Mata uang kripto (cryptocurrency) yang kita kenal saat ini sejatinya telah digagas sejak abad ke-20. Konsep paling awal mata uang ini diusulkan oleh David Chaum pada 1983 dalam artikel berjudul “Blind Signature for Untracable Payment”. Artikel ini mempresentasikan skema tanda tangan buta (blind signature) untuk pembayaran tunai elektronik yang tidak dapat dilacak. Hal ini memungkinkan terjaminnya privasi dan anonimitas para nasabah.
Chaum kemudian menerapkan skema tersebut pada mata uang elektronik ciptaannya bernama e-Cash. Penggunaan e-Cash sendiri baru dimulai pada 1995 melalui DigiCash, sebuah perusahaan uang elektronik milik Chaum yang berdiri sejak 1990 dan berbasis di Amsterdam.
Walaupun DigiCash gagal berkembang dan menyatakan bangkrut pada 1998, e-cash karya Chaum merupakan tonggak awal terbitnya mata uang kripto di dunia. Berkat inovasi ini juga, Chaum dijuluki sebagai ‘the father of online anonymity’ dan ‘the godfather of cryptocurrency’ (Saraji, 2023).
Di tahun kebangkrutan Digicash, beberapa inisiator lainnya bermunculan. Misalnya, Nick Szabo dengan Bitgold dan Wei Dai dengan b-money (Narayanan et al., 2016). Meskipun sebatas proposal (white paper) dan tidak pernah diluncurkan secara resmi, kedua gagasan tersebut menjadi rujukan utama bagi seorang pengembang (atau sekelompok pengembang) anonim dengan nama samaran Satoshi Nakamoto untuk mempublikasikan white paper Bitcoin di 2008 dengan tajuk “Bitcoin: A Peer-to-Peer Electronic Cash System”.
Peluncuran perdana Bitcoin terjadi pada 3 Januari 2009, tepatnya ketika Nakamoto berhasil menambang blok genesis (blok pertama dari blockchain) Bitcoin. Namun, penggunaan Bitcoin sebagai alat pembayaran pertama kali dilakukan pada 22 Mei 2010. Kala itu, seorang pemrogram komputer asal Florida, Laszlo Hanyecz, membeli dua loyang pizza senilai USD25 dengan 10.000 Bitcoin. Ini merupakan momen paling bersejarah dari perkembangan industri kripto dunia, yang kemudian diperingati sebagai ‘Bitcoin Pizza Day’.
Sejak saat itu, minat publik terhadap Bitcoin meningkat tajam (de la Horra et al., 2019). Hal ini memicu kenaikan harga Bitcoin secara agresif, yakni dari sekitar USD0,08 di Juli 2010 menjadi setara dengan USD1 di Februari 2011 (Cortez & Tulcanaza, 2018). Dengan kata lain, terjadi peningkatan harga lebih dari 1.000% dalam kurun waktu kurang dari setahun.
Hal tersebut tentunya menginspirasi pemain baru untuk merilis mata uang kripto lainnya yang dikenal dengan istilah Altcoins (mata uang kripto setelah Bitcoin). Altcoins pertama yang muncul adalah Litecoin, yang kemudian disusul oleh ribuan Altcoins lainnya.
Cryptocurrency Sebagai Aset Spekulatif
Dalam perkembangannya, mata uang kripto tidak hanya berfungsi sebagai alat pembayaran, melainkan berevolusi menjadi aset perdagangan spekulatif (Ram, 2018). Berdasarkan data situs CoinMarketCap, per 5 Februari 2024, jumlah mata uang kripto yang diperdagangkan sebanyak 8.833 jenis dengan kapitalisasi pasar secara global sebesar USD1,64 triliun.
Bitcoin merupakan mata uang kripto paling dominan dengan estimasi kapitalisasi pasar sebesar USD844,47 miliar (51,18% dari total kapitalisasi pasar). Altcoints saingan Bitcoin, seperti Ethereum, Tether USDt, BNB, dan Solana, juga memiliki kapitalisasi pasar yang signifikan, masing-masing sebesar USD277,86 miliar (16,84%), USD96,69 miliar (5,86%), USD45,87 miliar (2,78%), dan USD42,41 miliar (2,57%).
Di Indonesia, perdagangan mata uang kripto sebagai aset komoditas dilegalkan sejak 8 Februari 2019 melalui Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto di Bursa Berjangka. Regulasi ini menjadi momentum awal pekrembangan industri kripto di Indonesia.
Saat ini, Bappebti telah memberikan tanda daftar kepada 33 calon pedagang fisik aset kripto (CPFAK) dan menetapkan 501 jenis mata uang kripto yang dapat diperdagangkan di pasar fisik aset kripto Indonesia. Dengan begitu, CPFAK terdaftar hanya diperbolehkan memperdagangkan 501 jenis mata uang kripto tersebut.
Meskipun didukung oleh legalitas yang kuat, status mata uang kripto sebagai salah satu jenis aset spekulatif masih menjadi perdebatan. Pasalnya, untuk menyandang status tersebut, setidaknya terdapat dua karakteristik yang harus dimiliki: (1) memiliki nilai intrinsik dan (2) didukung oleh aset yang mendasari (underlying asset).
Dalam kasus cryptocurrency, spekulan tidak memiliki kapasitas untuk meminta jaminan (sekuritas) apapun terkait imbal hasil (return) yang diperoleh pada waktu yang ditentukan. Dengan begitu, cryptocurrency tidak memiliki kejelasan underlying asset seperti halnya saham atau obligasi.
Satu-satunya return yang diperoleh bersumber dari margin harga saat pembelian dan penjualan, baik dalam jangka pendek (trading) maupun jangka panjang (investment). Oleh karena itu, spekulan harus mampu memprediksi harga harian secara akurat atau mengidentifikasi mata uang kripto yang relatif stabil dalam jangka panjang.
Berdasarkan proses monetisasi tersebut, sekilas cryptocurrency mirip dengan aset komoditas lainnya yaitu emas. Namun, nilai instrinsik emas tidaklah nol, yang bersumber dari sifat fisik dan kelangkaannya. Sementara, nilai intrinsik cryptocurrency hanya diakui ketika ia memberikan manfaat bagi penggunanya (Ammous, 2018).
FOMO, Noise Speculators, dan Crypto Bubble
Poin-poin di atas menyiratkan bahwa mayoritas spekulan kemungkinan tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang variabel-variabel fundamental ekonomi yang mendasari nilai aset kripto. Dengan demikian, keputusan investasi yang diambil seringkali tidak didasarkan pada strategi perdagangan yang matang dan terukur.
Para spekulan tampaknya hanya mengikuti tindakan terbaru dari sebagian kecil orang yang telah mencapai kesuksesan. Tuduhan ini cukup beralasan mengingat cuitan Ellon Musk “I’m late to the party, but I am a supporter of bitcoin” di Twitter (sekarang bernama X) saja mampu menggoyang pasar kripto edan-edanan. Akibatnya, harga Bitcoin terdongkrak dari sekitar USD32.000 menjadi lebih dari USD38.000 dalam hitungan jam (Ante, 2023).
Dampak dari cuitan Musk kala itu, yang dikenal dengan istilah ‘Musk Effect’, telah menunjukkan apa yang disebut dengan fenomena herding behaviour, yaitu tindakan individu yang didasarkan pada tindakan sekelompok individu lain. Secara psikologis, fenomena ini muncul di antara mereka yang sering memiliki kecemasan akan kehilangan momen dari sesuatu yang viral di media sosial. Dalam istilah populer, kecemasan ini dinamakan FOMO (fear of missing out).
Beberapa studi empiris telah mengidentifikasi bahwa sebagian besar spekulan di pasar kripto memang menderita ‘penyakit’ FOMO. Hal ini terbukti dari korelasi yang kuat antara tren harga mata uang kripto dan informasi yang dipublikasikan di media sosial atau jumlah permintaan pencarian Bitcoin di Google Trends (Kristoufek, 2013). Dengan kata lain, pembelian gede-gedean oleh para spekulan justru terjadi ketika nilai aset kripto sangat tinggi, yang secara praktis berbanding terbalik dengan saham atau obligasi (Baur & Dimpfl, 2018).
Di titik ini, kita dapat menyimpulkan bahwa dinamika pasar cryptocurrency dikendalikan oleh para spekulan yang datang untuk alasan-alasan non-fundamental dan irasional, sebagaimana telah disebutkan. Literatur menyebut para spekulan ini sebagai ‘noise speculators’ yang gerik-geriknya seringkali mendorong harga aset jauh dari nilai fundamental (overvaluation) sehingga mengakibatkan volatilitas harga yang berlebihan (Hong & Stein, 1999).
Sebagai contoh, dengan merujuk data situs Investing.com, harga Bitcoin mengalami fluktuasi hebat hanya dalam beberapa bulan setelah dilegalkan di Indonesia. Harga Bitcoin dibuka dengan 47 juta rupiah di 8 Februari 2019 dan mengalami peningkatan tajam hingga mencapai sekitar 158 juta rupiah di akhir Juni 2019. Satu semester setelahnya, harga Bitcoin anjlok hingga ke 100 juta rupiah. Kemudian meningkat pesat hingga mencapai puncaknya di 845 juta rupiah pada Maret 2021 dan turun kembali dengan tajam. Setelah anjlok hingga mendekati 509 juta rupiah, harga merangkak naik secara bertahap hingga melampui 845 juta rupiah di penutupan akhir Oktober 2021.
Secara keseluruhan, volatilitas harga Bitcoin di dua tahun sampel tersebut (2019 dan 2021) masing-masing sebesar 3,37% dan 3,66%. Dasar perhitungan volatilitas ini adalah simpangan baku dari rata-rata perubahan harga harian Bitcoin. Namun, estimasi pergerakan harga harian Bitcoin versi Bank Dunia jauh lebih tinggi, yakni sekitar 10% di periode 2010 – 2014 (Williams, 2014). Angka ini bahkan berkali-kali lipat dari risiko harga kelas aset lainnya, seperti emas, S&P 500, dan USD.
Berkaca pada fakta di atas, wajar jika kelompok akademisi, investor, dan media, senantiasa mengklaim cryptocurrency sebagai kelas aset yang paling rentan terhadap risiko penggelembungan nilai (bubble). Karena bubble ini terjadi di pasar kripto, kita sebut saja dengan istilah crypto bubble.
Bagian terburuk dari crypto bubble adalah ketika ia ‘meletus’. Hal ini mengakibatkan penurunan harga aset secara drastis sehingga dapat menimbulkan kerugian besar bagi para spekulan yang notabene-nya adalah masyarakat umum. Tidak hanya sampai di situ, meletusnya crypto bubble juga berpontesi mengganggu stabilitas sistem keuangan.
Bangkrutnya bursa Bitcoin terbesar, Mt Gox, pada Februari 2014 lalu, menjadi bukti adanya crypto bubble dan akhirnya meletus. Tiga bulan sebelum kebangkrutan Mt Gox, November 2013, harga Bitcoin mencapai puncaknya, yaitu lebih dari USD1.000. Setelah Mt Gox menutup layanan perdagangannya, crypto bubble meletus hingga mencapai titik terendah di USD172 pada Januari 2015.
Letusan crypto bubble kala itu tentunya mengakibatkan kerugian finansial di antara para spekulan, khususnya pengguna jasa Mt Gox. Tuntutan atas ganti rugi pun dilayangkan kepada Mt Gox. Setelah hampir satu dekade, Mt Gox baru menjawab tuntutan tersebut dan memulai proses pengembalian aset kepada para korban. Kekhawatiran baru timbul mengingat sebagian korban menerima ganti rugi dalam bentuk Bitcoin. Ada dugaan kuat bahwa mereka akan langsung menjual habis aset yang baru mereka terima kembali. Jika hal ini terjadi, harga Bitcoin saat ini akan turun drastis dan memberikan efek domino yang merugikan kepada spekulan kripto lainnya.
Potensi Pajak dalam Memitigasi Crypto Bubble
Konfigurasi problematika di atas seakan memberikan sinyal kepada pemerintah untuk mengintervensi pasar kripto. Dalam hal ini, berbagai negara telah menerapkan kebijakan perpajakan untuk cryptocurrency. Misalnya, Amerika Serikat memperlakukan cryptocurrency sebagai properti untuk tujuan perpajakan. Semua transaksi terkait cryptocurrency, seperti penjualan dan penambangan, dikenakan pajak dengan tarif hingga 37%. Di Bulgaria, cryptocurrency dianggap sebagai aset keuangan dan dikenakan pajak capital gain. Sementara, pemerintah Swiss memajaki cryptocurrency layaknya memajaki mata uang asing.
Di Indonesia, pajak cryptocurrency diberlakukan pada 1 Mei 2022 melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Republik Indonesia Nomor 68/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto. Berdasarkan PMK tersebut, pembeli aset kripto dikenakan PPN sebesar 0,11% dari nilai transaksi apabila transaksi dilakukan di CPFAK terdaftar. Jika pembelian dilakukan di CPFAK tidak terdaftar, pembayaran PPN menjadi dua kali lipat, yakni 0,22% dari nilai transaksi. Sementara, penjual aset kripto dikenakan PPh sebesar 0,1% dari nilai perdagangan apabila transaksi dilakukan di CPFAK terdaftar dan 0,2% dari nilai perdagagan apabila transaksi dilakukan di CPFAK tidak terdaftar. Bagi pelaku pasar yang tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban perpajakan ini akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Regulasi pajak cryptocurrency yang dirancang di Indonesia agaknya sejalan dengan saran Gamze Öz Yalaman dan Hakan Yıldırım dalam artikel bertajuk “Cryptocurrency and Tax Regulation: Global Challenges for Tax Administration”. Para peneliti tersebut menggunakan kerangka teori permainan (game theoratical framework) untuk menjelaskan desain perpajakan cryptocurrency yang berasaskan pada maksimalisasi keuntungan bagi spekulan dan pemerintah. Hasil penelitian tersebut merekomendasikan tarif pajak yang rendah dan tingkat denda yang tinggi untuk cryptocurrency.
Kembali ke soal intervensi pasar dengan perpajakan, kita dapat belajar dari fenomena letusan Dot-Com bubble yang menimpa bursa saham NASDAQ di Maret 2000. Penurunan pajak capital gain kala itu dianggap memiliki andil besar dalam mendorong investor untuk berspekulasi secara berlebihan pada saham-saham perusahaan internet. Hal ini mengakibatkan keberlimpahan dana pada perusahaan. Sayangnya, sebagian besar dana digunakan untuk membangun merek, yang pada gilirannya menyebabkan kerugian operasional. Walhasil, indeks harga saham NASDAQ jauh lebih tinggi dari nilai fundamental aset, dan akhirnya meletus.
Berkaca pada fenomena di atas, pajak atas transaksi aset kripto, sebagaimana penjelasan sebelumnya, berpotensi menjadi perangkat kebijakan yang efektif untuk memitigasi risiko crypto bubble. Apa lagi, sebuah studi empiris bertajuk ‘Bitcoin: Bubble that Bursts or Gold that Glitters?’ menunjukkan bahwa terdapat kedekatan yang erat antara crypto bubble dan Dot-Com bubble. Artinya, faktor-faktor pemicu Dot-Com bubble, seperti perpajakan, juga relevan untuk diterapkan pada kasus crypto bubble.
Selain itu, pengenaan pajak atas transaksi di pasar aset bukanlah ide baru. Ekonom sekelas John Maynard Keynes dalam tulisannya “The General Theory of Employment, Interest, and Money” bahkan mempromosikan pajak ini untuk mengurangi spekulasi dan volatilitas yang berlebihan di pasar keuangan Amerika Serikat. Lebih lanjut, Keynes menegaskan bahwa salah satu hasil yang diharapkan dari penerapan pajak ini adalah peningkatan stabilitas harga di bursa efek. Ekonom lainnya seperti Joseph E. Stiglitz (1989) mendukung gagasan ini dengan menyebut pajak sebagai cara yang efektif untuk mencapai tujuan-tujuan yang disebutkan Keynes.
Namun, yang perlu diperhatikan adalah bahwa pajak merupakan hambatan bagi semua spekulan, termasuk spekulan yang mendorong efisiensi pasar atau disebut dengan ‘informed speculators’ (kebalikan dari ‘noise speculators’). Sementara, studi empiris menunjukkan bahwa apabila pajak transaksi di pasar keuangan mendesak keluar ‘informed speculators’, alih-alih stabilitas harga, kebijakan ini justru meningkatkan volatilitas harga (Fu et al., 2015).
Hal tersebut tampaknya tidak berlaku di pasar kripto yang notabene-nya didominasi oleh ‘noise specualtors’. Oleh karena itu, kebijakan intervensi semacam ini dapat menjadi perangkat mitigasi yang efektif untuk menurunkan risiko crypto bubble, khususnya di Indonesia. Selain itu, penerapan pajak ini diharapkan dapat menjadi rambu bagi para spekulan untuk lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan investasi. Dengan begitu, cryptocurrency tidak hanya dipandang sebagai ‘emas yang berkilauan’, melainkan juga diwaspadai sebagai bubble yang bakal meletus kapan saja. Ingat! Kalau housing bubble saja bisa mengakibatkan krisis finansial global, mengapa crypto bubble tidak?
Referensi:
Keynes, J.M. (1964). The General Theory of Employment, Interest, and Money. New York.
Ram, A. J. (2019). Bitcoin as a New Asset Class. Meditari Accountancy Research, 27(1), 147-168.