Belum lama ini kasus sengketa pajak antara wajib pajak dan petugas pajak viral di media sosial. Permasalahan ini juga tak luput jadi sorotan berbagai media mainstream di Indonesia. Adalah Pramono, seorang pengepul susu dari peternak sapi perah asal Kecamatan Mojosongo, Boyolali, Jawa Tengah. Pemilik Usaha Dagang (UD) Pramono itu, terpaksa harus menutup usahanya lantaran sudah tak mampu membayar tagihan pajak dari negara.
Pramono diwajibkan membayar pajak senilai Rp671 juta untuk tahun 2018. Nasib pahit menimpanya ketika rekening usahanya diblokir oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Boyolali dengan alasan belum memenuhi kewajiban pembayaran pajak 2018.
Berawal pada 2021, ketika Kantor Pajak memeriksa pajak usaha Pramono periode 2018. Saat itu tagihan pajaknya menyentuh Rp2 miliar, kemudian diturunkan menjadi Rp671 juta. Meski demikian, Pramono merasa kesulitan untuk membayarnya mengingat masih besarnya besaran pajak yang harus ia bayarkan.
Pramono kemudian menegosiasikan kembali besaran pajak yang wajib ia bayarkan di tahun 2018, dan angka final besaran pajaknya menjadi 200 juta. Meski telah membayar senilai Rp200 juta pada 2021, ternyata Pramono diminta lagi untuk membayar Rp110 juta. Pramono memutuskan tidak membayar tagihan tersebut karena merasa sudah memenuhi kewajiban bayarnya.
Dikutip dari berbagai sumber, selama bertahun-tahun, Pramono bekerja sebagai pengepul susu. Dari usaha itu ia telah membantu menghidupi sebanyak 1.300 peternak sapi perah yang menjadi mitranya. Selama itu pula, Pramono tak pernah membebankan kepada peternak jika susunya disetorkan ditolak pabrik. Bahkan, ia turut membantu memberikan kredit tanpa bunga kepada petani binaannya.
Design Kebijakan Pajak Tidak Ramah UMKM
Pramono bukan orang pertama yang terkena dampak dari serampangannya sistem kebijakan perpajakan terutama untuk pajak UMKM. Hanya saja selama ini persoalan sengketa yang terjadi cenderung tidak terekpos ke ranah publik dan jarang mendapat perhatian dari masyarakat.
Selama ini UMKM harus membayar pajak dengan skema PPh Final UMKM sebesar 0,5%. Aturan spesifik mengenai pajak UMKM dibahas dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022. Perlu dicatat tidak semua pelaku UMKM akan dikenakan pajak, melainkan hanya UMKM orang pribadi dan badan berbentuk koperasi, firma, persekutuan komanditer, maupun Perseroan terbatas. Adapun kriteria batasan omzetnya adalah di bawah Rp4,8 miliar pertahun. Kendati demikian sifat pajak UMKM yang cenderung menggunakan pendekatan Presumptive Tax cenderung cukup merugikan bagi sebagian UMKM.
Presumptive Tax adalah pendekatan perpajakan yang digunakan pemerintah untuk memperkirakan/mengasumsikan (menyimpulkan atau “presume”) potensi pendapatan atau kewajiban pajak dari wajib pajak, terutama ketika pencatatan dan laporan keuangan yang akurat sulit diperoleh. Sistem ini umumnya diterapkan pada kelompok usaha kecil atau informal yang belum memiliki sistem pembukuan yang memadai atau konsisten. Dalam presumptive tax, pemerintah menggunakan indikator tertentu, seperti omzet, luas usaha, jumlah karyawan, atau nilai aset, untuk memperkirakan kewajiban pajak.
Mengapa Presumptive Tax cenderung serampangan dan menjadi destruktif bagi para pelaku UMKM? Karena berbasis asumsi, metode ini tidak memperhitungkan secara akurat kondisi keuangan wajib pajak. Hal tersebut tentu menjadi beban bagi usaha dengan margin keuntungan rendah karena pajak tetap dikenakan meski profit rendah atau tidak ada profit sama sekali.
Sebagai contoh jika seorang pelaku UMKM menjual pulsa 10.000 dengan harga Rp11.000. Profit bersih hanya Rp1000, namun mirisnya yang dikenakan pajak adalah keseluruhan penjualan yaitu Rp11.000. Hal ini tentu tidaklah adil bagi para pelaku UMKM dengan modal besar namun dengan profit yang kecil, meski secara omzet terlihat besar.
Satu sisi Presumptive tax yang terdapat dalam Pajak PPh Final UMKM dapat membantu pemerintah memperluas basis pajak dengan memasukkan kelompok usaha kecil atau informal yang mungkin sulit dicapai dengan sistem perpajakan konvensional. Namun, sisi lain pendekatan pajak UMKM yang cenderung serampangan tentu saja hanya menguntungkan pemerintah dan mengesampingkan multiplier effect yang cenderung distruktif yang dialami oleh pelaku UMKM.
UMKM dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar per tahun dikenakan pajak final sebesar 0,5% dari omzetnya, terlepas dari laba bersih atau kondisi finansial usaha. Faktor-faktor seperti ketidak tahuan pelaku UMKM (tidak teredukasi secara literasi perpajakan), atau faktor merugikan lainnya seperti kondisi UMKM yang tiba-tiba pailit tidak menjadi pertimbangan. Asumsi atau “presumsi” yang digunakan adalah bahwa ketika omzet sudah cukup untuk menunjukkan potensi kontribusi pajak usaha, tanpa harus memeriksa profitabilitas secara mendalam, pelaku UMKM akan dikenakan pajak.
Angka 0,5% seringkali mengecoh dan dientengkan oleh sebagian dari mereka yang hanya memungut pajak atau sebagian mereka yang hanya menjadi penonton dan tidak terlibat langsung dalam dunia UMKM.
Perlu dicatat Kebijakan PPh Final UMKM ini tidak membedakan antara sektor-sektor yang memiliki profitabilitas tinggi dan rendah. Misalnya, sektor seperti pengepulan susu yang dimiliki oleh Pramono atau perdagangan bahan mentah biasanya memiliki margin keuntungan yang lebih kecil dibandingkan sektor jasa atau perdagangan produk berharga tinggi. Tentunya pajak 0,5% dari omzet bisa menjadi beban yang besar ketika margin keuntungan UMKM sangat rendah. Secara konsep keadilan, maka penerapan pajak PPh Final cacat dan jauh dari nilai keadilan.
Menyusun Kebijakan Pajak Ramah UMKM
Dalam kondisi ekonomi yang sulit atau ketika bisnis mengalami penurunan, sayangnya kewajiban membayar pajak berdasarkan omzet seperti PPh Final UMKM 0,5% tetap ada. Seperti kasus Pramono, meski omzetnya tinggi, tidak berarti usahanya memiliki kemampuan finansial yang kuat. Pajak omzet tidak fleksibel terhadap situasi aktual bisnis, sehingga ketika laba turun, pelaku UMKM tetap dikenakan beban pajak yang sama.
Penerapan pajak dengan design kebijakan seperti Pajak PPh Final UMKM 0,5% nyatanya menekan profitabilitas UMKM, membuat mereka sulit untuk berkompetisi, khususnya bagi pelaku UMKM yang bergantung pada margin tipis. Keberlanjutan usaha kecil ini bisa terganggu, dan dalam kasus ekstrim seperti Pramono, mereka bisa memilih untuk menutup usahanya. Jika banyak UMKM terdampak, hal ini dapat mengurangi kontribusi mereka terhadap PDB dan menghambat penciptaan lapangan kerja.
Kontribusi UMKM terhadap perekonomian tidak perlu diragukan lagi. Data dari Dirjen Kekayaan Negara Kemenkeu mencatat kontribusi UMKM terhdap PDB mencapai 61,9% dan bahkan menyerap 97% tenaga kerja. Sudah sepatutnya mereka mendapat perlakuan yang lebih baik dari pemerintah dengan kebijkan-kebijakan yang berpihak pada kepentingan mereka.
Jika pemerintah sudi untuk lebig effort sedikit saja pemerintah bisa mengganti skema kebijakan pajak PPh Final UMKM 0,5%, menjadi pajak UMKM yang bersifat lebih progresif. Pajak progresif dapat diterapkan berdasarkan omzet atau profit, di mana UMKM dengan omzet atau laba yang lebih tinggi dikenakan tarif pajak yang sedikit lebih besar. Ini akan menyesuaikan pajak dengan kapasitas ekonomi masing-masing usaha, sekaligus menjaga keberlangsungan UMKM yang lebih kecil atau memiliki profit rendah.