Selain menyusun Laporan Tahunan (Annual Report), perusahaan juga dihadapkan pada kebutuhan untuk menyusun Laporan Keberlanjutan atau yang dikenal sebagai Sustainability Report (SR). Laporan ini tidak hanya berfungsi sebagai pelengkap, tetapi juga menjadi bagian penting dari upaya perusahaan untuk menunjukkan transparansi dan akuntabilitas dalam menjalankan aktivitas bisnis yang bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan.
Penyusunan Laporan Keberlanjutan merupakan langkah strategis yang diinisiasi oleh regulator sebagai respons meningkatnya harapan pemangku kepentingan (stakeholders) terhadap kepedulian perusahaan terhadap pelestarian lingkungan. Regulasi ini mencerminkan kesadaran bahwa keberlanjutan lingkungan dan sosial adalah elemen penting dalam menciptakan nilai jangka panjang bagi perusahaan.
Hal ini sangat beralasan, mengingat banyak perusahaan menjalankan operasi yang memanfaatkan sumber daya alam, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam konteks ini, Laporan Keberlanjutan menjadi sarana efektif untuk mengomunikasikan bagaimana perusahaan mengelola dampak lingkungan dari operasionalnya. Selain itu, laporan ini juga menunjukkan komitmen perusahaan terhadap pembangunan berkelanjutan, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan pemangku kepentingan terhadap perusahaan.
Berdasarkan ketentuan penerapan Good Corporate Governance (GCG) dan kriteria Annual Report Award (ARA), penyusunan Laporan Keberlanjutan menjadi salah satu aspek yang sangat penting. Laporan ini mencerminkan penerapan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan tanggung jawab sosial secara menyeluruh. Di dalamnya, terdapat standar dan prinsip pengungkapan yang tidak hanya menggambarkan aktivitas perusahaan dari sudut pandang keuangan, tetapi juga mencakup aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola.
Urgensi laporan Keberlanjutan
Pentingnya Laporan Keberlanjutan terletak pada fungsinya sebagai alat untuk menilai kinerja perusahaan secara komprehensif. Dengan laporan ini, pemerintah, masyarakat, organisasi lingkungan, media massa, serta pemangku kepentingan lainnya, termasuk investor dan kreditur (bank), dapat mengevaluasi sejauh mana perusahaan menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungannya. Para investor maupun kreditur pada umumnya enggan mengambil risiko kerugian yang disebabkan oleh kelalaian perusahaan dalam memenuhi kewajiban sosial dan lingkungan tersebut.
Sebagai salah satu regulator di sektor keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengadopsi Laporan Keberlanjutan sebagai kewajiban bagi lembaga jasa keuangan (LJK), emiten, dan perusahaan publik. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 51/POJK.03/2017, yang mengatur penerapan keuangan berkelanjutan bagi LJK, emiten, dan perusahaan publik. Melalui peraturan tersebut, perusahaan diwajibkan untuk menyusun Laporan Keberlanjutan, yang dapat disusun secara terpisah dari Laporan Tahunan atau menjadi bagian tidak terpisahkan dari laporan tahunan. Penyampaian laporan ini kepada OJK harus dilakukan setiap tahun sesuai batas waktu penyampaian Laporan Tahunan.
Selain itu, dalam ajang Annual Report Award (ARA), regulator secara bertahap telah meningkatkan perhatian terhadap Laporan Keberlanjutan. Laporan ini dinilai sebagai instrumen informasi yang memberikan nilai tambah bagi perusahaan karena mencakup pengungkapan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola yang tidak sepenuhnya tercakup dalam laporan keuangan. Pada kriteria ARA, bobot aspek keberlanjutan dalam kriteria penilaian ditingkatkan, menjadikannya salah satu faktor utama yang memengaruhi skor keseluruhan laporan tahunan.
Peningkatan bobot ini mencerminkan meningkatnya kesadaran terhadap pentingnya praktik bisnis yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Dengan fokus yang lebih besar pada aspek keberlanjutan, perusahaan didorong untuk mengintegrasikan prinsip keberlanjutan ke dalam strategi bisnis mereka, tidak hanya untuk memenuhi persyaratan regulasi, tetapi juga untuk membangun reputasi yang lebih baik di mata pemangku kepentingan, termasuk investor, kreditor, dan masyarakat luas.
Istilah Laporan Keberlanjutan pertama kali diperkenalkan dalam kriteria ARA pada tahun 2010. Saat itu, laporan ini disusun secara terpisah dari Laporan Tahunan. Mulai tahun 2011, penyusunan Laporan Keberlanjutan diwajibkan mengikuti standar pelaporan internasional, salah satunya adalah Global Reporting Initiative (GRI): Sustainability Reporting Guidelines.
Dalam perkembangannya, Laporan Keberlanjutan mengacu pada berbagai standar internasional yang diakui secara luas, antara lain:
- Global Reporting Initiative (GRI)
- Sustainability Accounting Standards Board (SASB)
- Carbon Disclosure Project (CDP)
- Climate Disclosure Standards Board (CDSB)
- International Integrated Reporting Council (IIRC)
- Standar lainnya yang relevan dengan kebutuhan perusahaan.
Di Indonesia, standar GRI menjadi acuan utama yang diadopsi oleh banyak perusahaan di Indonesia. Menurut survei yang dilakukan oleh PwC pada tahun 2021, 80% perusahaan di Indonesia menggunakan Standar GRI dalam pelaporan keberlanjutan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa Standar GRI telah menjadi kerangka kerja yang dominan dan diakui secara luas di Indonesia untuk mengukur dan mengungkapkan kinerja keberlanjutan perusahaan.
Standar GRI dirancang untuk membantu perusahaan mengungkapkan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan secara terstruktur dan komprehensif. Dengan penerapan standar internasional ini, Laporan Keberlanjutan tidak hanya memenuhi regulasi, tetapi juga menjadi alat strategis untuk menunjukkan upaya perusahaan dalam menciptakan nilai jangka panjang yang seimbang antara kepentingan bisnis, sosial, dan lingkungan. Hal ini mendukung visi keberlanjutan yang lebih luas dan memperkuat posisi perusahaan di tengah persaingan global.