Anak berkata masuk sekarang
Janganlah ayah pergi berperang
Badan kok mati nyawa berpulang
Di sini kampung di labuah gadang
– Syair Perang Kamang yang Kejadian dalam Tahun 1908 karya Haji Ahmad
Diberlakukannya Blasting (istilah Belanda untuk pungutan pajak) di Sumatra Barat pada 1908 resmi menggantikan aturan sebelumnya, yaitu Koffiestelsel yang telah berjalan sejak 1847. Sebenarnya, jumlah pungutan blasting secara matematis lebih kecil dibanding koffiestelsel. Alih-alih membuat masyarakat gembira, aturan baru itu justru memicu perlawanan.
Koffiestelsel: Pungutan Paksa Cita Rasa Belanda
Secara sederhana, koffiestelsel berarti sistem tanam paksa kopi. Sistem tersebut memaksa masyarakat untuk menanam kopi supaya dapat dibeli oleh pemerintah kolonial Belanda dengan harga yang sudah ditetapkan. Atas pembelian tersebut, masyarakat mendapat garam atau kebutuhan hidup lainnya sebagai pengganti uang, meski dengan nilai yang tidak sebanding.
Sejak awal abad 17, sebetulnya pulau Jawa telah menjadi pemasok kopi yang penting bagi Belanda. Tidak heran jika pemerintah kolonial Belanda lalu menerapkan aturan tanam paksa kopi di luar Jawa, seperti di Sumatra Barat.
John S. Ambler, profesor emeritus bidang politik dari Rice University, Texas membagi sejarah koffiestelsel di Sumatra Barat menjadi 3 babak:
- 1821-1847: Penguatan peran politik dan ekonomi pemerintah kolonial Belanda
- 1847-1908: Penerapan koffiestelsel
- 1908: Pencabutan koffiestelsel dan penerapan blasting – periode “Pasar Komoditas yang Berkembang Pesat”.
Sebagai gambaran, pemerintah kolonial Belanda menetapkan harga kopi per pond (1 pond = 0,45 kg) adalah senilai 0,08 gulden (mata uang Belanda saat itu). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa harga setiap 1 kg kopi berkisar 0,16 gulden. Dr. Taufik Abdullah dan tim penyusun buku “Sejarah Sosial di Daerah Sumatra Barat” menyebut bahwa harga sebenarnya dari kopi tersebut dapat mencapai 0,5 gulden per kilogramnya. Dengan demikian keuntungan yang didapat pemerintah kolonial Belanda atas 1 kg kopi dapat mencapai 0,34 gulden.
Demi menjalankan koffiestelsel tersebut, pemerintah kolonial Belanda secara sepihak membatalkan “Plakaat Panjang”, sebuah dokumen resmi yang menyatakan bahwa tidak akan ada intervensi dan dikte pasar atas hasil tani atau kebun milik masyarakat. Selain itu, masyarakat juga diwajibkan untuk memanfaatkan lahan-lahan marginal, alias lahan kering dengan kandungan hara yang terbatas.
Sistem koffiestelsel mungkin tidak bisa disamakan dengan sistem pajak. Bahkan masyarakat Sumatra Barat saat itu menganggap koffiestelsel sebagai transkasi jual beli, meski seluruh sistem tersebut sepenuhnya ditetapkan dan dikontrol pemerintah kolonial Belanda.
Blasting: Saat Aturan Pajak Salah Sasaran
Maret, 1908 di Bukittinggi. Bulan itu, dengan percaya diri Louis Constant Westenenk yang tengah menjabat asisten residen untuk wilayah Agam, Sumatra Barat, mengadakan pertemuan untuk mengumumkan aturan blasting.
“Sekarang ini rakyat telah senang karena koffiestelsel akan dicabut, tapi sebagai gantinya akan dipungut bayaran blasting”.
– “Proklamasi blasting” oleh Louis Constant Westenenk
Dengan dicabutnya koffiestelsel, maka masyarakat kembali dibebaskan untuk menanam komoditas apa pun untuk dijual ke siapa pun. Sebagai gantinya, pemerintah kolonial Belanda mengincar pungutan tunai untuk jadi sumber pendapatan mereka. Adapun pungutan atau blasting tersebut hanya sebesar 1,2 gulden per kepala per tahun.
Secara matematis, sebetulnya nilai pungutan kepada masyarakat atas blasting jauh lebih kecil dibandingkan dengan saat penerapan koffiestelsel. Pada masa koffiestelsel, jika satu orang dapat menghasilkan 30 kg kopi sekali panen, maka secara tidak langsung ia telah terkena pungutan senilai 10,2 gulden (30 kg x 0,34 gulden), yakni hampir 10 kali lipat lebih tinggi dari ketentuan blasting. Akan tetapi setelah Westenenk mengumumkan aturan tersebut, masyarakat justru mengajukan penolakan dan bahkan berujung pada pecah perang. Mengapa bisa demikian?
Dalam kehidupan sosial masyarakat Sumatra Barat saat itu, uang tunai bukanlah sesuatu yang mudah didapat dan dicari. Mereka terbiasa bertani hanya untuk menghidupi keluarga sendiri sampai tingkat lingkungan kecil. Soal berdagang di pasar-pasar, mereka masih biasa menggunakan sistem tukar kebutuhan atau barter.
Selain peran uang yang kecil dalam kehidupan sosial, masyarakat Sumatra Barat juga tidak habis pikir atas logika penerapan blasting itu. Mereka mempertanyakan mengapa mereka harus terkena pungutan atas tanah mereka sendiri, seolah mereka sedang menyewa tanah milik pemerintah kolonial Belanda. Datuk Radjo Penghulu, salah seorang tokoh masyarakat dengan tegas menentang Westenenk pada forum Maret 1908 tersebut.
“Tuan, blasting tidak mungkin. Kami telah tuan tipu. Tuan yang harus membayar kepada kami. Kenapa tuan minta uang lagi kepada kami. Tuan kan pandai membuat uang. Sesenpun tidak akan kami berikan. Musuh tidak dicari, kalau datang tidak dielakkan. Esa hilang dua terbilang.”
– Datuk Radjo Penghulu, dalam Sejarah Sosial di Daerah Sumatera Barat
Kecamuk Perang karena Pajak
Pertemuan di Bukittinggi, Maret 1908 itu dihadiri oleh wakil-wakil masyarakat dari berbagai daerah di Sumatra Barat. Umumnya, para wakil masyarakat tersebut menolak aturan blasting yang disampaikan Westenenk. Salah satu yang paling keras menolak adalah wakil dari masyarakat daerah Kamang.
Setelah pertemuan tersebut, protes dari masyarakat Kamang terus memanas. Salah satu momentum penting terjadi pada 12 Juni 1908. Masyarakat Kamang di bawah pimpinan Datuk Machudum beserta dua kawannya melakukan demonstrasi. Atas aksi tersebut, Westenenk menerima perwakilan dari demonstran sambil menyiapkan jebakan. Sementara rakyat diminta kembali ke kampungnya, Datuk Machudum beserta dua kawannya diam-diam dijebloskan ke penjara.
Peristiwa tersebut membuat amarah masyarakat Kamang mencapai puncak. Di saat yang hampir bersamaan, Haji Abdul Manan kembali dari tanah suci. Haji Abdul Manan adalah seorang ulama yang menjadi penggerak utama Perang Kamang pada 1908. Cuplikan atas perang tersebut terekam dalam Syair Perang Kamang yang Kejadian dalam Tahun 1908 karya Haji Ahmad, yang potongan syairnya terdapat pada pembuka tulisan ini.
Referensi:
Abdullah, Taufik, Dr. (ed.). (1983/1984). Sejarah Sosial di Daerah Sumatera Barat. Proyek IDSN. Jakarta
Ambler, John S. (1988), “Historical Perspectives on Sawah Cultivation and the Political and Economic Context for Irrigation in West Sumatra”, Indonesia, No. 46, pp. 48-52
Thejakartapost.com. 19 Januari 2018. How Coffee Went from The Hands of The Dutch to The World. Diakses 29 Januari 2024, dari https://www.thejakartapost.com/life/2018/01/19/how-coffee-went-from-the-hands-of-the-dutch-to-the-world.html
Wahyuningsih. (1996). Kajian Naskah Pemimpin ke Syurga dan Syair Perang Kamang yang Kejadian dalam Tahun 1908. Proyek PPNB. Jakarta