Harian Kontan | 7 Februari 2025
Dwi Purwanto – Governance Analyst di Pratama Institute for Fiscal Policy & Governance Studies
Pada 4 Februari 2025, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Revisi ini diharapkan dapat memperkuat peran BUMN dalam perekonomian nasional. Namun, implementasinya tidak terlepas dari tantangan yang perlu diantisipasi agar tujuan regulasi ini dapat tercapai secara optimal.
Salah satu perubahan signifikan dalam revisi ini adalah pembentukan Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara. Badan ini bertujuan untuk meningkatkan tata kelola BUMN serta mendukung pertumbuhan ekonomi nasional melalui optimalisasi investasi dan pengelolaan aset negara. Selain itu, revisi ini menegaskan pemisahan fungsi regulator dan operator dalam pengelolaan BUMN, dengan tujuan meningkatkan profesionalisme dan transparansi.
Revisi ini juga mengatur mengenai Business Judgment Rule (BJR), yang memberikan perlindungan hukum bagi direksi dalam mengambil keputusan bisnis tanpa takut dikriminalisasi, selama keputusan tersebut diambil dengan itikad baik dan berdasarkan pertimbangan yang rasional. Selain itu, revisi ini menyoroti pentingnya pengelolaan aset BUMN yang akuntabel dan sesuai dengan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance/GCG).
Baca juga : LHKPN dan Sanksi Pejabat BUMN
Salah satu poin positif dalam revisi ini adalah pembukaan peluang yang lebih luas bagi penyandang disabilitas dan perempuan untuk menduduki posisi strategis di BUMN. Langkah ini merupakan bagian dari upaya menciptakan lingkungan kerja yang lebih inklusif dan berkeadilan.
Namun demikian, pembentukan BPI Danantara menimbulkan kekhawatiran mengenai potensi tumpang tindih kewenangan dengan Kementerian BUMN. Kewenangan BPI Danantara dapat beririsan dengan fungsi Kementerian BUMN, yang berpotensi menciptakan dualisme kebijakan. Jika tidak dikelola dengan baik, tumpang tindih ini dapat menyebabkan ketidakjelasan dalam pengambilan keputusan dan menghambat efektivitas pengelolaan BUMN.
Sementara itu, mengenai pemisahan fungsi regulator dan operator, implementasi pemisahan ini memerlukan kerangka kerja yang jelas agar tidak menimbulkan dualisme kebijakan yang justru dapat menghambat operasional BUMN. Dalam hal ini, Pemerintah perlu memastikan bahwa pemisahan ini dilakukan secara sistematis dengan memperhatikan efektivitas koordinasi antara entitas yang terlibat.
Terkait pengaturan BJR, diperlukan mekanisme pengawasan yang efektif. Pasalnya kebijakan ini dapat disalahgunakan oleh manajemen BUMN untuk mengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab, yang pada akhirnya dapat merugikan perusahaan dan negara. Dalam hal pengelolaan aset BUMN yang akuntabel dan sesuai dengan prinsip tata kelola perusahaan yang baik, tanpa sistem pengawasan yang ketat, upaya ini juga berisiko tidak mencapai hasil yang diharapkan.
Selanjutnya, terkait komitmen terhadap inklusi dan keberagaman, implementasi kebijakan ini memerlukan komitmen nyata dari seluruh pemangku kepentingan agar kebijakan ini tidak hanya menjadi formalitas tanpa realisasi yang nyata di lapangan. Lantas langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukan agar revisi Undang-Undang BUMN ini dapat berjalan secara efektif dan mencapai tujuannya?
Ada empat cara agar revisi Undang-Undang BUMN ini dapat berjalan secara efektif dan mencapai tujuannya. Pertama, Pemerintah perlu segera menyusun regulasi turunan yang jelas untuk menghindari tumpang tindih kewenangan antara BPI Danantara dan Kementerian BUMN. Regulasi ini harus mengatur batasan kewenangan dan mekanisme koordinasi yang efektif.
Baca juga : Omnibus Law BUMN & Pencegahan Korupsi
Kedua, untuk memastikan implementasi BJR tidak disalahgunakan serta menjamin pengelolaan BUMN yang profesional dan akuntabel, diperlukan mekanisme pengawasan yang ketat dan independen. Mekanisme pengawasan tersebut dapat dilakukan dengan menerapkan sistem pengendalian internal yang efektif, manajemen risiko yang prudent, audit internal dan eksternal yang independen, serta penerapan prinsip GCG secara efektif.
Ketiga, program pelatihan dan pengembangan bagi direksi serta manajemen BUMN perlu ditingkatkan agar memiliki kompetensi dalam mengelola aset perusahaan secara akuntabel dan sesuai dengan prinsip tata kelola yang baik. Dengan adanya program pelatihan yang sistematis dan berkelanjutan, diharapkan pemimpin BUMN mampu menghadapi tantangan bisnis serta berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Keempat, Pemerintah dan BUMN harus menunjukkan komitmen nyata dalam menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dengan menyediakan fasilitas pendukung bagi penyandang disabilitas, seperti rekrutmen inklusif, aksesibilitas ditempat kerja serta pelatihan dan peningkatan keterampilan. Selain itu, pemerintah juga perlu melaksanakan program pengembangan kepemimpinan bagi perempuan, seperti Women Leadership Program, kebijakan kesetaraan gender, dan fasilitas penunjang untuk perempuan.
Dengan keempat langkah tersebut, diharapkan revisi Undang-Undang BUMN dapat berjalan secara efektif dan mencapai tujuannya. Revisi ini merupakan langkah maju dalam upaya memperkuat peran BUMN dalam perekonomian nasional. Namun, keberhasilan implementasinya sangat bergantung pada komitmen dan kerja sama antara pemerintah, BUMN, serta masyarakat dalam mengatasi berbagai tantangan yang ada.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus mengawal implementasi revisi UU BUMN ini agar tujuan utama dari perubahan regulasi ini dapat tercapai, yakni meningkatkan kinerja BUMN demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia
Opini ini telah tayang di laman harian Kontan dengan judul “Revisi Undang-Undang BUMN: Langkah Maju atau Tantangan Baru?” pada tanggal 7 Februari 2025. Baca selengkapnya :
https://insight.kontan.co.id/news/uu-bumn-langkah-maju-atau-tantangan-baru