Indonesia termasuk negara yang terdampak akibat perubahan iklim yang disebabkan volume emisi karbon yang semakin meningkat seiring dengan peningkatan volume industri. Beberapa dampak yang bisa dirasakan langsung misalnya kelangkaan air, kerusakan ekosistem lahan hingga lautan. Menurut Emission Database for Global Atmospheric Research (EDGAR), pada tahun 2020 Indonesia menempati peringkat 10 sebagai negara penghasil emisi karbon. Jauh sebelum itu, Pemerintah Republik Indonesia telah berkomitmen menghadapi dampak perubahan iklim global melalui Paris Agreement (2015) dengan menargetkan net zero emission Indonesia di Tahun 2050.
Oleh karena itu, pemerintah berupaya mewujudkan pembangunan rendah karbon dengan menerapkan pajak karbon sebagai upaya mengurangi eksternalitas negatif akibat aktivitas ekonomi berupa produksi emisi karbon. Adapun emisi karbon merupakan penyebab utama perubahan iklim dunia. Emisi karbon yang sering didefinisikan sebagai gas rumah kaca (GRK) merupakan hasil keluaran (output) dari aktivitas manusia. Emisi karbon yang dimaksud tersebut merupakan emisi karbon dioksida ekuivalen, yaitu representasi emisi gas rumah kaca antara lain senyawa karbon dioksida (CO2), dinitro oksida (N2O), dan metana (CH4).
Dalam rangka mengatur pengenaan pajak karbon, Pemerintah bahkan telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU 7/2021 HPP). Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup.
Di dalam UU 7/2021 HPP dijabarkan bahwa tujuan atas pengenaan pajak karbon adalah untuk mengendalikan emisi GRK dalam rangka mendukung Upaya tercapainya Nationally Determined Contribution (“NDC”) atau kontribusi yang ditetapkan secara nasional, yaitu komitmen nasional bagi penanganan perubahan iklim global untuk mencapai tujuan Paris Agreement (2015).
Secara definisi, pajak karbon adalah salah satu bentuk pigouvian tax untuk mengompensasi eksternalitas negatif yang dihasilkan aktivitas emisi karbon. Dalam hal ini, suatu industri dalam kegiatan produksinya menghasilkan b uangan bahan bakar.
Adapun yang dimaksud dengan atau Pajak Pigovian (pigouvian tax) adalah pungutan pajak tiap unit keluaran (output) dari sumber pencemar ke dalam jumlah yang sebanding dengan efek kerusakan marginal yang ditimbulkan.
Pajak Pigovian dikenakan atas transaksi yang menimbulkan biaya atau kerugian yang harus ditanggung oleh pihak ketiga yang sebenarnya tidak terlibat dalam transaksi tersebut. Fenomena inilah yang dikenal dengan eksternalitas negative.
Hasil samping dari kegiatan usaha ekonomi adalah melepaskan emisi karbon di udara. Karena hasil kegiatan produksi suatu industri tersebut menghasilkan eksternalitas negatif berupa emisi karbon yang mencemari udara, maka industri tersebut harus mengompensasi kerugian lingkungan berupa membayar pajak dalam hal ini pemerintah.
Ditinjau dari istilah perpajakan, pajak karbon merupakan salah satu instrumen bagi pemerintah untuk mewujudkan target emisi karbon. Hal ini jelas sebagaimana tercantum dalam Paris Agreement 2015 atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim.
Di dalam UU 7/2021 HPP, disebutkan bahwa subjek pajak karbon adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Adapun pajak karbon terutang atas pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu pada periode tertentu.
Pada tahun 2022. penerapan pajak karbon secara terbatas sudah dilakukan oleh pemerintah pada PLTU Batubara dengan Tarif Rp30.000/tCO2e. Tarif pajak karbon akan dievaluasi secara periodik dan ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga karbon di pasar karbon. Akan tetapi, pada 2025 mendatang, pemerintah akan melakukan perluasan sektor penganaan pajak karbon dengan pentahapan sesuaidengan kesiapan sektor usaha. Lebih lanjut, implementasi pajak karbon akan diselaraskan dengan mekanisme perdagangan karbon. Hal ini dilakukan agar menciptakan pasar karbon yang berkelanjutan.
Ditinjau dalam istilah ekonomi, pajak karbon merupakan salah satu instrumen dari Nilai Ekonomi Karbon (carbon pricing). Dengan demikian, kebijakan ini merupakan salah satu bagian dari paket kebijakan komprehensif untuk memitigasi perubahan iklim. Penerapan pajak karbon ditujukan untuk mengubah perilaku industri agar beralih ke kegiatan ekonomi hijau yang rendah emisi karbon. Pajak karbon juga mendukung target penurunan emisi GRK dalam jangka menengah dan Panjang. Lebih lnajut, bahkan pajak karbon mendorong perkembangan pasar karbon, inovasiteknologi, dan investasi yang lebih efisien, rendahkarbon, dan ramah lingkungan.
Pada rancangannnya penerapan pajak karbon menganut prinsip adil, terjangkau, dan bertahap. Akan tetapi, kebijakan pajak karbon pada penerapannya tidak bisa berdiri sendiri, melainkan paket kebijakan komprehensif untuk penurunan emisi sekaligus sebagai stimulus untuk transisi menuju ekonomi yang berkelanjutan.
Apabila pemerintah berhasil menerapkan pajak karbon sesuai dengan prinsip-prinsipnya, maka penerimaan pajak sektor energi diperkirakan senilai Rp 23,651 triliun pada tahun 2025 dari pajak karbon yang dikenakan (Pratama at al, 2022). Dengan demikian, selanjutnya penerimaan pajak karbon dapat digunakan untuk membiayai pembangunan, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, investasi ramah lingkungan, serta dukungan kepada masyarakat berpenghasilan rendah dalam bentuk bantuan sosial.