Pajak penghasilan adalah salah satu instrumen kebijakan fiskal yang paling mendasar dalam mendukung pembangunan negara. Namun, meskipun kebijakan ini dirancang untuk mengumpulkan dana bagi kesejahteraan publik, sering kali pajak dirasa abai terhadap elemen kesetaraan gender. Di banyak negara, termasuk Indonesia, sistem perpajakan sering kali mencerminkan atau bahkan memperburuk ketidaksetaraan yang sudah ada dalam masyarakat, terutama dalam hal gender.
Sistem pajak penghasilan yang ada cenderung mengabaikan realitas ini. Di banyak negara, termasuk Indonesia, skema perpajakan tidak membedakan antara pendapatan dari pekerjaan penuh waktu dengan pendapatan dari pekerjaan paruh waktu, yang sering kali menjadi pilihan utama bagi perempuan karena tanggung jawab rumah tangga. Akibatnya, perempuan dapat dikenakan tarif pajak yang sama dengan laki-laki, meskipun mereka memiliki pendapatan yang lebih rendah dan beban ganda dalam pengelolaan rumah tangga.
Dalam hal ini, perempuan sering kali menghadapi tantangan ekonomi yang berbeda dibandingkan dengan laki-laki, yang sebagian besar disebabkan oleh peran gender tradisional dan ketidaksetaraan yang ada di dunia kerja. Di Indonesia, data menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak bekerja di sektor informal dan sering kali menerima upah yang lebih rendah dibandingkan laki-laki untuk pekerjaan yang sama. Selain itu, perempuan lebih mungkin bekerja paruh waktu atau memiliki tanggung jawab ganda antara pekerjaan dan urusan rumah tangga, yang secara signifikan mempengaruhi pendapatan mereka.
Selain itu, sistem perpajakan di Indonesia juga kurang memberikan insentif bagi perempuan untuk kembali bekerja setelah mengambil cuti melahirkan atau merawat anak. Banyak perempuan yang menghadapi kesulitan untuk kembali ke dunia kerja setelah cuti panjang, yang berdampak negatif pada karier mereka dan, pada gilirannya, pada potensi penghasilan mereka di masa depan. Dalam situasi ini, kebijakan pajak yang tidak sensitif gender dapat memperburuk ketidaksetaraan gender di pasar tenaga kerja.
Analisis Bias dalam Sistem Perpajakan
Beberapa elemen dalam sistem perpajakan Indonesia dapat dianggap bias terhadap perempuan. Salah satu contohnya adalah kebijakan penggabungan penghasilan suami istri dalam satu kesatuan untuk tujuan pajak, yang juga lazim terjadi di beberapa negara. Meskipun Indonesia telah bergerak ke arah sistem perpajakan yang lebih individualistis, di mana suami dan istri dapat melaporkan penghasilan mereka secara terpisah, praktik penggabungan penghasilan ini masih ada dalam beberapa aspek.
Penggabungan penghasilan suami istri untuk tujuan perpajakan dapat menyebabkan apa yang dikenal sebagai “marriage penalty,” di mana pasangan menikah, terutama jika kedua pasangan bekerja, dapat dikenakan tarif pajak yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang lajang atau pasangan di mana hanya satu pihak yang bekerja. Dalam banyak kasus, hal ini dapat menurunkan insentif bagi perempuan untuk bekerja atau untuk mengambil pekerjaan yang lebih baik, karena kenaikan penghasilan mereka mungkin akan mengakibatkan kenaikan yang signifikan dalam pajak yang harus dibayar.
Selain itu, kebijakan perpajakan sering kali tidak memperhitungkan biaya yang harus ditanggung oleh perempuan dalam peran mereka sebagai pengasuh. Misalnya, biaya perawatan anak, yang sering kali menjadi tanggung jawab perempuan, jarang dikompensasi oleh kebijakan pajak. Di Indonesia, tidak ada potongan pajak khusus untuk biaya perawatan anak, yang dapat meringankan beban ekonomi bagi keluarga di mana kedua orang tua bekerja.
Mendorong Keadilan Gender melalui Pajak Penghasilan yang Inklusif
Untuk mengatasi bias gender dalam kebijakan perpajakan, diperlukan reformasi yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan perempuan. Salah satu langkah penting yang dapat diambil adalah memperkenalkan insentif pajak yang dirancang khusus untuk mendukung perempuan di pasar kerja. Misalnya, potongan pajak untuk biaya perawatan anak atau potongan pajak bagi perusahaan yang menyediakan fasilitas penitipan anak dapat membantu meringankan beban ekonomi yang sering kali ditanggung oleh perempuan.
Selain itu, penting untuk mempertimbangkan penyesuaian tarif pajak untuk pekerjaan paruh waktu dan sektor informal, di mana perempuan banyak bekerja. Pendekatan ini dapat membantu mengurangi beban pajak yang tidak proporsional yang sering kali dihadapi oleh perempuan yang bekerja di sektor-sektor ini.
Lebih jauh lagi, sistem perpajakan perlu dirancang untuk mengurangi “marriage penalty” dan memberikan insentif yang lebih besar bagi perempuan untuk tetap bekerja atau meningkatkan karier mereka setelah cuti melahirkan. Ini bisa dilakukan dengan memberikan potongan pajak khusus bagi perempuan yang kembali bekerja setelah cuti melahirkan atau memperkenalkan kebijakan perpajakan yang lebih mendukung keluarga dengan dua penghasilan.
Pajak penghasilan adalah instrumen penting dalam kebijakan fiskal, tetapi sistem perpajakan yang ada sering kali tidak mempertimbangkan dampaknya terhadap kesetaraan gender. Di Indonesia, kebijakan pajak penghasilan perlu direformasi untuk lebih responsif terhadap realitas ekonomi yang dihadapi oleh perempuan. Dengan mengatasi bias gender dalam sistem perpajakan dan memperkenalkan kebijakan yang lebih inklusif, Indonesia tidak hanya dapat mendukung kesetaraan gender, tetapi juga meningkatkan partisipasi perempuan dalam angkatan kerja, yang pada akhirnya akan memperkuat perekonomian nasional.
Keadilan gender dalam kebijakan perpajakan bukan hanya tentang menciptakan sistem yang adil bagi perempuan, tetapi juga tentang membangun masyarakat yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Dengan demikian, reformasi pajak yang mendukung keadilan gender harus menjadi prioritas dalam agenda kebijakan ekonomi Indonesia ke depan.