“Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban warga negara. Karena itu, perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan merupakan sarana peran serta dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional”.
Petikan kalimat di atas merupakan bagian konsiderans dari Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) Nomor 7 Tahun 1983 yang mulai berlaku efektif tanggal 1 Januari 1984. Sebagai catatan, tahun 1983 merupakan tonggak penting dalam sejarah reformasi perpajakan di Indonesia karena di tahun tersebut pula diundangkan dua ketentuan perundang-undangan lainnya: Undang-undang tersebut yaitu UU No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cata Perpajakan (UU KUP) dan UU No. 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN dan PPnBM).
Sampai dengan perubahan keempat UU PPh yang diatur di dalam UU Nomor 36 Tahun 2008, konsiderans sebagaimana dikutip di atas tidak mengalami banyak perubahan kecuali peletakannya yang digeser menjadi di bagian penjelasan umum. Hal yang mungkin perlu untuk kita garis bawahi dari petikan di awal tulisan adalah bahwasanya sejak semula pemerintah dan wakil rakyat di parlemen telah saling sepakat untuk menempatkan pajak sebagai instrumen penting dalam pembangunan nasional (national building).
Namun, setelah empat dekade diundangkannya aturan dimaksud, basis pajak (tax base) kita masih cukup lemah. Jika rasio pajak terhadap PDB (tax ratio) di negara-negara maju rata-rata berada di angka 34 persen di tahun 2022 (OECD, 2023a), sementara dalam kasus Indonesia tax ratio-nya masih di kisaran 10,9 persen (OECD, 2023b). Rasio tersebut bahkan masih lebih rendah dari negara berkembang di kawasan seperti Fiji (15,1 persen) atau Papua Nugini (12,1 persen).
Pertanyaannya kemudian, apa faktor yang menyebabkan rendahnya rasio pajak kita? Sebagai renungan, saat ini kita menemukan fakta masyarakat yang sudah lebih sadar (pajak) namun tidak patuh.
Hal tersebut dapat ditengarai dari argumen di tengah masyarakat yang terus berulang, contohnya:
“Tetangga saya juga tidak membayar pajak, jadi kenapa saya mesti bayar?”
“Ah, paling nanti akhir-akhirnya juga dikorupsi!”, dan seterusnya.
Dengan kondisi semacam ini, pemerintah perlu meyakinkan warganya dengan secara berkelanjutan memaparkan fakta-fakta bahwa pajak yang dipungut memang digunakan untuk tujuan kemaslahatan masyarakat luas.
Berikutnya, perlu adanya keterlibatan berkelanjutan antara warga negara dan otoritas yang berwenang untuk mengatasi keengganan dalam membayar pajak.
Pajak pada dasarnya merupakan hasil dan perwujudan dari kontrak sosial antara negara dan warga negara. Jika negara tidak menyediakan pelayanan maupun kebutuhan dasar sebagai imbalan dari pajak yang dipungutnya, warga negara akan mulai atau bahkan terus menghindari pajak.
Cara pandang tersebut memang kurang sesuai dengan posisi pajak dalam paradigma klasik yang dianut dalam sistem perpajakan kita. Sebagaimana teks dari Pasal 1 angka 1 UU KUP, pajak dalam paradigma klasik ini masih menitikberatkan pada sesuatu yang bersifat memaksa dengan tanpa mendapatkan imbalan secara langsung.
Karena itu, diperlukan pergeseran paradigma dalam mendefinisikan pajak ke paradigma kontemporer (Rosdiana & Irianto, 2018). Di antara pergeseran tersebut adalah pajak harus dikembalikan ke masyarakat sehingga seharusnya hasil dari pemungutan pajak diproritaskan untuk manfaat yang secara langsung mereka rasakan. Wacana menaikkan gaji pejabat dengan dalih mengurangi korupsi yang belakangan ini berkembang justru kontradiktif dengan paradigma ini.
Sebagai tindak lanjut dari pergeseran paradigma, perlu dikembangkan gagasan mengenai demokratisasi perpajakan karena mempertimbangkan peningkatan kesadaran masyarakat yang berakibat pada meningkatnya tuntutan transparansi dalam pengelolaan pajak (Rosdiana & Irianto, 2018).
Transparansi pengelolaan dana pajak menjadi bagian tidak terpisahkan dari hak warga negara yang telah mempercayakan pengelolaan sebagian kekayaannya pada pemerintah. Sebagaimana diejawantahkan dalam UU PPh kita, pajak yang telah dibayar menjadi instrumen penting dalam national building dan warga negara perlu memastikan bahwa peran tersebut memang benar sudah diwujudkan dalam program-program yang dieksekusi pemerintah.
Dalam persepsi warga secara umum, kepercayaan bahwa alokasi pajak tersebut telah didistribusikan secara tepat untuk kesejahteraan umum perlu diperkuat dengan upaya pemerintah memberikan transparansi secara berkala. Dalam prosesnya, kepercayaan yang saling terbangun antara pemerintah dan warga negara akan dapat menempatkan pajak sebagai instrumen demokratis yang stabil.
Hal tersebut dapat tergambar misalnya melalui optimalisasi peran pemerintah dalam memberikan pelayanan terbaik untuk warga negara, sementara dari sudut pandang warga negara yaitu pembayaran pajak untuk memperoleh hak-hak penuh termasuk dalam menentukan siapa yang layak mewakili mereka di pemerintahan dan parlemen (Aronson, 1985).