk plastik dipatok mencapai Rp980 miliar, sedangkan penerimaan negara dari cukai minuman bergula dalam kemasan sebesar Rp3,08 triliun.
Secara keseluruhan, Jokowi menetapkan target penerimaan perpajakan untuk tahun 2023 senilai Rp2.021,2 triliun. Penerimaan itu terdiri atas pendapatan pajak, serta pendapatan bea dan cukai dengan lebih dari 30 pos pendapatan.
Cukai plastik rencananya akan dibagi ke dalam empat jenis yakni cukai kantong plastik, cukai kemasan dan wadah plastik, cukai diapers, serta cukai alat makan dan minum sekali pakai. Adapun, cukai MBDK terdiri tiga kategorisasi.
Pertama, MBDK yang mengandung pemanis berupa gula dengan kadar tertentu. Kedua adalah MBDK yang mengandung pemanis alami tanpa ada batasan minimal atau maksimal kadar. Sementara itu, kategori ketiga adalah MBDK yang mengandung pemanis buatan tanpa ada batasan minimal atau maksimal kadar.
Penentuan itu mengacu pada Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) No. 22/2019 tentang Informasi Nilai Gizi pada Label Pangan Olahan. Bentuk tarif cukai untuk MBDK adalah spesifik single tarif yang murni mengacu pada kandungan gula.
Menurut Peneliti Perpajakan Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar, kondisi makroekonomi menjadi faktor paling krusial dalam mengimplementasikan kebijakan yang terkait dengan konsumsi masyarakat.
Selain daya beli, hal lain yang juga menjadi pertimbangan adalah dari sisi administrasi. Terlebih mekanisme pungutan cukai lebih rumit dibandingkan dengan pajak karena harus diiringi dengan pengawasan fisik dan tanda pelunasan cukai.
Menurutnya, apabila sampai tengah tahun ini pungutan tak kunjung dilakukan, kemungkinan besar tak akan ada ekstensifikasi BKC sampai berakhirnya Pemerintahan Presiden Joko Widodo. “Semua akan bergantung di pemerintahan baru nanti. Apakah punya political will? Dan sangat disayangkan memang, sampai sekarang kita tidak memiliki objek BKC yang baru,” ujarnya, Senin (13/2/2023).
Artikel ini telah tayang di laman Bisnis Indonesia dengan judul “Penerapan Cukai Plastik dan Minuman Manis Ditunda, Apa Dampaknya?” pada 14 Februari 2023 dengan tautan https://ekonomi.bisnis.com/read/20230214/9/1627743/penerapan-cukai-plastik-dan-minuman-manis-ditunda-apa-dampaknya