Koran Tempo | 28 April 2022
Penulis: Gustofan Mahmud (Economic Analyst Pratama-Kreston Tax Research Institute)
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menargetkan revisi aturan jaminan hari tua (JHT) dapat diselesaikan sebelum Mei ini, ketika Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 mengenai pembayaran manfaat JHT mulai berlaku. Peraturan ini sempat menuai protes karena hanya membayarkan JHT setelah pekerja berusia 56 tahun.
Serangkaian audiensi dilakukan pemerintah untuk menyerap aspirasi masyarakat, hingga mengerucut pada dua opsi: menunda masa berlakunya atau mencabutnya. Pemerintah mengumumkan untuk mengambil opsi pertama sembari merevisi peraturan tersebut. Namun para buruh menganggap bahwa “revisi” itu hanyalah strategi pemerintah untuk meredam kegaduhan. Tuduhan ini cukup beralasan lantaran hingga saat ini kelompok buruh belum juga menerima draf revisinya, yang isinya mungkin saja tidak sesuai dengan harapan buruh.
Buruh berkeras menuntut pemerintah untuk mengambil opsi yang kedua, yakni mencabut peraturan itu dan mengembalikan aturan pencairan JHT ke Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 19 Tahun 2015. Namun, lagi-lagi, pemerintah agaknya turun gengsi untuk mengambil opsi ini, lantaran sudah telanjur mengeluarkan aturan yang mereka yakini memberikan maslahat bagi masyarakat.
Penundaan pencairan JHT sejatinya dimaksudkan untuk mengembalikan barang publik tersebut ke tujuan substantifnya. Dengan begitu, pemerintah berharap peserta dapat memperoleh perlindungan finansial saat mereka sudah tidak produktif atau bekerja lagi. Dana JHT yang mencapai Rp 372,5 triliun itu dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan dengan ditempatkan pada instrumen investasi yang risikonya terukur. Hal ini dilakukan agar pengembangannya optimal sehingga, ketika dibutuhkan pada saatnya nanti (usia pensiun buruh), pemerintah memiliki dana likuid yang cukup besar.
Alasan tersebut memang terdengar masuk akal, tapi menyisakan sejumlah persoalan. Pertama, JHT merupakan dana yang dihimpun dari buruh setiap bulan dari kerja keras mereka. Pemerintah tidak memiliki andil sama sekali dalam iuran JHT, sehingga tidak memiliki hak untuk menahan dana tersebut.
Kedua, pencairan JHT hanya untuk pekerja berusia 56 tahun agaknya tidak sinkron dengan peraturan yang lebih tinggi, yakni Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program JHT. Kedua regulasi tersebut menyebutkan bahwa dana JHT dapat dicairkan setelah peserta mencapai masa keanggotaan minimal 10 tahun dan tanpa harus menunggu hingga berusia 56 tahun. Dengan demikian, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 batal demi hukum.
Jaminan kehilangan pekerjaan, yang digadang-gadang menjadi tambalan dari aturan baru JHT, tidak mampu meredakan kerisauan pekerja. Pasalnya, program anyar ini hanya berlaku bagi mereka yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Sedangkan buruh yang kontraknya habis, mengundurkan diri, dan pensiun dini tidak mendapat fasilitas tersebut.
Tim perumus kebijakan tersebut agaknya kurang cermat dalam melihat kondisi di lapangan. Data Badan Pusat Statistik menyebutkan, dari sekitar 15 juta orang yang kehilangan pekerjaan pada 2020, hanya 13 persen korban PHK, 14 persen habis kontrak, dan sisanya karena alasan lain. Artinya, program jaminan kehilangan pekerjaan hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang yang kehilangan pekerjaan.
Masalah lain muncul ketika jaminan kehilangan pekerjaan memfasilitasi korban PHK maksimal hanya enam bulan. Perlu diingat bahwa selain uang tunai, jaminan ini memberi manfaat bagi peserta berupa pelatihan kerja dan akses informasi lowongan kerja. Apakah ada jaminan bahwa dalam enam bulan kemudian peserta dapat kembali memperoleh pekerjaan? Kalaupun ada, kemungkinannya sangat rendah, mengingat situasi yang serba sulit seperti sekarang. Dengan begitu, program ini bukan solusi dalam menjawab masalah pekerja.
Pengekangan dana JHT juga ditengarai tidak selaras dengan narasi kebangkitan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang digembar-gemborkan pemerintah. Sebagian besar buruh yang kehilangan pekerjaan di masa krisis biasanya menyiapkan diri untuk memulai bisnis karena pesimistis untuk kembali mencari pekerjaan. Apabila dana JHT bisa dicairkan, kesempatan untuk memulai bisnis tersebut dapat terbuka lebar. Bukannya mendukung peluang ini, peraturan baru itu malah menghambat program kewirausahaan ini.
Lagi pula, pemerintah seharusnya paham bahwa kendala finansial di akar rumput berpotensi memunculkan persoalan anggaran di tingkat negara. Peraturan baru itu jelas membuat individu yang kehilangan pekerjaan tidak memiliki penghasilan. Ini berakibat pada penyempitan basis-basis penerimaan negara. Di sisi lain, meningkatnya masyarakat yang tak berpenghasilan akan memaksa pemerintah untuk menggelontorkan dana yang lebih besar untuk menyubsidi mereka. Akibatnya, penerimaan menyusut, pengeluaran membengkak, dan ujung-ujungnya utang membeludak.
Pada titik ini, kita masih belum tahu untuk siapa sebenarnya peraturan baru itu dikeluarkan. Biasanya, ketika suatu regulasi merugikan satu pihak (buruh), akan menguntungkan pihak lain (pengusaha). Namun aturan ini tampaknya tidak memberikan keuntungan apa-apa bagi kedua belah pihak dan sudah pasti merugikan buruh. Dengan begitu, menunda pencairan manfaat JHT hingga peserta berusia 56 tahun sangatlah sesat pikir.
Dengan demikian, mencabut peraturan itu agaknya merupakan opsi yang paling rasional. Memilih untuk mengembalikan prosedur pencairan JHT ke aturan lama tapi dengan embel-embel merevisi aturan baru hanya akan menguatkan kesan arogan pemerintah, yang seakan-akan tidak mau kalah dengan rakyatnya.
Sekali lagi, dana JHT diperoleh dari iuran para buruh atas kerja keras mereka. Artinya, dana tersebut murni milik buruh. Sudah sepantasnya pemerintah bersikap netral dan mau mendengarkan apa yang menjadi tuntutan buruh. Biarkan mereka berinovasi dengan dana jaminan hari tua yang mereka miliki untuk memulai bisnis yang dapat mereka kembangkan sebagai tumpuan hidup saat ini dan nanti.
Artikel ini telah tayang di laman Koran Tempo pada 28 April 2022 dengan tautan https://koran.tempo.co/read/opini/473452/revisi-aturan-jaminan-hari-tua-menteri-ketenagakerjaan-ida-fauziyah-dan-nasib-buruh