Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia mencapai titik terendah dalam sejarah. Per September 2024, persentase penduduk miskin tercatat sebesar 8,57 persen dari total populasi, suatu pencapaian signifikan dibandingkan tahun 1970, ketika angkanya mencapai 60 persen.
Namun, di balik kabar baik tersebut, ketimpangan ekonomi masih menjadi tantangan besar yang belum terselesaikan. Data BPS menunjukkan bahwa koefisien gini Indonesia pada September 2024 berada di angka 0,381, mengalami kenaikan sebesar 0,002 dibandingkan Maret di tahun yang sama.
Sebagaimana diketahui, koefisien gini berkisar antara 0 hingga 1, semakin tinggi nilainya maka semakin besar ketimpangan distribusi pendapatan di masyarakat.
Penurunan Kemiskinan ≠ Ketimpangan
Laporan Growing Challenges yang dirilis oleh Bank Dunia mengungkapkan bahwa sekitar 77 persen total kekayaan nasional dikuasai oleh hanya 10 persen penduduk terkaya, dengan satu persen teratas menguasai hampir separuh dari keseluruhan aset.
Lebih jauh, ketimpangan juga tercermin dalam disparitas akses terhadap layanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan peluang ekonomi. Masyarakat di daerah terpencil, misalnya, masih jauh tertinggal dibandingkan mereka yang tinggal di perkotaan dalam memperoleh layanan-layanan esensial tersebut.
Fakta-fakta ini memperlihatkan bahwa meskipun angka kemiskinan menurun, kesenjangan sosial tidak serta-merta menyempit. Oleh karena itu, upaya untuk mengatasi ketimpangan perlu diarahkan pada akar permasalahannya.
Dalam hal ini, kebijakan perpajakan dapat berperan sebagai instrumen untuk mendistribusikan kembali pendapatan dan menciptakan keadilan ekonomi. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah sejauh mana kebijakan pajak dapat benar-benar berfungsi sebagai solusi efektif dalam mengurai ketimpangan yang kompleks ini?
Peran Kebijakan Pajak
Banyak ahli kebijakan publik menilai bahwa pajak memiliki potensi besar dalam mengatasi ketimpangan ekonomi. Salah satu pendekatan yang sering diangkat adalah mekanisme redistribusi melalui pajak progresif. Prinsip dasar sistem ini adalah membebankan tarif pajak yang lebih tinggi kepada individu dengan penghasilan besar, sehingga dapat membantu menciptakan distribusi pendapatan yang lebih adil.
Dana yang diperoleh dari pajak kelompok berpenghasilan tinggi kemudian dapat dialokasikan untuk berbagai program sosial, seperti subsidi pendidikan dan layanan kesehatan, yang ditujukan bagi kelompok ekonomi bawah. Konsep ini telah banyak dikaji dalam studi akademik. Schweiger (2015), dalam karyanya Taxation and the Duty to Alleviate Poverty, mengemukakan bahwa pajak progresif merupakan salah satu instrumen kebijakan paling efektif dalam menekan ketimpangan ekonomi.
Namun, penerapan kebijakan pajak progresif di Indonesia masih jauh dari optimal. Salah satu tantangan utamanya adalah celah dalam sistem pajak penghasilan (PPh) yang memungkinkan individu kaya melakukan berbagai strategi perencanaan dan penghindaran pajak.
Dengan tarif tertinggi PPh sebesar 35 persen, banyak kelompok berpenghasilan tinggi mencari cara untuk membayar pajak dengan tarif yang lebih rendah. Salah satu contoh praktik yang sering terjadi adalah memilih menerima pendapatan dalam bentuk dividen (yang dikenai pajak final hanya 10 persen) daripada dalam bentuk gaji yang berpotensi dikenai pajak hingga 35 persen.
Lebih dari itu, praktik penghindaran pajak melalui penyimpanan aset di luar negeri juga menjadi hambatan besar dalam upaya redistribusi pendapatan. Pemerintah perlu lebih serius menangani persoalan ini, bukan sekadar mengandalkan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty), melainkan melalui reformasi pajak yang lebih berkeadilan dan berpihak pada kesejahteraan masyarakat luas.
Salah satu kebijakan pajak yang kembali menjadi perbincangan dalam beberapa waktu terakhir adalah pajak kekayaan, yang digadang-gadang sebagai solusi dalam mengatasi ketimpangan ekonomi. Pajak ini menyasar aset bernilai tinggi seperti properti, investasi, dan warisan, yang selama ini sering luput dari skema perpajakan yang adil.
Meski demikian, kebijakan pajak kekayaan kerap menuai kritik, terutama terkait kekhawatiran bahwa kebijakan ini dapat menghambat minat investasi. Namun, dampak negatif tersebut dapat diminimalkan jika desain kebijakan dibuat dengan cermat. Misalnya, pengecualian terhadap aset produktif dalam skema pajak kekayaan dapat menjadi solusi agar kebijakan ini tetap efektif tanpa menghambat pertumbuhan ekonomi.
Desain Kebijakan
Dalam merancang kebijakan pajak yang bertujuan untuk mengurangi ketimpangan, tantangan utama yang harus dihadapi adalah resistensi dari kelompok yang selama ini diuntungkan oleh sistem yang ada. Di banyak negara, kelompok ini memiliki pengaruh politik yang besar, memungkinkan mereka untuk menghambat reformasi kebijakan yang berpotensi mengurangi sedikit dari kekayaan mereka.
Oleh karena itu, keberanian politik dari pemerintah menjadi faktor kunci, didukung oleh kesadaran dan dukungan luas dari masyarakat. Meningkatkan pemahaman publik mengenai manfaat jangka panjang dari sistem perpajakan yang adil dan progresif menjadi langkah penting agar reformasi ini mendapat legitimasi dari akar rumput. Konsensus sosial yang kuat akan mempersempit ruang bagi kepentingan elite untuk menolak perubahan yang lebih berkeadilan.
Selain reformasi pajak kekayaan, kebijakan subsidi yang tepat sasaran juga memiliki peran strategis dalam mengatasi ketimpangan ekonomi. Subsidi, yang secara langsung terkait dengan kebijakan pajak karena sebagian besar dananya bersumber dari penerimaan negara, dapat menjadi instrumen efektif dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin. Jika diarahkan pada kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan pangan, subsidi tidak hanya mampu meningkatkan kualitas hidup tetapi juga membuka peluang mobilitas sosial bagi kelompok yang kurang mampu.
Dengan sistem perpajakan yang lebih adil, pemerintah dapat memastikan distribusi sumber daya yang lebih merata, mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif, membiayai program sosial, serta memperluas akses masyarakat terhadap layanan publik yang berkualitas. Namun, pertanyaan mendasar yang perlu dijawab adalah seberapa besar keberanian dan komitmen pemerintah dalam menjalankan reformasi pajak yang esensial ini.
Kebijakan yang benar-benar berorientasi pada keadilan sosial mungkin tidak akan populer dalam jangka pendek dan bisa menghadapi tantangan politik yang berat. Namun, dalam jangka panjang, manfaatnya akan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Apakah pemerintah kita siap untuk menempatkan keadilan sebagai prioritas utama, bahkan jika harus mengorbankan popularitas sesaat? Tanpa keberanian untuk mengambil langkah konkret, gagasan keadilan sosial hanya akan berhenti sebagai wacana tanpa dampak nyata.