Sebuah laporan dari OECD pada tahun 2021 mengungkapkan bahwa sekitar 10% dari total penerimaan pajak global hilang setiap tahunnya akibat penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional. Dampaknya terasa lebih besar di negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin, sementara kerugian di Eropa dan Amerika Utara cenderung lebih kecil. Temuan ini menegaskan bahwa penghindaran pajak dan perpindahan basis pajak adalah tantangan global yang membutuhkan langkah bersama secara internasional untuk menutup celah-celah ini dan melindungi stabilitas fiskal di seluruh dunia. Pertanyaannya kini, sejauh mana setiap negara siap untuk mengadopsi kebijakan kolektif guna menghadapi masalah ini?
Penerimaan negara yang hilang akibat aggressive tax planning (ATP) merupakan salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia dan banyak negara lainnya. Praktik ATP oleh perusahaan multinasional memungkinkan mereka untuk mengalihkan laba mereka ke negara dengan tarif pajak rendah, sehingga menghindari pajak yang seharusnya dibayar di negara tempat mereka beroperasi. Hal ini mengarah pada base erosion dan profit shifting (BEPS), yaitu pengurangan basis pajak dan pergeseran laba yang merugikan negara-negara dengan tarif pajak lebih tinggi.
Menurut laporan yang diterbitkan oleh OECD, Indonesia mengalami kehilangan penerimaan pajak yang cukup signifikan setiap tahunnya karena praktik ATP ini. Dalam laporan OECD, disebutkan bahwa negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, kehilangan lebih dari 3% dari PDB mereka akibat penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan multinasional. Praktik ini memberikan dampak besar terhadap keberlanjutan fiskal negara dan kemampuan pemerintah untuk memenuhi berbagai kebutuhan pembangunan.
Namun, Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang menghadapi masalah ini. Negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Jerman, dan negara-negara Uni Eropa juga mengalami kerugian serupa. Oleh karena itu, masalah ATP ini telah menjadi perhatian global dan memicu kerjasama internasional untuk mencari solusi yang lebih efektif.
Sebagai respons terhadap masalah ATP yang meluas, negara-negara di seluruh dunia sepakat untuk memperkenalkan kebijakan yang dapat mengatasi masalah tersebut. Salah satu kebijakan utama yang diterapkan adalah OECD/G20 Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action Plan. Dalam kerangka kerja ini, OECD mengembangkan Pilar Dua yang menetapkan Global Minimum Tax (GMT) untuk mencegah penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional yang menggunakan praktik agresif untuk memindahkan keuntungan mereka ke negara dengan tarif pajak rendah.
Baca juga : Indonesia Resmi Terapkan Pajak Minimum Global 15% Mulai Januari 2025, Apa Dampaknya?
Pilar Dua bertujuan untuk menetapkan tarif pajak minimum global yang akan memastikan bahwa perusahaan multinasional membayar pajak yang adil, di mana pun mereka beroperasi. Melalui penerapan GMT, negara-negara dapat mengurangi insentif bagi perusahaan untuk memindahkan laba mereka ke yurisdiksi pajak rendah, sehingga meningkatkan penerimaan pajak global dan mengurangi ketimpangan dalam kompetisi antar negara.
Penerapan GMT di Indonesia
Sebagai bagian dari upaya untuk mengatasi ATP dan BEPS, Indonesia telah mengadopsi kebijakan GMT sesuai dengan komitmen internasional melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 136/2024 (PMK 136/2024). Regulasi ini mengatur penerapan GMT di Indonesia dan menetapkan tarif pajak minimum 15% yang harus dibayar oleh perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia. Jika perusahaan multinasional tersebut tidak membayar pajak dengan tarif tersebut, mereka diwajibkan untuk membayar top-up tax yang akan menambah jumlah pajak yang mereka bayar hingga mencapai tarif minimum global.
PMK 136/2024 menetapkan bahwa GMT berlaku bagi perusahaan multinasional yang memiliki pendapatan global yang cukup besar, serta beroperasi di Indonesia. Sebagai bagian dari kebijakan ini, Indonesia juga menetapkan mekanisme top-up tax, di mana perusahaan yang tidak mencapai tarif pajak minimum 15% di Indonesia akan diminta untuk membayar pajak tambahan untuk melengkapi kekurangannya.
Namun, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana aturan ini berpengaruh terhadap Perusahaan Milik Negara (PMN) atau perusahaan yang sudah mendapatkan insentif pajak, seperti tax holiday. Perusahaan-perusahaan ini sering kali tidak dikenakan tarif pajak penghasilan badan yang mencapai 15%, sehingga mereka tetap berpotensi terkena kewajiban top-up tax jika pajak yang dibayar tidak memenuhi batas minimum tersebut.
Top-up tax adalah pajak tambahan yang harus dibayar oleh perusahaan yang tidak memenuhi tarif pajak minimum global 15%. Meskipun perusahaan multinasional sudah mendapatkan insentif pajak seperti tax holiday yang membuat mereka membayar pajak dengan tarif yang lebih rendah, mereka tetap diwajibkan membayar pajak tambahan untuk memenuhi kewajiban GMT jika total pajak yang mereka bayar di Indonesia kurang dari 15%.
PMK 136/2024 menjelaskan bahwa mekanisme perhitungan top-up tax dilakukan dengan menghitung selisih antara pajak yang seharusnya dibayar oleh perusahaan (15%) dengan pajak yang sebenarnya dibayar oleh perusahaan tersebut. Jika PMN sudah mendapatkan insentif pajak yang mengurangi tarif pajak, mereka harus menambah pajak yang dibayar hingga mencapai tarif minimum 15%.
Meskipun demikian, PMK-136/2024 menjelaskan tidak semua PMN harus membayar top-up tax untuk memenuhi pajak minimum global. Bagi PMN yang memiliki omzet tidak lebih dari 750 USD, mereka dikecualikan dari kebijakan ini. Tantangan muncul ketika omzet PMN melebihi threshold namun telah mendapatkan insentif pajak.
Bagi PMN yang sudah mendapatkan insentif pajak seperti tax holiday, penerapan GMT dengan top-up tax dapat menjadi tantangan besar. Mereka hanya berkewajiban membayar pajak dengan tarif 5%, tapi karena kebaikan pemerintah Indonesia, PMN diwajibkan untuk membayar pajak tambahan sesuai dengan ketentuan GMT.
Jika memandang kebijakan GMT dari kacamata pebisnis, kebijakan ni dapat menciptakan ketidakadilan. Ketika perusahaan telah berusaha memenuhi persyaratan untuk mendapatkan restu insentif pajak, tetapi terpapar kewajiban pajak tambahan. Oleh karena itu, ketegasan Pemerintah Indonesia dipertaruhkan disini, apakah pemerintah dapat menggunakan instrumen pajak sebagai fungsi regulerend secara bijak atau serampangan.
Mengapa Indonesia Harus Menerapkan GMT
Sebuah kebijakan pasti disertai narasi pro dan kontra dalam penerapannya, disesuaikan dengan kacamata siapa yang dipakai. Meskipun demikian, Indonesia harus tetap menerapkan GMT untuk menunjukan sikap tegas dalam menutupi celah kerugian penerimaan pajak akibat Aggressive Tax Planning. Dengan penerapan GMT, Indonesia dapat meningkatkan keadilan pajak yang telah disepakati secara global, memitigasi penghindaran pajak oleh PMN, dan memastikan bahwa perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia membayar pajak yang sebanding dengan keuntungan yang mereka peroleh.
Penerapan GMT juga membuka peluang bagi Indonesia untuk berperan lebih aktif dalam kerjasama global untuk mengatasi ATP, serta mengurangi ketimpangan dalam pajak yang dibayar oleh perusahaan multinasional. Selain itu, dengan penerapan GMT, Indonesia dapat meminimalkan potensi tax havens dan memperkuat posisi fiskal negara di kancah internasional.
Baca juga : Global Minimum Tax dan Implikasinya Bagi Indonesia
Jika Indonesia tidak menerapkan GMT, negara ini akan terus menghadapi kehilangan potensi penerimaan pajak yang signifikan. Perusahaan-perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia mungkin akan terus memanfaatkan celah hukum dan insentif pajak untuk menghindari kewajiban pajak yang seharusnya mereka bayar. Tanpa GMT, Indonesia berisiko terus kekurangan pendapatan pajak yang dibutuhkan untuk mendanai pembangunan dan memperbaiki infrastruktur negara.
Alternatif kebijakan jika GMT tidak diterapkan dapat berupa peningkatan pengawasan dan audit pajak untuk memastikan bahwa perusahaan tidak terlibat dalam praktik ATP. Selain itu, pemerintah juga bisa fokus pada reformasi pajak yang lebih luas dengan memperkenalkan insentif pajak yang lebih berbasis pada kontribusi nyata terhadap perekonomian, daripada insentif yang memberi ruang bagi penghindaran pajak.
Penerapan Global Minimum Tax (GMT) di Indonesia merupakan langkah penting dalam menghadapi aggressive tax planning dan base erosion profit shifting yang telah mengurangi potensi penerimaan pajak negara. Meskipun ada tantangan bagi perusahaan yang sudah mendapatkan insentif pajak seperti tax holiday, kebijakan ini diharapkan dapat memperkuat sistem pajak Indonesia dan meningkatkan penerimaan negara secara berkelanjutan. Indonesia perlu mempertimbangkan secara hati-hati dampak dari GMT terhadap perusahaan yang mendapat insentif pajak, namun kebijakan ini jelas akan memberikan kontribusi positif dalam mengurangi ketimpangan dalam pajak yang dibayar oleh perusahaan multinasional.