Pembahasan mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang (UU) no. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) terus bergulir.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono menilai, draf yang diajukan oleh pemerintah ini masih perlu pendalaman.
Menurutnya, saat ini draf yang diajukan pemerintah hanya berdasarkan pada kondisi ekonomi makro. Padahal, kalau menyusun soal pajak, harus mempertimbangkan juga masalah ekonomi mikro.
“Lihatnya hanya kondisi makro, padahal bicara pajak tidak bisa hanya makro, mikro juga perlu dipertimbangkan. Terkait dengan administrasinya dan sebagainya. Lalu melihat kondisi sekarang terkait masyarakat,” ujar Prianto kepada Kontan.co.id, Senin (25/8).
Prianto mengambil contoh terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pemerintah berencana meningkatkan PPN menjadi 12%. Nah, malah ini bisa menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, memang bisa menggenjot penerimaan pajak, tetapi di satu sisi malah menyusahkan masyarakat.
Dengan adanya reformasi perpajakan ini, maka akan ada kenaikan biaya kepatuhan (compliance cost) maupun biaya administrasi (cost administration) dan ini akan membebani masyarakat, apalagi daya beli masyarakat terpantau masih lemah karena pandemi ini.
Selain itu, tidak masaknya rencana perpajakan ini juga terlihat dari mencuatnya usulan terkait pajak karbon yang tertuang dalam Pasal 44G RUU KUP.
Dalam hal ini, ia mempertanyakan dasar usul pemerintah tersebut. Apalagi, selama ini pemerintah tidak pernah mengarahkan industri menjadi green industry.
Tak hanya itu, pemerintah tak memiliki kajian sendiri tentang pajak karbon dan malah hanya merujuk pada pertimbangan The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).