CNBC Indonesia | 16 Januari 2024
Tarif pajak hiburan yang menjadi ketentuan khusus sebagai objek Pajak Barang Jasa Tertentu (PBJT) dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) mendapat protes dari pelaku industri hingga pemengaruh atau influencer di media sosial.
Asosiasi SPA Indonesia (ASPI) yang kini bernama Perkumpulan Pengusaha Husada Tirta Indonesia dan Perkumpulan Asosiasi Terapis SPA Indonesia yang dulu bernama Asosiasi SPA Terapis Indonesia (ASTI) telah mengajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi terhadap UU HKPD sejak 5 Januari 2024.
Sementara itu, protes dan kritikan di sosial media disampaikan oleh pengacara kondang Hotman Paris Hutapea melalui akun instagramnya, serta pedangdut kenamaan Inul Daratista yang juga pemilik tempat karaoke Inul Vizta. Mereka menganggap tarif pajak hiburan minimal 40% dan maksimal 75% bisa mematikan industri.
Kalangan pakar perpajakan dan ekonom di Indonesia juga sebetulnya satu suara dengan para pemrotes tersebut. Mereka berpendapat, tarif minimum PBJT khusus untuk sektor tertentu di industri dunia hiburan itu terbilang tinggi dari ketentuan sebelumnya, sehingga bisa menekan jumlah konsumennya.
Sebelumnya, dalam UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) tarif pajak hiburan khusus untuk pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa, tarif Pajak Hiburan hanya dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 75%, tanpa menyebutkan batas minimum 40% seperti di UU HKPD.
Pakar Pajak yang juga merupakan Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono mengatakan, besaran tarif itu pun sebetulnya tidak mencerminkan dasar penetapan tarif berdasarkan kondisi ekonomi daerah atau sektor usaha yang tercakup dalam batasan tarif tersebut, melainkan hanya keputusan politis.
“Besaran tarif 40%-75% itu merupakan keputusan politis antara DPR dan Pemerintah pusat sesuai Pasal 23 A UUD 1945. Jadi, range tarif tersebut dianggap tepat secara politik karena UU HKPD itu merupakan hasil kompromi politik antara eksekutif dan legislatif,” kata Prianto kepada CNBC Indonesia, dikutip Selasa (16/1/2024).
“Kalau pemerintah daerah (Kabupaten/Kota) tidak setuju, mereka tidak bisa menurunkan range tarif tersebut karena sudah ada pengaturannya di UU HKPD,” tegasnya.
Oleh sebab itu, ketika pemerintah daerah tidak ada kewenangan untuk menentukan tarif pajak hiburan khusus di bawah 40% bila nyatanya kondisi bisnis di sektor tertentu itu bermasalah, maka opsinya adalah pemberlakuan tarif ataupun tidak ada pungutan sama sekali sambil mencari alternatif penerimaan asli daerah lain.
“Memang tarif tersebut cukup tinggi sehingga berpotensi penurunan konsumsi masyarakat atas hiburan. Akan tetapi, tarif tersebut hanya berlaku untuk jasa hiburan berupa diskotek, karaoke, klub malam bar, dan spa. Dengan kata lain, tarif pajak hiburan selain yang itu masih tetap 10% paling tinggi,” tutur Prianto.
Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis, Fajry Akbar juga menyatakan hal serupa. Tarif pajak dalam rentang UU HKPD memang terbilang tinggi dibanding negara lain, seperti Thailand yang hanya 5%, bahkan dibanding penerapan tarif pajak hiburan sebelumnya yang berlaku di sejumlah daerah besar seperti Jakarta dan Bali masih sangat tinggi.
“Jakarta misalnya, harus naik dari 25% ke 40%-75%. Lalu bali, dari 15% naik ke 40%-75%. Tentu ini bukanlah hal yang ideal. Dan kalau kita bandingkan dengan negara lain, tarif pajak untuk klub malam, karaoke, diskotik di UU HKPD memang sudah terlalu tinggi,” tegasnya.
Maka, ketika setting tarif minimum dalam UU HKPD sebesar 40% jauh lebih tinggi dari pajak hiburan negara pesaing pariwisata Indonesia di ASEAN, yakni Thailand, maupun naik pesat dari besaran tarif sebelumnya di daerah, bisa membuat konsumsi di sektor hiburan itu turun.
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menambahkan, yang menjadi permasalahan memang penetapan batas minimum tarif 40%. Menurutnya, tak semua daerah, golongan pengusaha, hingga kemampuan konsumsi masyarakat setara seluruhnya mampu dipungut pajaknya 40% hanya untuk menikmati hiburan.
“Sehingga ketika misalnya dipukul rata ini yang kemudian akan bertolak belakang dengan prinsip keadilan perpajakan termasuk dalam penentuan tarif ini. Selain itu juga kemampuan dari daya beli masyarakat di masing-masing daerah pun akan berbeda tentunya,” ucap Yusuf.
Ekonom yang juga merupakan Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita juga menekankan bahwa pungutan pajak yang meningkat drastis itu tentu juga akan menaikkan harga jual dari jasa hiburan yang terdampak ketetapan tarif batas minimum pajak hiburan sebesar 40%.
“Misalnya pajak karaoke yang sudah dipatok 25% selama ini, jika naik menjadi 40%, maka berpotensi akan membuat harga jualnya, baik jasa maupun barang, naik sekitar 15%. Apalagi kalau angkanya di atas 40%,” ucap Ronny.
Oleh sebab itu, Ronny mengingatkan, bila kenaikan tarif terlalu terlalu tajam dan membuat harga jual juga meningkat implikasinya tentu bisa membuat sebagian pelaku usaha gulung tikar, karena relasi antara harga, permintaan, dan kelayakan bisnis dianggap sudah tak lagi sinkron alias merugi, meski kenaikan harga tak melulu simetris dengan permintaan karena adanya captive dan segmented market.
“Hanya saja, jika dikaitkan dengan ambisi pariwisata nasional yang ingin mendatangkan sebanyak-banyaknya turis asing pun turis domestik, angka pajak tersebut tampaknya perlu dibicarakan ulang, terutama dengan pelaku usaha hiburan yang terkena pajak tinggi tersebut,” tutur Ronny.
Artikel ini telah tayang di laman CNBC Indonesia dengan judul “Berat! Pajak Hiburan 40-75% Disebut Bisa Matikan Industri” pada 16 Januari 2024, pada tautan https://www.cnbcindonesia.com/news/20240116092627-4-506179/berat-pajak-hiburan-40-75-disebut-bisa-matikan-industri