Kumparan.com | 20 November 2024
Di tengah maraknya protes mengenai tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen mulai tahun depan, kini muncul usulan dilakukan kembali program pengampunan pajak atau tax amnesty jilid III.
Pemeritah dan DPR RI sepakat untuk memasukkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Jika Rapat Paripurna menyetujui hal tersebut, maka naskah akademik RUU Pengampunan pajak akan disiapkan oleh Komisi XI DPR RI.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI), Prianto Budi Saptono, mengatakan tax amnesty menjadi cara instan ketika negara membutuhkan dana segar dari para wajib pajak. Adanya tax amnesty memang meningkatkan penerimaan pajak secara signifikan, namun hal ini tidak diikuti di tahun-tahun berikutnya setelah tax amnesty berakhir.
“Di satu sisi, pemerintah membutuhkan dana lebih banyak untuk mengerek rasio pajak yang tak kunjung meningkat. Berdasarkan pengalaman selama ini melalui tax amnesty jilid I dan jilid II, berupa Program Pengungkapan Sukarela (PPS), penerimaan pajak meningkat signifikan. Peningkatan tersebut tidak diikuti di tahun-tahun berikutnya setelah tax amnesty berakhir,” ujar Prianto kepada kumparan, Rabu (20/11).
Prianto mengonfirmasi bahwa tax amnesty berhubungan dengan pengemplangan pajak atau offshore tax aevation. Bahkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah memberikan ‘kode’ berupa narasi pajak pada underground economy
“Kondisi offshore tax evasion tersebut sudah diungkap ke publik melalui narasi underground economy dan penghindaran pajak di sektor perkebunan,” kata dia.
Namun di sisi lain, tax amnesty hingga berjilid-jilid ini bisa menimbulkan rasa ketidakadilan bagi wajib pajak yang patuh. Dalam tax amnesty, para pengemplang pajak (tax evader) akan mendapatkan tarif khusus, bahkan di bawah tarif normal dalam UU Pajak, jika mereka mendeklarasikan harta yang selama ini disembunyikan di luar negeri.
“Masalahnya adalah bahwa pengemplang pajak mendapatkan karpet merah untuk membayar pajak dengan tarif khusus. Tarif khusus tersebut lebih rendah dari tarif normal di UU Pajak,” tutur Prianto.
Menurut Prianto, bukan reaksi yang berlebihan jika nantinya wajib pajak yang patuh akan antipati dan enggan membayar pajak. Apalagi, wajib pajak yang patuh ini membayar pajak sesuai tarif normal, bukan tarif khusus.
“Kondisi demikian dapat memunculkan antipati bagi wajib pajak patuh dengan mengatakan, kalau begitu, saya tidak perlu patuh karena nantinya juga akan ada tax amnesty jilid berikutnya. Pernyataan demikian sangat beralasan karena ada perlakuan tidak adil dari pemerintah ketika ada kebijakan tax amnesty,” tambahnya.
Program Tax Amnesty jilid I berlangsung pada 28 Juni 2016 sampai 31 Desember 2016 dan jilid II atau yang disebut Program Pengungkapan Sukarela (PPS) berlangsung pada 1 Januari 2022 sampai 30 Juni 2022.
Dalam tax amnesty jilid I, diikuti oleh 956.793 wajib pajak. Sementara, nilai harta yang diungkap mencapai Rp 4.854,63 triliun. Sementara repatriasi atau harta yang berhasil di bawa ke Indonesia dalam tax amnesty jilid I hanya Rp 147 triliun.
Di tax amnesty jilid II atau Program Pengungkapan Sukarela (PPS), diikuti oleh 247.918 wajib pajak. Harta yang diungkap mencapai Rp 594,82 triliun, sementara harta yang direpatriasi hanya Rp 19,2 triliun.
Artikel ini telah dimuat pada Kumparan.com dengan judul “Bakal Ada Tax Amnesty Jilid III, Karpet Merah Buat Pengemplang Pajak” selengkapnya di sini
https://kumparan.com/kumparanbisnis/bakal-ada-tax-amnesty-jilid-iii-karpet-merah-buat-pengemplang-pajak-23wh4sfMLH0/full