Pemerintah resmi menetapkan target penerimaan pajak sebesar Rp2.189,3 triliun untuk 2025, melalui Undang-Undang Nomor 62 Tahun 2024 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang diperinci melalui Peraturan Presiden Nomor 201 Tahun 2025. informal
Kendati demikian World Bank memprediksi Indonesia akan kesulitan dalam mencapai pertumbuhan penerimaan pajak terutama berkaitan dengan peningkatan tax ratio menuju 11%. Klaim ini bukan tanpa sebab, dalam satu dekade terakhir Indonesia bahkan kesulitan untuk mencapai pertumbuhan tax ratio di atas 10%. Menilik pada beberapa persoalan tersebut, apakah mungkin pemerintah dapat memenuhi target penerimaan pajak?
Dominasi Sektor Informal
Salah satu penyebab utama sulitnya mendongkrak penerimaan pajak adalah tingginya dominasi sektor informal terhadap aktivitas perekonomian. Dalam penelitiannya, Schneider et al. (2010), menyatakan di beberapa negara berkembang, sektor informal bahkan menyumbang lebih dari 50% dari total output ekonomi suatu negara. Di Indonesia, Badan Pusat Statistik mecatat, sepanjang 2023 dari total angkatan kerja nasional (146,62 juta), 83,34 juta orang diantaranya (60,12%) terserap ke sektor informal.
Selanjutnya, dalam penelitiannya, Rothenberg et al. (2016), menyatakan bahwa 93% perusahaan di Indonesia bersifat informal. Hal tersebut membuktikan betapa besarnya kontribusi sektor informal terhadap perekonomian nasional. Sayangnya hal tersebut tidak berbanding lurus dengan jumlah pajak yang dapat dipungut.
Kendati demikian, penerapan pajak pada sektor informal bukanlah perkara mudah. Mayoritas aktivitas ekonomi di sektor informal tidak memiliki pencatatan atau dokumentasi yang memadai. Tanpa catatan transaksi yang jelas, sulit bagi otoritas pajak untuk menentukan jumlah pendapatan yang dapat dikenakan pajak.
Sektor informal juga biasanya beroperasi di luar kerangka regulasi resmi, serta para pelaku usaha di sektor informal biasanya tidak memiliki pengetahuan atau akses yang memadai terhadap informasi mengenai kewajiban perpajakan.
Realitas tersebut diperteruk dengan adanya kecenderungan beberapa pihak yang seolah merawat eksistensi sektor informal untuk keuntungan sebagian kelompok. Dalam penelitiannya, Djakop et al. (2002) menyatakan, sektor formal sering kali memperoleh manfaat dari keberadaan sektor informal. Hasil penelitiannya menunjukan, perusahaan di sektor formal, pada umumnya memiliki koneksi politik yang kuat. Mereka akan menggunakan kekuatan ini untuk mempengaruhi pemerintah dalam mendorong pembuatan kebijakan yang mendukung keberadaan sektor informal. Mengapa demikian?
Dalam temuan lain Castells dan Portes, (1989), menyatakan sebagian perusahaan di sektor formal menjalin hubungan subkontrak dengan perusahaan informal, dengan tujuan untuk menurunkan biaya operasional mereka. Hal ini dilakukan dengan cara memindahkan pekerjaan yang memerlukan banyak tenaga kerja kepada perusahaan informal yang tidak terikat oleh peraturan ketenagakerjaan dan hukum lainnya.
Menilik kompleksitas yang ada, sebagian akhirnya berpendapat bahwa transisi sektor informal menjadi formal adalah solusi yang ideal, namun faktanya tidak demikian. Kompleksitas sistem perpajakan beserta aturan yang rumit menyebabkan proses kepatuhan menjadi sulit dan membingungkan. Pertanyaan selanjutnya, apakah mungkin untuk memajaki sektor informal?
Persoalan Compliance Gap
Design kebiijakan perpajakan Indonesia seringkali menargetkan sektor formal, sementara sektor informal tidak dapat dijangkau oleh sistem perpajakan yang ada, bahkan terkesan hard-to-tax sehingga mengakibatkan Indonesia kesulitan dalam mendongkrak penerimaan pajak.
Kompleksitas ini juga menimbulkan efek domino berupa meningkatnya biaya kepatuhan pajak. Hal itulah yang menyebabkan banyak sektor informal enggan bertransisi ke sektor formal.
Kendati hard-to-tax bukan berarti sektor informal sama sekali tidak dapat dipajaki. Berbagai strategi dan kebijakan dapat diadopsi untuk mengatasi kesulitan ini. Perlu ditekankan bahwa sulitnya memajaki sektor informal tidak bisa dilepaskan dari masalah policy gap dan compliance gap.
Bila merujuk pada literatur manapun, persoalan compliance gap hanya bisa dientaskan dengan dua cara, pertama mendorong kepatuhan yang bersifat voluntary, atau kedua mendorong kepatuhan dengan cara memaksa.
Sebagai langkah awal menangani compliance gap baik secara memaksa ataupun sukarela, pemerintah terlebih dulu wajib untuk meningkatkan transparansi perpajakan dengan menekankan keterbukaan dan kejelasan dalam sistem perpajakan, seperti bagaimana pajak dikumpulkan, bagaimana pajak dikelola, hingga bagaimana pajak digunakan.
Tujuannya ialah guna maningkatkan voluntary compliance di kalangan wajib pajak (WP) sektor informal. Banyak WP tak terkecuali pelaku usaha di sektor informal memiliki persepsi negatif terhadap pajak, terutama jika mereka merasa bahwa pajak yang mereka bayarkan tidak dikelola dengan baik atau, tidak kembali ke masyarakat dalam bentuk layanan publik yang nyata.
Selanjutnya pemerintah juga dapat mengintegrasikan antara kepatuhan pajak dengan kemudahan akses terhadap jaminan sosial. Di beberapa negara maju seperti Prancis, Swedia, dan Belanda, seringkali menghubungkan kepatuhan pajak dengan akses ke jaminan sosial, seperti tunjangan kesehatan, pensiun, atau asuransi pengangguran. Insentif tersebut rupanya dapat mendorong kesadaran dari para pelaku usaha informal untuk mendaftar dan berkontribusi ke sistem pajak karena mereka melihat manfaat langsung dari kepatuhan tersebut.
Pemerintah juga perlu menggencarkan pemberian insentif yang berbasis pada pelatihan dan pengembangan kapasitas pelaku UMKM atau pelaku usaha sektro informal lainnya yang telah mendaftar ke sektor formal. Untuk praktik ini pemerintah bisa belajar pada Chile lewat program Chile Emprende yang menyediakan pelatihan, bimbingan, dan dukungan bisnis bagi usaha kecil yang terdaftar. Usaha yang telah terdaftar secara formal nantinya dapat mengakses, pelatihan manajemen, dan bantuan pemasaran, yang semuanya dirancang untuk meningkatkan keberhasilan usaha formal.
Mempersempit Policy Gap
Selain mendorong voluntary compliance, pemerintah juga pelu mengurangi dampak dari policy gap yang ada dengan mendorong digitalisasi transaksi dan mengurangi transaksi secara tunai untuk mengurangi transaksi yang tidak terlacak.
Di negara-negara berstatus High-Income Country, hampir semua transaksi dilakukan secara digital, sehingga lebih mudah bagi otoritas pajak untuk melacaknya. Digitalisasi juga membantu mengurangi ketidakpatuhan pajak dan memeinimalisasi policy gap, terutama dikarenakan adanya kemudahan dalam mengidentifikasi sumber pendapatan yang tidak terlapor.
Selanjutnya pemerintah dapat mengupayakan simplifikasi aturan perpajakan terutama bagi para pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) yang kebanyakan dari mereka beroperasi secara informal. seperti memberikan tarif pajak final sesuai dengan klasifikasi usaha masing-masing. Untuk hal tersebut, pemerintah dapat berguru pada Inggris, terutama mengenai skema Flat Rate VAT mereka, yang menyederhanakan pelaporan pajak bagi para pelaku UMKM di sana dengan menetapkan persentase pajak berdasarkan sektor usahanya.
Untuk itu, perlu adanya dobrakan kebijakan yang lebih kongkrit ketimbang hanya mengotak-ngatik komponen pembilang tax ratio. Ekstensifikasi perpajakan mutlak menjadi upaya yang perlu dimaksimalkan dan mengoptimalkan peran perpajakan ke sektor informal bisa jadi uapaya yang perlu dipertimbangkan. Pemerintah tentunya wajib mengkaji lebih dulu ide ini secara matang-matang agar dalam penerapannya dapat menciptakan keadilan bagi para pelaku usah di sektor informal, terutama bagi para pelaku usaha yang ‘belum melek’ dengan sistem perpajakan Indonesia.