Indonesia tampaknya akan segera memasuki babak baru dalam pengelolaan perpajakan nasional. Di tengah tekanan fiskal yang kian berat dan kebutuhan pembangunan yang makin mendesak, sorotan tajam kembali mengarah ke institusi strategis bernama Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Rencana penunjukan Bimo Wijayanto sebagai nahkoda baru DJP menjadi sinyal bahwa Presiden Prabowo menginginkan lompatan kinerja perpajakan dalam arti yang lebih substantif. Sebab, setelah bertahun-tahun berbicara tentang reformasi pajak, kini saatnya Indonesia membuktikan bahwa institusi perpajakannya bisa menjadi pengungkit pembangunan nasional, bukan sekadar pelaksana teknis.
Satu tantangan krusial yang menanti kepemimpinan baru DJP adalah memperbaiki rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (tax ratio) Indonesia yang terus melorot sejak 2022. Tax ratio Indonesia sempat menyentuh angka 10,38% pada 2022, namun turun menjadi sekitar 10,31% pada 2023.
Tax ratio terus menurun menjadi 10,08% di 2024, bahkan diperkirakan tak banyak membaik pada 2025. Padahal, negara-negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam mampu mempertahankan tax ratio di atas 15%. Fakta tersebut menunjukkan bahwa ruang optimalisasi penerimaan dalam negeri masih sangat terbuka.
Apa yang salah dari sistem kita? Pertanyaan ini sudah lama menghantui para pengambil kebijakan. Salah satu isu utamanya adalah struktur dan kapabilitas administrasi perpajakan yang belum sepenuhnya mampu mengimbangi kompleksitas ekonomi digital dan mobilitas kapital modern.
Banyak pihak telah mendorong pembentukan Revenue Authority (RA) atau semacam Badan Otorita Pajak yang lebih otonom dengan menggabungkan fungsi-fungsi pajak, cukai dan lainnya. Tujuannya untuk meningkatkan efektivitas pengumpulan pajak dan memperluas basis pajak.
Ghana adalah salah satu negara berkembang yang menjadi laboratorium menarik dalam eksperimen tersebut. Dalam studinya, Ohemeng dan Owusu (2013) mengisahkan bagaimana negara Afrika Barat itu pernah gagal menerapkan RA model, tetapi justru kegagalan itu menjadi titik balik pembelajaran institusional.
Para arsitek reformasi yang semula gagal justru menjadi katalis keberhasilan reformasi serupa di negara-negara Afrika lainnya, dan akhirnya kembali membenahi sistem Ghana melalui pembentukan Ghana Revenue Authority (GRA) pada 2008. Pelajarannya adalah bahwa reformasi perpajakan adalah proses jangka panjang yang menuntut pembelajaran dan keberanian untuk berubah secara bertahap, bukan instan.
Lebih dari itu, keberhasilan GRA juga menunjukkan pentingnya membangun struktur administrasi yang selaras dengan konteks sosial, ekonomi, dan politik domestik. Reformasi perpajakan bukan sekadar mengganti format organisasi, tetapi menyangkut transformasi budaya kerja, integritas aparat, serta penggunaan teknologi informasi yang responsif terhadap dinamika zaman.
GRA, misalnya, berhasil meningkatkan efisiensi pemungutan pajak dengan sistem informasi yang terintegrasi dan pelayanan berbasis digital. Ini paralel dengan upaya DJP di Indonesia yang belakangan mengembangkan Core Tax Administration System (CTAS), meski efektivitasnya masih menanti pembuktian nyata di lapangan.
Indonesia perlu belajar dari pendekatan learning by doing seperti yang terjadi di Ghana. Dalam konteks kita, reformasi bisa dimulai dari memperkuat tata kelola internal DJP, memperjelas batas dan kewenangan antar lembaga, serta memberi ruang bagi inovasi yang tumbuh dari dalam, bukan semata-mata mengimpor kebijakan luar.
Konsistensi dan keberlanjutan menjadi kunci. Mengingat bahwa setiap struktur birokrasi membawa inersia, maka reformasi tidak bisa hanya dilakukan setengah hati atau sekadar sebagai proyek kosmetik lima tahunan.
Kita juga harus membangun sistem pengawasan dan akuntabilitas yang kuat. Dalam banyak kasus, kebocoran pajak bukan karena lemahnya peraturan, melainkan karena lemahnya implementasi dan integritas aparat.
Digitalisasi layanan perpajakan harus dibarengi dengan perlindungan data yang andal dan kesadaran etis seluruh pelaksana teknis. Di tengah meningkatnya kebutuhan penerimaan yang ajeg dari pajak, kita tak bisa terus bergantung pada utang atau sumber daya alam. Perpajakan harus menjadi tulang punggung kemandirian fiskal nasional.
Momentum kepemimpinan baru menjadi peluang emas bagi DJP untuk menunjukkan bahwa mereka bukan hanya teknokrat yang piawai, tetapi juga pembaharu yang visioner. Dukungan politik dari Presiden dan komitmen lintas lembaga bisa menjadi modal sosial untuk mereformasi DJP secara menyeluruh.
Tentu saja, publik juga harus turut mengawal dan berpartisipasi dalam proses ini, karena perpajakan sejatinya adalah perjanjian sosial antara negara dan warganya.
Reformasi pajak yang berhasil tidak akan tercapai tanpa keberanian untuk belajar dari masa lalu dan membangun struktur yang adaptif terhadap masa depan. Indonesia, dengan segala sumber dayanya, tidak kekurangan kapasitas, meskipun masih perlu memantapkan arah, menata sistem, dan memperkuat kepercayaan. Jika langkah-langkah ini dilakukan secara konsisten, kita punya alasan untuk optimistis bahwa rasio pajak akan membaik.
Kini, semua mata tertuju pada DJP. Masa depan penerimaan negara ada di tangan mereka yang berani berbenah dan mau belajar. Jika Ghana bisa memetik pelajaran dari kegagalan, Indonesia seharusnya bisa melampauinya. Sebab bangsa yang besar bukan hanya yang belajar dari sejarahnya sendiri, tetapi juga dari langkah kecil negara-negara yang pernah tertatih dan kini berdiri tegak.