Bisnis Indonesia | 16 Januari 2024
Dwi Purwanto (Governance Analyst di Pratama Institute for Fiscal Policy & Governance Studies)
Bisnis, JAKARTA – Kecelakaan kerja di lingkup perusahaan tambang belum lama ini kembali terjadi di salah satu pabrik pengolahan nikel milik PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS). Perusahaan ini merupakan salah satu tenant atau penyewa yang beroperasi di kawasan industri Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Morowali, Sulawesi Tengah.
Insiden tersebut bermula ketika sejumlah pekerja tengah memperbaiki tungku pembakaran dan memasang pelat pada bagian tungku. Saat proses perbaikan sedang dilakukan, terjadi ledakan yang mengakibat 21 orang karyawan meninggal terdiri dari 8 tenaga kerja asing dan 13 tenaga kerja Indonesia.
Penyebab ledakan tungku smelter diduga karena bagian bawah tungku masih terdapat cairan pemicu ledakan. Terlebih, di lokasi ledakan terdapat banyak tabung oksigen yang biasanya digunakan untuk pengelasan dan pemotongan komponen tungku. Akibatnya, ledakan pertama memicu beberapa tabung oksigen di sekitar area tersebut ikut meledak juga.
Peristiwa ini mengungkapkan bahwa penerapan kesehatan dan keselamatan kerja (K3) di PT ITSS masih sangat minim dan rawan menimbulkan korban jiwa. Selain itu, penerapan prinsip-prinsip good corporate governance (GCG) dan pengungkapan environmental social governance (ESG) di PT ITSS belum berjalan secara optimal.
Sebagai sebuah perusahaan, PT ITSS seharusnya memiliki kebijakan perlindungan keselamatan pekerja. Kebijakan tersebut antara lain mengatur mengenai keselamatan kerja, manajemen K3, sertifikasi K3, fasilitas kesehatan dilingkungan kerja, asuransi kesehatan terhadap pekerja dan keluarga, serta informasi mengenai adanya tingkat bahaya tertentu bagi pekerja.
Dalam penerapan K3, perusahaan juga harus melaksanakan program penanganan keadaan darurat yang disosialisasikan kepada seluruh karyawan. Selain itu, di lingkungan perusahaan harus tersedia infrastruktur (alat keselamatan kerja), baik sebagai early warning system maupun sebagai pelaksanaan program tanggap darurat.
Selain itu, informasi mengenai K3 wajib diungkapkan dalam laporan ESG yang antara lain mengungkapkan informasi mengenai identifikasi risiko K3, aspek K3 dalam perjanjian kerja bersama (PKB), struktur organisasi K3, pelatihan K3, kinerja K3, keselamatan mitra kerja, dan program K3.
Oleh karena itu, untuk mengurangi frekuensi kecelakaan kerja di dunia usaha, pemerintah perlu melakukan upaya yang lebih serius dalam perbaikan kebijakan K3. Hal ini tentu sangat penting mengingat buruknya kesehatan dan keselamatan pekerja menyebabkan menurunnya produktivitas dan demotivasi kerja.
UPAYA PERBAIKAN
K3 merupakan konsep yang harus menjadi perhatian penting bagi seluruh insan perusahaan. Penerapan program K3 sebagai upaya perlindungan pekerja dari risiko bahaya kerja dan dampak yang ditimbulkannya.
Keberhasilan penerapan K3 dapat menjadi faktor pendukung peningkatan produktivitas kinerja perusahaan dan kesejahteraan karyawannya.
Namun, kecelakaan kerja di perusahaan masih sering terjadi karena kurangnya kedisiplinan pekerja dalam menggunakan alat pelindung diri pada saat bekerja di lingkungan yang memiliki risiko kecelakaan kerja.
Selain itu, kurangnya sosialisasi dan edukasi terkait kesehatan, dan keselamatan kerja kepada pengusaha dan pekerja serta masyarakat umum sebagai upaya preventif dan promotif K3.
Penyebab lainnya adalah masih banyak pengusaha yang memandang K3 sebagai beban finansial bukan investasi yang dapat menghasilkan profit. Lebih lanjut, kurang optimalnya peran aparat penegak hukum dan pengawas ketenagakerjaan dalam memastikan pelaksanaan K3 di perusahaan berjalan sesuai dengan standar aturan yang berlaku.
Dengan mempertimbangkan peningkatan produktivitas kinerja perusahaan dan kesejahteraan pekerja, maka upaya perbaikan kebijakan K3 perlu dilakukan. Ada tiga cara untuk memperbaiki kebijakan K3 di perusahaan. Pertama, regulasi mengenai K3 yang diatur dalam UU No. 1/1970 tentang Keselamatan Kerja harus direvisi.
Sebab, banyak peraturan lawas yang diterbitkan sejak 1970, sehingga sudah tidak relevan lagi dari segi substansi dan acuan regulasi. Selain itu, sanksi denda karena mengabaikan penerapan K3 di perusahaan terlalu ringan sehingga tidak menciptakan efek jera.
Oleh karena itu, ketentuan sanksi harus direvisi untuk memberikan efek jera kepada perusahaan yang tidak mematuhi norma K3.
Kedua, pengawas ketenagakerjaan dari pemerintah perlu aktif melakukan audit, tidak hanya menunggu laporan pengaduan pengabaian K3. Oleh karena itu, pengawasan terhadap penerapan norma K3 perlu ditingkatkan sebagai bagian dari penegakan hukum.
Bila perlu, komite pengawasan ketenagakerjaan ditingkatkan menjadi lembaga independen yang mempunyai kewenangan seperti Kepolisian atau Kejaksaan.
Cara yang ketiga adalah dengan membangun kesadaran (awareness) akan pentingnya penerapan prinsip-prinsip GCG bagi perusahaan. Hal ini dikarenakan penerapan K3 sebagai salah satu unsur dalam penerapan GCG di perusahaan.
Selain itu, pengungkapan penerapan K3 dalam laporan ESG merupakan bagian dari implementasi konsep dan mekanisme GCG.
Dengan ketiga cara tersebut ke depan diharapkan pemerintah tidak hanya mengutamakan kepentingan investor saja, tetapi juga mengutamakan keselamatan kerja pekerja. Sebab, jika terjadi hal yang buruk pada seorang pekerja, maka perusahaan yang akan mengalami kerugian yang lebih besar.
Artikel ini telah tayang pada laman Bisnis Indonesia dengan judul “Penerapan K3 dan GCG” pada 16 Januari 2024, dengan tautan berikut
https://bisnisindonesia.id/article/opini-penerapan-k3-dan-gcg