Negara-negara Berkembang bersaing untuk menurunkan tarif PPh Badan serendah mungkin dengan harapan dapat menariK FDI, biasa disebut race to the bottom. Dilain sisi, negara-negara maju menganggap fenomena race to the bottom harus di eliminasi dengan menerapkan tarif terendah yang harus dipatuhi setiap negara, istilah terkenalnya Global Minimum Tax. Penurunan pajak penghasilan perusahaan yang signifikan merupakan cara yang mudah bagi negara-negara berkembang untuk meningkatkan iklim investasi negara mereka,
Kebijakan GMT bertujuan untuk mencegah penghindaran pajak dan menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil. Namun, laporan Tax Justice Network (2021) menyoroti bahwa kebijakan ini justru cenderung lebih menguntungkan negara-negara maju dibandingkan negara-negara berkembang.
Dalam skema GMT, pajak tambahan yang dikumpulkan umumnya dialokasikan ke negara asal perusahaan multinasional. Negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan negara-negara di Uni Eropa, yang menjadi markas besar banyak perusahaan multinasional, cenderung menerima porsi yang lebih besar dari pendapatan pajak tambahan tersebut. Sementara itu, negara berkembang yang menjadi tempat aktivitas ekonomi berlangsung tidak mendapatkan bagian yang proporsional, meskipun keuntungan sering kali dihasilkan di wilayah mereka.
Laporan Tax Justice Network memperkirakan bahwa negara maju akan memperoleh sebagian besar keuntungan dari GMT. Negara-negara seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa diperkirakan menerima pendapatan pajak tambahan yang signifikan, sementara negara-negara berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin hanya mendapatkan bagian kecil dari penerimaan pajak global. Ketidakmerataan ini mencerminkan tantangan struktural dalam sistem perpajakan internasional.
Tak akan ada asap jika tidak ada api, sama halnya dengan fenomena race to the bottom tidak akan muncul secara tiba-tiba. Berbagai temuan dalam literatur telah memvalidasi bahwa negara-negara berkembang selama ini mengandalkan insentif pajak untuk menarik investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI). Insentif ini dirancang untuk mengkompensasi kekurangan dalam infrastruktur, kestabilan politik, atau kapasitas ekonomi. Namun, penerapan GMT membatasi kemampuan negara berkembang untuk menawarkan insentif pajak, karena setiap potongan pajak yang diberikan dapat diklaim oleh negara asal perusahaan melalui pajak tambahan. Akibatnya, daya tarik investasi di negara-negara berkembang berpotensi menurun secara signifikan.
Fenomena race to the bottom dinilai dalam jangka panjang juga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sebagaimana terlihat dari yang dilakukan Singapura. Artinya penurunan tarif dalam jangka pendek memang dapat menurunkan penerimaan PPh Badan, namun dalam jangka panjang panjang dapat meningkatkan Foreign Direct Investment (FDI) dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. (Inriana & Setyowati,2020)
Céline & Andrew (2006) mengindikasikan bahwa pajak memainkan peran penting dalam lokasi PMA di negara-negara berkembang, bahkan ketika faktor-faktor penentu yang terkait dengan persaingan tidak sempurna dikontrol dalam estimasi. Hal ini menunjukkan bahwa ketakutan akan persaingan pajak tidak sepenuhnya tidak berdasar karena investor asing bereaksi terhadap berbagai tingkat tarif pajak yang berbeda.
Baca juga : Global Minimum Tax dan Implikasinya Bagi Indonesia
Negara-negara di seluruh dunia menghadapi tantangan serius dalam mengatasi penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional, yang diperkirakan menyebabkan hilangnya sekitar 10% dari total penerimaan pajak global setiap tahunnya (OECD, 2021). Dampak ini paling terasa di negara-negara berkembang, seperti di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, yang sangat membutuhkan pendapatan pajak untuk mendukung pembangunan ekonomi dan sosial. Dengan kerugian yang mencapai USD 240 miliar per tahun secara global (OECD, 2015), muncul pertanyaan penting: sejauh mana kebijakan seperti Global Minimum Tax (GMT) dapat efektif membantu negara berkembang menutup celah ini dan meningkatkan keadilan dalam sistem perpajakan internasional?
Kesepakatan Awal Perumusan GMT
Penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional telah menjadi tantangan global yang signifikan, terutama bagi negara berkembang. Diperkirakan, sekitar 10% dari total penerimaan pajak dunia hilang setiap tahunnya akibat perpindahan basis pajak (OECD, 2021). Reformasi perpajakan internasional mengalami perkembangan signifikan sejak 2013, ketika OECD dan negara-negara G20 memulai inisiatif untuk menangani masalah Base Erosion and Profit Shifting (BEPS). Inisiatif ini bertujuan untuk mengatasi penghindaran pajak dan perpindahan basis pajak yang dilakukan oleh perusahaan multinasional, yang selama ini merugikan banyak negara dalam penerimaan pajak mereka. Pada 2015, OECD menerbitkan laporan akhir “BEPS Action Plan,” yang mencakup 15 tindakan konkret untuk melawan praktik penghindaran pajak. Sejak saat itu, berbagai negara mulai mengadopsi prinsip-prinsip BEPS melalui regulasi nasional maupun perjanjian internasional.
Namun, seiring perkembangan ekonomi digital, OECD menyadari bahwa pendekatan BEPS belum cukup menangani tantangan baru yang muncul. Pada 2019, dokumen “Addressing the Tax Challenges of the Digitalisation of the Economy” memperkenalkan kerangka kerja baru, yaitu OECD Pillar. Kerangka ini terbagi menjadi dua pilar utama: Pillar One dan Pillar Two. Pillar One berfokus pada pembagian keuntungan perusahaan multinasional secara lebih adil berdasarkan kriteria seperti lokasi pelanggan dan pendapatan. Sementara itu, Pillar Two menekankan pada penerapan Global Minimum Tax (GMT), sebuah tarif pajak minimum global sebesar 15% untuk perusahaan multinasional.
Pada 2021, setelah bertahun-tahun melalui dialog dan konsultasi internasional, OECD bersama negara-negara G20 dan Inclusive Framework on BEPS mencapai kesepakatan final terkait GMT. Kesepakatan ini dirancang untuk diterapkan secara global, dengan tujuan menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil. Namun, pelaksanaannya tidak lepas dari tantangan, terutama terkait struktur perusahaan multinasional yang kompleks. Banyak perusahaan memiliki jaringan anak perusahaan di berbagai negara, sehingga sulit menentukan secara pasti keuntungan yang dihasilkan di setiap yurisdiksi.
Lebih jauh, kebijakan GMT justru menimbulkan ketimpangan manfaat antara negara maju dan berkembang. Negara-negara maju, sebagai markas besar perusahaan multinasional, mendapatkan keuntungan yang lebih besar karena mereka menerima pajak tambahan dari perusahaan yang beroperasi di luar negeri. Sebaliknya, negara-negara berkembang, yang lebih bergantung pada insentif pajak untuk menarik investasi langsung asing (FDI), justru menghadapi kendala. Dengan penerapan GMT, negara berkembang kehilangan daya saing dalam menarik FDI karena insentif pajak yang mereka tawarkan menjadi tidak relevan.
Kesepakatan GMT mencerminkan prioritas negara maju yang memiliki infrastruktur perpajakan dan stabilitas ekonomi yang lebih unggul. Sementara itu, negara berkembang masih menghadapi tantangan kapasitas administrasi dan ketergantungan pada FDI untuk mendukung pembangunan ekonomi. Akibatnya, penerapan GMT mempertegas ketimpangan manfaat dalam sistem perpajakan global, meninggalkan negara berkembang dengan manfaat yang lebih sedikit dari reformasi ini. Akibatnya, struktur GMT cenderung mencerminkan prioritas negara-negara maju, yang memperkuat ketimpangan dalam distribusi manfaat.
Globalisasi dan perkembangan teknologi telah memperkenalkan tantangan baru dalam perpajakan dan bagaimana kebijakan pajak yang efisien dapat membantu mengatasi tantangan tersebut (Wu, 2015). Pemerintah dituntut untuk dapat membuat kebijakan yang mampu untuk mengatasi masalah praktik perpajakan global yang salah satunya melalui penerapan GMT di Indonesia. Namun, bagaimana ceritanya jika negara Berkembang membutuhkan investasi dari PMN tapi disisi lain mempersulit ruang gerak investor tersebut?
Dilema Penerapan GMT Pada Negara Berkembang
Tantangan utama terkait GMT adalah kesulitannya menetapkan tarif pajak yang adil dan berlaku global. Sementara negara-negara maju seperti AS dan Inggris mendukung tarif pajak minimum sebesar 15%, beberapa negara di Uni Eropa menuntut tarif yang lebih tinggi, yaitu sekitar 21%. Negara-negara berkembang seperti India dan Afrika Selatan juga mengusulkan tarif pajak minimum yang lebih tinggi untuk memaksimalkan pendapatan negara mereka.
Menurut Oxfam, tingkat pajak global minimum 15% tidak akan cukup untuk memastikan perusahaan-perusahaan besar membayar pajak yang seharusnya. Mereka mengklaim bahwa tingkat pajak minimum yang diperlukan harus setidaknya 25% (Oxfam, 2015). Oleh karena itu, penentuan tarif pajak yang adil untuk GMT menjadi tantangan besar dalam negosiasi antarnegara.
Kebijakan GMT dalam persaingan pajak internasional di antara negara-negara dengan karakteristik yang beragam. Penerapan kebijakan dengan tarif rendah berdampak secara signifikan mengubah perilaku tax haven country, kebijakan tersebut mendorong mereka untuk menaikkan tarif pajak hingga mencapai batas minimum global. Pada akhirnya menambah beban pajak bagi perusahaan yang melakukan pengalihan laba ke tax haven country. Hal ini dapat menyebabkan efek negatif terhadap kesejahteraan di negara-negara non-surga pajak.
Sebaliknya, ketika tarif pajak minimum global ditetapkan cukup tinggi untuk menghentikan praktik pengalihan laba, dampaknya terhadap kesejahteraan secara keseluruhan menjadi jelas positif. Dengan demikian, penerapan pajak minimum global dengan tarif rendah berpotensi tidak berpengaruh pada pengalihan laba, justru kebijakan ini dinikmati oleh tax haven country. (Nielsen J, 2022)
penerapan GMT dapat mempengaruhi investasi langsung asing atau foreign direct investment (FDI). Seperti diketahui, pajak hanyalah salah satu aspek dari banyak faktor yang mempengaruhi kemudahan berusaha. Terdapat indikator lainnya yang mencakup berbagai indikator seperti prosedur perizinan, perlindungan investor, penegakan kontrak, akses ke kredit, dan sebagainya. (Worldbank, 2021).
Baca Juga : Bagaimana Jika Indonesia Tidak Menerapkan GMT ?
Meskipun demikian, penelitian terbaru oleh menemukan bahwa peningkatan tarif pajak pada sektor tertentu berdampak negatif terhadap aliran FDI. Hasil mereka menunjukkan bahwa kenaikan pajak menyebabkan penurunan minat investor asing untuk berinvestasi dalam sektor tersebut (Smith dan Johnson, 2022). Aturan GMT akan sangat mempengaruhi insentif pajak yang terkait dengan investasi yang diberikan pemerintah, khususnya tax holiday dan pembebasan pajak.
Berdasarkan aturan GMT, jika insentif mengurangi kewajiban pajak aktual yang dibayarkan oleh entitas dan tarif pajak efektif turun di bawah minimum yaitu 15%, entitas wajib membayar pajak top-up ke yurisdiksi IIR. Secara khusus, penerapan GMT akan berdampak langsung pada peraturan terkait dengan insentif pajak.
Penerapan GMT di Indonesia merupakan langkah yang penting dalam memperkuat keadilan pajak global dan mengurangi praktik perpindahan laba perusahaan multinasional. Meskipun GMT memiliki tujuan yang mulia untuk menciptakan keadilan dalam sistem perpajakan internasional, penerapannya memunculkan tantangan besar bagi negara-negara berkembang. Untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak semakin memperburuk ketimpangan global, langkah-langkah tambahan diperlukan. Negara-negara maju perlu mendukung penguatan kapasitas perpajakan negara berkembang dan memastikan distribusi pajak yang lebih adil. Dengan demikian, GMT dapat menjadi alat yang benar-benar efektif untuk mendorong keadilan dalam perpajakan global.
Negara-negara berkembang menggunakan insentif pajak sebagai salah satu strategi untuk menarik FDI, yang sering kali menjadi pendorong utama pembangunan ekonomi dan sosial. Dengan adanya GMT, daya saing negara-negara berkembang untuk menarik investasi menjadi terancam. Jika insentif pajak tidak lagi efektif, negara berkembang perlu mencari alternatif kebijakan untuk menarik investasi tanpa mengorbankan penerimaan pajak mereka.