Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka (Prabowo-Gibran) telah resmi memegang tampuk kepemimpinan Republik Indonesia. Di tengah tantangan besar yang muncul akibat gejolak ekonomi global, mereka dihadapkan pada persoalan fundamental yang menjadi warisan dari periode kedua pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Sepanjang 2019 hingga 2024, perekonomian Indonesia tercatat tumbuh rata-rata 5% per tahun. Namun, prestasi ini tidak dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Hal tersebut tercermin dari melonjaknya jumlah penduduk yang masuk kategori rentan miskin dan menuju kelas menengah (aspiring middle class). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), dalam lima tahun terakhir, populasi kedua kelompok ini meningkat tajam dari 83,82 juta orang (68,76% populasi) di 2019 menjadi 205,19 juta orang (73,55% populasi) di 2024. Sebaliknya, jumlah masyarakat yang berada di golongan kelas menengah justru menyusut drastis, dari 57,33 juta orang (21,45% populasi) di 2019 menjadi hanya 47,85 juta orang (17,13% populasi) di 2024.
Kondisi tersebut bertolak belakang dengan beberapa periode sebelum Jokowi menjabat untuk kedua kalinya. Misalnya, dari 2002 hingga 2019, dengan laju pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang berada di kisaran 5%–6%, kesejahteraan masyarakat cenderung meningkat. Pasalnya, selama periode ini, jumlah penduduk miskin dan rentan miskin berkurang hingga 34 juta orang, sementara populasi kelas menengah bertambah sebanyak 42 juta orang. Hal ini merefleksikan pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif, di mana manfaatnya dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Di sisi lain, kenaikan PDB tahunan sebesar 5% di era Jokowi jilid dua tampaknya hanya dirasakan oleh kalangan elite ekonomi dan perusahaan besar. Sementara, kelompok masyarakat rentan justru terjebak dalam kondisi stagnan atau bahkan memburuk. Akibatnya, ketimpangan ekonomi semakin nyata di tengah angka pertumbuhan yang tampak menjanjikan. Dalam istilah ilmu ekonomi pembangunan, kondisi ini bisa disebut sebagai immiserizing growth, atau pertumbuhan yang menciptakan kemiskinan.
Efek Jangka Panjang Pandemi
Jika kita usut ke belakang, ada beberapa faktor yang diduga menjadi musabab anjloknya kualitas pertumbuhan ekonomi akhir-akhir ini. Salah satunya adalah efek jangka panjang (scarring effect) pagebluk COVID-19. Guncangan eksogen tersebut telah menghantam berbagai sektor bisnis, terutama usaha akomodasi dan makan/minum, yang mengalami penurunan omzet hingga 92,4%. Sektor jasa lainnya juga terkena dampak parah, dengan penurunan penerimaan mencapai 90,9%. Akibatnya, banyak perusahaan yang terpaksa mengambil langkah sulit demi bertahan, seperti Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Di sisi lain, kebanyakan (57%) kelas menengah di Indonesia bergantung pada sektor jasa untuk mencari nafkah. Walhasil, gelombang PHK massal yang melanda sektor ini saat pandemi berdampak langsung pada pendapatan mereka. Mirisnya, meskipun perekonomian mulai bangkit di 2022 dengan pertumbuhan positif sebesar 5%, banyak dari mereka yang belum kembali terserap lapangan kerja sampai sekarang. Menurut data BPS, jumlah pengangguran terbuka sebelum pandemi (Februari 2019) tercatat sebanyak 6,8 juta orang. Namun, per Februari 2024, jumlah tersebut meningkat menjadi 7,2 juta orang. Dengan kata lain, ada tambahan sekitar 400 ribu orang yang masih menganggur.
Hilangnya sumber pendapatan akibat PHK membuat banyak warga kelas menengah harus bertahan hidup dengan mengandalkan tabungan atau pinjaman. Kondisi ini berdampak langsung pada pola konsumsi mereka, di mana pengeluaran per kapita per bulan—yang menjadi indikator utama klasifikasi strata sosial ekonomi ini—makin tergerus. Hal ini terutama terlihat pada pengeluaran untuk beberapa jenis kebutuhan, seperti makanan dan minuman, kendaraan bermotor, serta perumahan.
Berkurangnya kemampuan belanja tidak hanya menurunkan standar hidup kelas menengah tetapi juga memangkas kontribusi mereka terhadap total konsumsi domestik hingga 6,5 poin persentase (dari 43,3% di 2019 menjadi 36,8% di 2024). Dampak ini turut memperlambat laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga nasional, terutama di semester pertama 2024. Padahal, pada periode tersebut terdapat banyak momentum yang membuat konsumsi masyarakat menjadi meroket, seperti Ramadhan, Idul Fitri, dan liburan sekolah. Namun, pertumbuhan konsumsi malah tercatat di bawah 5%, lebih rendah dari laju peningkatan PDB, yang secara historis menjadi suatu anomali.
Mengingat lebih dari separuh PDB Indonesia bersumber dari konsumsi rumah tangga, perlambatan tersebut menjadi sinyal bahaya yang tidak boleh diabaikan. Kekhawatiran ini diperkuat oleh tren deflasi selama lima bulan berturut-turut menjelang akhir pemerintahan Jokowi. Secara teori, deflasi berkepanjangan akibat pelemahan konsumsi dapat memicu fenomena ‘deflasi ganas’ (malign deflation), yang berpotensi menghancurkan pondasi perekonomian nasional (Beckworth, 2007). Jika tidak diantisipasi, dampaknya dapat menjalar dan memperparah perlambatan ekonomi di masa mendatang.
Tekanan Kebijakan Pada Medioker
Konstelasi problematika di atas menegaskan bahwa ketika kelas menengah menjadi kelompok yang paling tertekan, bayang-bayang resesi semakin mendekat. Ironisnya, bauran kebijakan yang diterapkan pada periode kedua pemerintahan Jokowi justru dinilai memperlemah posisi kelas menengah. Dengan demikian, scarring effect pandemi bukan satu-satunya penyebab merosotnya proporsi kelas menengah dari total populasi.
Salah satu kebijakan yang menjadi sorotan adalah pengalihan subsidi energi pada 2022 untuk memperbesar bantuan sosial bagi masyarakat miskin dan rentan. Kebijakan ini memang membantu menjaga daya beli kelompok terbawah, tetapi di sisi lain membuat kelas menengah terjepit.
Manfaat kebijakan tersebut bagi kelas menengah tampaknya hanya bergantung pada efek tetesan ke bawah (trickle-down effect) dari kelompok atas. Pasalnya, di 2022, pemerintah memberikan berbagai insentif kepada pengusaha besar, seperti tax amnesty jilid dua dalam bentuk program pengungkapan sukarela, yang diharapkan mampu mendorong aktivitas ekonomi. Namun, dampaknya ternyata jauh dari optimal, sehingga tidak mampu menstimulasi perbaikan yang berarti bagi kelas menengah.
Tekanan terhadap kelas menengah semakin bertambah dengan diberlakukannya kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11% pada April 2022. Langkah ini menyebabkan lonjakan harga barang ritel, yang mencakup porsi terbesar dalam pengeluaran kelas menengah, yaitu antara 42% hingga 64%. Akibatnya, daya beli kelompok medioker terus merosot di tengah proses pemulihan ekonomi pasca pandemi.
Memperkuat Daya Beli
Fenomena pertumbuhan ekonomi yang justru menyengsarakan pada periode kedua kepemimpinan Jokowi memberi pelajaran penting bagi pemerintahan Prabowo-Gibran. Kebijakan yang diambil ke depan harus lebih berpihak pada kelas menengah, khususnya mereka yang berada pada persentil ke-40 hingga ke-80. Mengingat permasalahan utama yang dihadapi saat ini berkaitan dengan sisi permintaan, penguatan daya beli kelas menengah menjadi kunci utama.
Oleh karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan kembali kebijakan yang dapat membebani daya beli kelas menengah, terutama terkait dengan rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada awal 2025, yang akan memberatkan masyarakat secara regresif. Selain itu, kenaikan iuran jaminan kesehatan nasional yang dijadwalkan pada pertengahan 2025 dan rencana iuran tabungan perumahan pada 2027 berpotensi menekan pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposable income) para pekerja, khususnya kelas menengah.
Daya saing tenaga kerja juga perlu ditingkatkan dengan memperluas program pelatihan kerja berbasis keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri, terutama untuk lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Perlu diketahui, angkatan kerja dengan pendidikan terakhir SMA dan SMK tercatat sebagai yang paling sulit mendapatkan pekerjaan. Sementara, mayoritas (62,24%) penduduk kelas menengah merupakan tamatan jenjang pendidikan tersebut.
Selain itu, pemerintah perlu mendorong pertumbuhan sektor manufaktur yang sumbangannya terhadap PDB makin jeblok dari tahun ke tahun. Bahkan saat ini sudah berada di bawah 20% dari PDB, yang mengindikasikan adanya deindustrialisasi prematur. Padahal, dibandingkan sektor jasa, sektor ini mampu menciptakan lebih banyak lapangan kerja dengan upah yang relatif baik bagi mereka yang tidak memiliki keterampilan tinggi, seperti lulusan SMA dan SMK.
Perhatian serius juga diperlukan terhadap kelas menengah yang beralih ke sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Meskipun UMKM sering dijuluki sebagai penopang ekonomi nasional, mayoritas dari mereka masih beroperasi secara informal, dengan produktivitas rendah, dan rentan terhadap guncangan ekonomi. Untuk itu, penting bagi pemerintah untuk meningkatkan akses pembiayaan, memperkenalkan teknologi baru, serta membangun kemitraan dengan perusahaan besar agar UMKM bisa masuk dalam rantai pasok perekonomian dan menjadi lebih formal, dengan perlindungan lebih baik bagi pekerja.
Pada akhirnya, pertumbuhan ekonomi yang inklusif tercermin dari upaya negara untuk memastikan kesejahteraan yang merata di seluruh lapisan masyarakat. Salah satu indikator pentingnya adalah dominasi kelas menengah, sebagaimana yang terjadi di negara maju. Pemerintah pun telah menargetkan proporsi kelas menengah mencapai 70% populasi, agar Indonesia dapat bergerak lebih mantap menuju cita-cita Indonesia Emas 2045. Bukan begitu?