Merujuk pada dokumen OECD Economic Survey of Indonesia 2021, OECD mencatat tax efficiency Indonesia tergolong lebih rendah bila dibandingkan dengan banyak negara G20 dan negara Asean. Hal ini disebabkan rendahnya kepatuhan, banyaknya pengecualian pajak, dan penurunan tarif pajak. Ekonom Senior OECD Andrea Goldstein mengatakan penerimaan pajak Indonesia sudah tergolong rendah bahkan sejak sebelum pandemi Covid-19. Pada 2018, OECD mencatat tax ratio Indonesia hanya sebesar 12%. “Problem rendahnya tax ratio banyak terjadi di negara berkembang, tapi ini adalah masalah yang cukup serius di Indonesia,” ujar Goldstein dalam konferensi pers OECD Economic Survey of Indonesia 2021,
Menurut Goldstein (2019) Indonesia memiliki banyak ruang untuk memperbaiki sistem pajak yang saat ini diterapkan. Upaya untuk memerangi praktik penghindaran dan pengelakan pajak juga perlu terus dilanjutkan. Hingga 2019, masih sedikit wajib pajak orang pribadi yang membayar PPh. Pada 2019, OECD mencatat hanya 7,6 juta wajib pajak orang pribadi yang membayar pajak
Brodjonegoro (2016) berpendapat bahwa adanya potensi bahwa penerimaan pajak dari orang pribadi masih dapat dicari lebih lanjut. Potensi ini penting untuk meminimalisir adanya ketergantungan penerimaan pajak dari wajib pajak badan untuk meminimalkan volatilitas penerimaan pajak. Jika penerimaan pajak terlalu bergantung pada Pajak Penghasilan Badan (PPh), akan berdampak pada penerimaan pajak yang fluktuatif karena faktor pertumbuhan ekonomi mempengaruhinya.
Peran Pihak Ketiga dalam Pemotongan/Pemungutan Pajak
OECD memberikan 5 rekomendasi utama bagi Indonesia untuk meningkatkan penerimaan pajak. Indonesia perlu meningkatkan kepatuhan pajak, memperluas basis pajak, menaikkan tarif pajak tertentu seperti cukai rokok, meningkatkan kerja sama internasional, dan menutup celah hukum dalam ketentuan perpajakan. Dari kelima rekomendasi tersebut, permasalahan klasik yang sering dibahas dan diteliti yaitu meningkatkan kepatuhan pajak dan menutup celah hukum untuk meminimalisir praktik penghindaran pajak. Sebagai solusi dalam mengatasi kedua permasalahan tersebut. Rosdiana (2014) menjelaskan bahwa sistem Sistem Pemotongan Pajak (Withholding Tax System) dapat menjadi pilihan. Sistem ini diterapkan di Indonesia dengan melibatkan pihak ketiga untuk pemotongan pajak.
Negara yang pertama kali menggunakan sistem pajak ini adalah Amerika Serikat dan memiliki tujuan untuk mendapatkan penerimaan pajak selama perang dunia II. Adapun di Indonesia sistem pemotongan pajak oleh pihak ketiga mulai berlaku pada tahun 2010. Dampak dari pemberlakuan sistem ini langsung terlihat pada penerimaan pajak tahun 2010 dan 2011 yang menunjukkan kontribusi Withholding Tax System terhadap penerimaan pajak mencapai lebih dari 50% (Pajak.go.id, 2012). Sehingga dapat dikatakan penerimaan pajak dari kategori pendapatan yang dipotong atau dipungut oleh pihak ketiga seperti PPh final dan PPh Pasal 21 sebagai penyelamat penerimaan pajak hingga tahun 2015 dikarenakan memiliki kontribusi yang cukup besar pada keseluruhan penerimaan pajak (Handoko, 2015).
Feld (2002) berpendapat pentingnya membedakan antara motivasi intrinsik, di mana pembayar pajak mematuhi kewajiban pajak mereka karena “kebajikan sipil,” dan motivasi ekstrinsik, di mana mereka membayar karena ancaman hukuman. Dia menyarankan bahwa meningkatkan motivasi ekstrinsik dengan, katakanlah, kebijakan penegakan hukum yang lebih banyak dapat “menyelesaikan” motivasi intrinsik dengan membuat orang merasa bahwa mereka membayar pajak karena mereka harus, bukan karena mereka ingin.
Wahyuni (2011) menyatakan bahwa SAS dapat diterapkan di Indonesia karena dapat menjadi celah untuk penghindaran pajak. Meskipun belum ditemukan bukti yang meyakinkan bahwa penegakan pelaporan pihak ketiga lebih efektif daripada pelaporan sendiri, temuan ini memperjelas masalah utama dalam praktik penghindaran pajak. Catatan penting ini tidak meniadakan temuan utama H.J. Kleven (2009) bahwa tingkat penghindaran pajak pendapatan rendah secara keseluruhan di Denmark jelas mencerminkan bahwa hampir semua pendapatan kena pajak (95%) tunduk pada pelaporan informasi pihak ketiga di mana probabilitas deteksi sangat tinggi dan penghindaran pajak pada dasarnya nol. Berbeda dengan komponen pendapatan yang sama sekali tidak mengandalkan self-reporting, tingkat penghindaran pajaknya cukup besar.
Pendapatan yang dilaporkan sendiri yang mewakili hanya 5% dari total pendapatan bertanggung jawab atas 87% penghindaran pajak yang terdeteksi. Itu membuat mereka menyimpulkan bahwa secara keseluruhan, penghindaran pajak di Denmark rendah, bukan karena pembayar pajak tidak ingin curang, tetapi karena mereka tidak curang karena meluasnya penggunaan pelaporan pihak ketiga (Kommer, 2015).
Meskipun demikian, pihak ketiga hanya berperan sebagai pemotong/pemungut pajak atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak orang pribadi, sehingga keputusan Wajib Pajak akan memenuhi kewajiban perpajakan atau tidak tetap pada tangan Wajib Pajak. Aditama. M.A (2021) dalam penelitianya menjelaskan bahwa Wajib Pajak sepakat bahwa pihak ketiga memiliki pengaruh terhadap kesempatan Wajib Pajak untuk melakukan penghindaran pajak. Namun, pihak ketiga hanya memotong atau memungut pajak terutang serta menyetorkan nya kepada kantor pajak. Sehingga Wajib Pajak masih memiliki kewajiban untuk melaporkan bukti pemotongan pajak oleh pihak ketiga kepada kantor pajak melalui SPT