Kompas.id | 18 April 2024 – Salah satu janji kampanye pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang sebentar lagi akan mengambil alih takhta kepresidenan RI adalah merealisasikan target rasio pajak (tax ratio) 23 persen. Meski terkesan ambisius, target ini cukup krusial karena rasio pajak merefleksikan kapasitas fiskal suatu negara.
Semakin tinggi rasio pajak, semakin mampu suatu negara menyediakan barang dan layanan publik tanpa bergantung pada utang. Artinya, peningkatan rasio pajak patut diupayakan guna mewujudkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Sebagai patokan internasional, Bank Dunia menetapkan batas bawah rasio pajak sebesar 15 persen. Rekomendasi ini didukung temuan empiris yang menunjukkan bahwa selama satu dekade penuh, negara-negara dengan rasio pajak di atas 15 persen dapat menikmati pendapatan per kapita 7,5 persen lebih tinggi daripada target yang ditetapkan (Gaspar et al, 2016).
Namun, fakta di lapangan akan memaksa Prabowo-Gibran bekerja lebih keras. Pasalnya, rasio pajak Indonesia pada 2023 justru turun sekitar 18 basis poin, dari 10,39 persen (2022) menjadi 10,21 persen (2023). Jika kita tarik ke belakang, rata-rata rasio pajak Indonesia dua dekade terakhir memang di kisaran 10 persen.
Artinya, secara tahunan (year on year), trennya sangat persisten sehingga menjadi tantangan berat bagi Prabowo-Gibran untuk mendongkraknya menjadi 23 persen.
Pembilang dan penyebut
Membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN) sejatinya merupakan opsi kebijakan yang realistis, tetapi tak serta-merta akan mengerek rasio pajak ke 23 persen. Pemangku kebijakan mesti kembali ke konsep dasar rasio pajak guna mengidentifikasi sejumlah strategi.
Secara umum, rasio pajak didefinisikan sebagai perbandingan antara penerimaan pajak dan produk domestik bruto (PDB). Artinya, peningkatan rasio pajak hanya berkutat pada besaran ”pembilang” (penerimaan pajak) dan ”penyebut” (PDB). Karena itu, upaya yang dilakukan harus mengarah pada eskalasi angka ”pembilang” tanpa melibatkan ”penyebut”.
Mengutak-atik komponen ”pembilang” menjadi jalan pintas untuk mendongkrak rasio pajak. Misalnya, dengan memperluas definisi penerimaan pajak hingga mencakup pajak daerah dan penerimaan sumber daya alam yang sejalan dengan model perhitungan IMF.
Sayangnya, dengan model perhitungan itu pun, kemungkinan hanya akan mampu mendongkrak rasio pajak menjadi 12 persen. Selain itu, memperluas cakupan penerimaan pajak tak otomatis mengindikasikan adanya peningkatan kapasitas fiskal suatu negara. Walhasil, harus diakui, efektivitas pemungutan pajak secara nasional masih perlu banyak perbaikan.
Mengandalkan ekstensifikasi untuk mendorong rasio pajak rasanya kurang bijak mengingat kondisi ekonomi yang rentan terhadap gejolak eksternal. Apalagi, dalam debat cawapres, Gibran menganalogikan ekstensifikasi dengan ”memperluas kebun binatang” dan ”menggemukkan binatangnya”.
Strategi ini tak akan meningkatkan rasio pajak secara signifikan lantaran pertumbuhan di sisi ”pembilang” dan ”penyebut” akan saling kejar.
Tesis di atas dijustifikasi oleh fakta bahwa koefisien elastisitas pajak pada 2023 hanya 1,3. Angka ini diperoleh dengan membandingkan pertumbuhan pajak dan pertumbuhan PDB pada 2023. Artinya, 1 persen pertumbuhan PDB hanya mampu menaikkan penerimaan pajak sebesar 1,3 persen. Bukti empiris juga menegaskan, tak ada negara yang mampu menaikkan penerimaan pajak dua kali lipat dari kenaikan PDB (Abimanyu, 2015).
Transformasi struktural
Rendahnya koefisien elastisitas pajak di atas kemungkinan berkaitan erat dengan struktur pembentukan PDB di Indonesia. Mengacu pada data Bank Dunia, porsi jasa dalam PDB adalah yang paling dominan (42 persen) dan menjadi satu-satunya sektor dengan tren positif dua dekade terakhir.
Dalam kurun waktu yang sama, kontribusi pertanian dan manufaktur terhadap PDB masing-masing turun sebesar 6,5 dan 3,6 persen poin.
Hal tersebut menandai adanya peralihan aktivitas ekonomi menuju jasa, atau dikenal dengan istilah transformasi struktural. Dalam literatur, transformasi struktural diklaim berkorelasi negatif dengan perpajakan, terutama di negara-negara berkembang (Cevik et al, 2019). Hal ini disebabkan mayoritas unit usaha di sektor jasa berstatus informal sehingga sulit dipajaki (Rajaraman, 2004).
Oleh karena itu, tanpa adanya penyesuaian rezim perpajakan, transformasi struktural disinyalir menjadi kendala bagi peningkatan rasio pajak.
Problematika ini semakin relevan dalam konteks Indonesia, di mana transformasi struktural terutama didorong oleh peningkatan aktivitas jasa nonpasar (nonmarket services), seperti layanan kesehatan, pendidikan, dan sosial. Kelompok jasa ini merupakan jasa kena pajak (JKP) tertentu yang bersifat strategis sehingga dibebaskan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ini tertuang dalam UU No 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Selain ketiga jenis jasa itu, layanan transportasi juga tergolong JKP tertentu yang bersifat strategis dan dibebaskan dari PPN. Aktivitas jasa ini juga menyumbang pada ekspansi sektor jasa, tetapi tidak sesignifikan layanan kesehatan, pendidikan, dan sosial. Sementara, jasa perdagangan, perhotelan, dan restoran, yang kontraproduktif terhadap laju positif aktivitas jasa, memperoleh perlakuan pajak yang berbeda-beda.
Berdasarkan UU HPP, restoran dan perhotelan merupakan obyek pajak daerah sehingga pemungutannya tidak berkontribusi pada peningkatan komponen ”pembilang” rasio pajak. Di sisi lain, aktivitas perdagangan bukanlah JKP tertentu yang bebas PPN sehingga dipungut dengan tarif standar 11 persen.
Di titik ini, kita bisa menyimpulkan bahwa transformasi struktural cenderung mempersempit basis PPN. Hal ini disebabkan adanya celah yang signifikan antara kebijakan PPN dan potensi penerimaan (policy gap).
Penyesuaian rezim pajak
Oleh karena itu, tanpa adanya penyesuaian rezim perpajakan, transformasi struktural disinyalir menjadi kendala bagi peningkatan rasio pajak. Kekhawatiran ini dapat dimaklumi mengingat PPN menyumbang 40 persen total penerimaan pajak. Studi empiris juga menunjukkan, cakupan pembebasan PPN yang terlalu luas di sektor jasa tidak hanya mengganggu sistem perpajakan, tetapi juga dapat mendistorsi perekonomian secara agregat (De la Feria & Krever, 2013).
Perlu kita ingat bahwa sebagian layanan yang tergolong JKP tertentu diselenggarakan oleh pihak swasta dengan mematok harga tinggi yang hanya terjangkau konsumen kelas atas. Ini menyiratkan bahwa pembebasan PPN atas JKP tertentu berpotensi menciptakan belanja pajak (tax expenditure) yang besar, tetapi implementasinya belum tentu tepat sasaran.
Dengan demikian, sudah saatnya policy gap diminimalkan guna memperbesar sisi ”pembilang” rasio pajak. Hal ini dapat dimulai salah satunya dengan mengeluarkan aturan turunan dari UU HPP yang menjelaskan lebih lanjut penyedia jasa yang berhak memperoleh fasilitas pembebasan PPN.
Misalnya, dengan menggunakan kisaran biaya tertentu untuk mengklasifikasikan tingkat kemahalan kegiatan jasa yang bersangkutan. Langkah ini tidak hanya mewakili upaya ekstensifikasi, tetapi juga menciptakan keadilan vertikal.
Ekstensifikasi juga dapat ditempuh dengan mentransformasikan ekonomi informal menjadi ekonomi riil sehingga bisa terjangkau pajak. Berdasarkan estimasi Elgin dan Öztunali (2014), ekonomi informal di Indonesia menyumbang 19,05 persen terhadap PDB. Penyederhanaan proses pendaftaran wajib pajak melalui penerapan core tax administration system ditengarai dapat memperkecil angka ini.
Dengan mempertimbangkan poin-poin di atas, ekstensifikasi pajak yang dibangun niscaya akan mendorong rasio pajak secara konsisten. Meski demikian, tidak ada jaminan bahwa target 23 persen akan terkejar.
Hal ini disebabkan pada dasarnya pajak merupakan ”kontrak fiskal” antara pemerintah dan masyarakat. Artinya, sistem sebagus apa pun tidak akan bekerja tanpa adanya kesadaran (tax awareness) dari masyarakat.
Gustofan Mahmud, Economic Analyst Pratama Institute for Fiscal Policy & Governance Studies dan Dosen STIE Swadaya Jakarta