Presiden Prabowo Subianto menunjuk Bimo Wijayanto sebagai Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, menggantikan Suryo Utomo. Hal ini dibenarkan oleh Bimo Wijayanto di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (20/5/2025).
Dikutip dari CNBC Indonesia, Bimo mengatakan Prsiden Prabowo menitipkan pesan kepada dirinya. Pesan tersebut yaitu memperbaiki sistem perpajakan Indonesia supaya lebih akuntabel, lebih berintegritas, lebih independen untuk mengamankan program-program nasional beliau, khususnya dari sisi penerimaan negara.
Pergantian pimpinan di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bukanlah sekadar proses administratif, melainkan momentum penting untuk mempercepat reformasi perpajakan di Indonesia. Dalam konteks tekanan fiskal yang semakin tinggi dan kebutuhan pembiayaan pembangunan yang terus meningkat, pimpinan baru DJP menghadapi segudang pekerjaan rumah yang tidak ringan. Di bawah ini adalah sejumlah isu strategis yang harus segera ditangani berdasarkan data dan fakta yang dapat diverifikasi.
-
Implementasi Core Tax Administration System (CTAS)
Salah satu agenda paling krusial adalah penyelesaian dan implementasi sistem Core Tax Administration System (Coretax) yang ditargetkan berlaku penuh pada 2025. Coretax merupakan sistem administrasi perpajakan baru yang dirancang untuk menggantikan sistem-sistem lama seperti e-Filing, e-Billing, dan e-Faktur yang selama ini berjalan secara terpisah.
Dalam peluncuran awal Coretax sejumlah persoalan teknis turut menyeret Wajib Pajak dalam pusaran permasalahan. Beberapa wajib pajak melaporkan adanya surat teguran yang diterbitkan otomatis meskipun kewajiban mereka telah diselesaikan, menunjukkan masih adanya bug dan kelemahan dalam validasi data. Masalah ini telah menjadi sorotan dalam berbagai kanal berita dan publikasi resmi DJP, termasuk dalam laman pajak.go.id dan pajakku.com.
Selain itu, Pada Januari 2025, banyak wajib pajak yang kesulitan mengakses sistem tersebut, terutama untuk melakukan deposit pajak, yang merupakan fitur utama pembayaran yang diandalkan dalam sistem baru tersebut. Akibatnya, terjadi keterlambatan atau bahkan kegagalan pembayaran pajak yang berdampak langsung pada penerimaan negara.
Penyempurnaan sistem ini bukan hanya soal perangkat lunak, tetapi juga soal kesiapan infrastruktur data, pelatihan SDM internal, serta komunikasi yang baik kepada wajib pajak agar tidak terjadi kebingungan massal. Tanpa pembenahan serius, Coretax bisa menjadi senjata makan tuan yang justru merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem pajak nasional.
-
Validitas NPWP-NIK
Sejak diberlakukannya integrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai pengganti NPWP berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 112/PMK.03/2022, DJP telah melakukan proses pemadanan data NIK dan NPWP. Hingga Mei 2025, menurut laporan Antara News, proses ini telah mencapai 99%, menyisakan sekitar 400.000 wajib pajak yang belum terintegrasi.
Namun, angka 99% tidak serta merta menjamin validitas data. Kualitas pemadanan menjadi isu krusial. Kesalahan dalam mencocokkan identitas, dobel data, hingga belum adanya integrasi dengan status kependudukan terkini masih menjadi pekerjaan rumah besar. Apabila data pajak tidak solid dan terpercaya, maka akurasi penghitungan kewajiban pajak pun akan menjadi lemah.
-
Peningkatan Kepatuhan Pajak
Pemerintah telah menyuarakan komitmen untuk meningkatkan rasio perpajakan (tax ratio) yang stagnan di angka sekitar 10-11% terhadap PDB selama lebih dari satu dekade. Presiden Prabowo Subianto bahkan menekankan bahwa reformasi perpajakan berbasis digital adalah salah satu pilar utama untuk mencapai target fiskal yang lebih sehat. Untuk itu, dibentuklah Komite Percepatan Transformasi Digital Nasional yang juga akan berfokus pada integrasi data fiskal.
Kepatuhan sukarela (voluntary compliance) adalah indikator utama keberhasilan sistem pajak modern. Namun, survei dari Bank Dunia dan OECD menunjukkan bahwa persepsi wajib pajak terhadap kompleksitas dan ketidakpastian hukum perpajakan di Indonesia masih tinggi. Artinya, selain transformasi digital, reformasi regulasi dan simplifikasi prosedur pajak juga mendesak untuk dilakukan.
-
Reformasi Sumber Daya Manusia (SDM) dan Organisasi
Tak dapat dipungkiri bahwa kredibilitas DJP sempat terguncang akibat skandal pegawai pajak yang memamerkan gaya hidup mewah, yang mencoreng institusi secara luas. Reformasi SDM harus dimulai dari evaluasi sistem mutasi, promosi, dan pengawasan internal.
Pimpinan baru diharapkan mampu membangun sistem manajemen kinerja yang transparan dan merit-based. Hal ini bisa dilakukan dengan memperluas sistem pengawasan berbasis teknologi dan memperkuat lembaga audit internal. Kepercayaan publik tidak akan tumbuh bila masih ada pegawai pajak yang memperkaya diri dengan cara tidak wajar, sementara rakyat diminta patuh membayar pajak.
-
Peningkatan Kualitas dan Integrasi Data
DJP harus mampu menjadi institusi berbasis data yang kuat. Hal ini membutuhkan pembenahan dalam pengumpulan, verifikasi, dan integrasi data dari berbagai sumber. Misalnya, data kepemilikan aset dari Kementerian ATR/BPN, data transaksi keuangan dari perbankan, serta data pengeluaran dari sektor konsumsi perlu dirajut menjadi satu sistem terpadu yang akurat.
DJP telah menyebut pentingnya sistem informasi yang menjadi “single source of truth.” Namun pada praktiknya, perbedaan data antarunit di dalam DJP sendiri masih sering ditemukan. Pimpinan baru harus memastikan bahwa DJP bukan hanya institusi pemungut pajak, tetapi juga pusat informasi ekonomi yang kredibel dan tangguh.
-
Pengawasan Berbasis Risiko
Pengawasan terhadap wajib pajak kini diarahkan pada pendekatan berbasis risiko (risk-based supervision). DJP telah membentuk Komite Kepatuhan untuk menyusun Daftar Prioritas Pengawasan Wajib Pajak (DP3). Tujuannya agar pengawasan tidak bersifat acak dan menyasar pada pelanggar yang sebenarnya berisiko tinggi.
Namun pendekatan ini memerlukan data yang sangat akurat dan SDM yang mampu melakukan analisis risiko secara mendalam. Tanpa pembekalan dan algoritma yang presisi, pendekatan ini justru bisa menciptakan bias pengawasan yang tidak adil.
-
Penyelesaian Sengketa Pajak
Tingginya jumlah sengketa pajak yang menumpuk di Pengadilan Pajak menjadi indikasi lain dari perlunya perbaikan sistem. Dalam banyak kasus, proses penyelesaian sengketa berlangsung berlarut-larut, bahkan hingga bertahun-tahun. Ini tidak hanya merugikan wajib pajak, tetapi juga menghambat pemasukan negara.
Diperlukan langkah terobosan dalam bentuk mediasi pajak yang efisien, penyederhanaan prosedur keberatan, serta transparansi dalam pengambilan keputusan. Langkah-langkah ini akan mempercepat proses penyelesaian dan meminimalkan konflik antara fiskus dan wajib pajak.
Sang nahkoda baru DJP tentu dihadapkan pada tantangan ganda. Memperkuat fondasi digitalisasi perpajakan, sekaligus memulihkan kepercayaan publik terhadap institusi, menjadi pekerjaan rumah yang harus segera di selesaikan.
Dengan menyelesaikan tujuh pekerjaan rumah di atas secara konsisten dan berintegritas, DJP bukan hanya akan menjadi lebih modern, tetapi juga lebih adil dan akuntabel. Karena pada akhirnya, pajak bukan hanya sekadar instrumen fiskal semata, tetapi juga instrumen keadilan sosial dan keberlanjutan negara.