Pratama-Kreston Tax Research Center
No Result
View All Result
Sabtu, 21 Juni 2025
  • Login
  • Konsultasi
  • ESG
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
    • Working Paper
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
    • ENGLISH
Pratama-Kreston Tax Research Center
  • Konsultasi
  • ESG
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
    • Working Paper
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
      • Survei Objek Pajak Daerah
      • Survey Efektivitas Penyuluhan Pajak Daerah
      • Survei Kepuasan Masyarakat
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami
  • INDONESIA
    • ENGLISH
Pratama-Kreston Tax Research Institute
No Result
View All Result

Problematika Tapera bagi Pekerja Berpenghasilan Rendah

Lambang Wiji ImantorobyLambang Wiji Imantoro
3 Juni 2024
in Analisis, Artikel, Kolaborasi
Reading Time: 5 mins read
133 8
A A
0
potong gaji pegawai lewat tapera

Ilustrasi: Umar Hanif Al Faruqy

162
SHARES
2k
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Nasib pekerja bergaji UMR kian hari kian memilukan. Belum lama ini Pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 21/2024 (PP No 21/2024) tentang penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Salah satu aturan yang menjadi polemik ialah adanya pemotongan dalam bentuk iuran penghasilan bagi para pekerja baik Aparatur Sipil Negara, pekerja swasta, serta pekerja mandiri (freelance) dengan mekanisme pemotongan dialihkan pada rekening Tapera.

Pada Pasal 5 PP 21/2024 tersebut dijelaskan bahwa peserta Tapera adalah para pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum, serta telah berusia paling rendah 20 tahun atau sudah kawin pada saat mendaftar. Adapun besaran iuran peserta tapera adalah 3 persen dari gaji atau upah bagi peserta pekerja dan penghasilan bagi pekerja mandiri. Besaran simpanan untuk peserta pekerja ditanggung bersama pemberi kerja, yakni sebesar 0,5 persen oleh perusahaan dan dari upah pekerja sebesar 2,5 persen.

Aturan ini tentu menuai banyak tanggapan, namun tidak ada yang melebihi penolakannya. Helmi Jauhari salah satu pekerja swasta berdomisili di Bogor Jawa Barat menyatakan jika dirinya tidak sepakat dengan adanya kebijakan ini. Menurutnya ketika penghasilannya dipotong untuk Tapera, hal itu akan sangat berdampak pada penghasilannya. Pria berusia 26 tahun itu sangat keberatan karena menurutnya pemotongan ini tidak bisa dipukul rata begitu saja.

”Ya ga adil aja sih kalau semua pekerja harus di potong penghasilannya tanpa pandang bulu.”  Kata Helmi (30/05/2024).

Senada dengan Helmi, Eldi yang merupakan pekerja di sektor industri tekstil yang berdomosili di Tangerang juga menolak aturan tersebut. Menurutnya,skema dan teknis pemotongan iuran Tapera belum jelas dan perumusan aturannya tidak transparan.

”Aturannya aja ga jelas, ga transparan tiba-tiba aja disahkan, tiba-tiba ada dan tiba-tiba kenapa sifatnya jadi wajib? Kita ga tau kan? Penghasilan kami sudah di potong pajak, dipotong BPJS sekarang dipotong Tapera juga?” Lugas Eldi (30/05/2024).

Eldi dan Helmi adalah sederetan para pekerja berpenghasilan UMR yang menolak adanya pemberlakuan kebijakan tersebut. Gaji mereka yang “pas-pasan” untuk hidup di ibukota harus rela dipotong iuran Tapera setiap bulannya. Lain halnya dengan Eldi dan Helmi, Gian yang merupakan pekerja lepas yang berprofesi sebagai programmer dan berdomisili di Jakarta menilai kebijakan ini tidak akan memberatkannya.

Gian menilai Tapera ini bisa bermanfaat di kemudian hari karena dia menganggap Tapera dapat membantu para pekerja yang belum memiliki rumah, yaitu dengan menghimpun sebagian kecil dari penghasilan mereka.

”Ya itung-itung nabung bang, saya si ga keberatan kan dipotongnya hanya 3%, itung-itung nabung buat beli rumah.” Tegas Gian (30/05/2024).

Namun demikian, dirinya  juga menyadari bahwa pemberlakuan Tapera bagi semua pekerja akan memberatkan masyarakat. Menurutnya perlu ada aturan yang lebih jelas terkait skema pemungutan dan pengalokasiannya, agar tidak menimbulkan kesimpangsiuran di masyarakat.

Dihimpun dari berbagai sumber, berdasarkan ketentuan PP Nomor 21/2024, peserta Tapera merupakan pekerja yang menerima upah atau gaji, termasuk pegawai negeri, BUMN, pekerja mandiri dan swasta. Peserta Tapera yang masuk kategori masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dapat memperoleh manfaat berupa kredit pemilikan rumah (KPR), kredit bangun rumah (KBR), dan kredit renovasi rumah (KRR). Manfaat itu diiringi tenor panjang hingga 30 tahun dan suku bunga tetap di bawah suku bunga pasar.

Kebijakan Problematik?

Direktur Pratama Institute for Fiscal Policy and Governance Studies, Prianto Budi Saptono menyatakan, kebijakan Tapera sebenarnya bukanlah kebijakan yang baru. Menurutnya ketentuan mengenai Tapera sebenarnya telah ada sejak 2020 yang tertuang melalui PP 25/2020.

“Ketentuan tentang besaran di Pasal 15 ayat (1) dan (2) PP 25/2020 di atas tidak berubah ketika PP tersebut direvisi dengan PP 21/2024. Revisi aturannya memang mencakup Pasal 15 PP 25/2020, tapi tidak mengubah besaran simpanannya,” ujar Prianto Budi Saptono, kepada Tirto, Selasa (28/5/2024).

Seperti yang dikutip dari laman Tirto.id, Prianto menganggap potongan simpanan Tapera di atas bukan merupakan beban tambahan bagi pekerja. Karena sifatnya berupa tabungan yang nantinya dapat dicairkan oleh pekerja ketika mereka akan membeli rumah. Selain itu, pemberlakuannya juga bukan dimulai 20 Mei 2024, tapi sejak 20 Mei 2020.

Berdasarkan simulasi hitung-hitungan sederhana dengan menggunakan UMR Jakarta (Rp5,06 juta) sebagai patokannya, lalu dikalikan (dipotong) iuran Tapera sebanyak 2,5% maka iuran yang dipungut dari gaji para pekerja di Jakarta adalah sebesar Rp126,610 perbulannya, yang jika dikalikan selama 12 bulan maka total iuran yang terkumpul adalah Rp1,5 juta. Anggaplah seorang karyawan bergaji UMR ingin membeli rumah di daerah Depok Jawa Barat. Dilansir dari Rumah 123.com, harga termurah untuk rumah di daerah depok saat ini mencapai 500 juta. Maka seorang karyawan membutuhkan waktu lebih dari 100 tahun untuk dapat membeli rumah dengan harga tersebut.

Meskipun bukan merupakan beban tambahan bagi karyawan, faktanya banyak pihak dari sektor pengusaha dan pekerja keberatan dengan kebijakan ini. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menjadi kelompok yang tegas menolak aturan tersebut. Dikutip dari Antara ketua umum Apindo, Shinta Kamdani, menyatakan secara tegas bahwa Apindo dengan tegas menolak diberlakukannya aturan Tapera ini.

“Sejak munculnya UU No. 4 Tahun 2016 tentang ‘TabApindo denganungan Perumahan Rakyat’,  tegas telah menolak diberlakukannya UU tersebut,” kata Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani dalam keterangan resmi di Jakarta, Selasa, dikutip dari Antara.

Sejalan dengan Apindo, Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) melalui ketunya Elly Silaban, menganggap iuran Tapera hanya akan menambah masalah dan beban bagi para buruh. Dikutip dari Tirto.id, Elly menyebut saat ini saja, buruh sudah dipusingkan dengan jaminan berupa iuran wajib dan pajak yang memangkas upah mereka. Dia menilai kebijakan Tapera akan ditolak besar-besaran oleh serikat buruh.

“Ini kan seakan memaksa, kan enggak bisa dipaksakan [ikut tapera]? Gimana yang sudah rumah, masa diwajibkan juga,” kata Elly, Selasa (28/5/2024), dikutip dari Tirto.id

Permasalahan utama yang melatarbelakangi mengapa kebijakan ini begitu problematik ialah karena pengenaan iurannya yang diwajibkan bagi seluruh pekerja dari berbagai sektor alias dipukul rata. Banyak pengamat menilai pemberlakuan Tapera sebaiknya tidak dipukul rata alias menyasar seluruh kelompok pekerja.

Dikutip dari Kompas.com, perencana keuangan, Andy Nugroho, menyebut sebaiknya aturan ini tidak dipukul rata alias tidak disamaratakan.

“Kalau memang sudah punya rumah dan tidak ingin menambah rumah kedua ya tidak perlu dipotong juga untuk Tapera ini,” kata dia, Kamis (30/5/2024), dikutip dari Kompas.

Dirinya menambahkan, masyarakat yang masih memiliki penghasilan setara UMR atau bahkan di bawahnya akan merasa keberatan jika penghasilannya dipotong lagi sebanyak 3% untuk iuran Tapera. Untuk itu, menurutnya aturan tersebut tidak bisa diberlakukan sama rata.

“Buat saya, tujuannya sudah oke, tapi kalau bicara soal ideal, kembali lagi, peraturannya tidak bisa disamaratakan,” imbuhnya, dikutip dari Kompas.com.

Potensi Penurunan Daya Beli Masyarakat

Program ini juga berpotensi menggerus daya beli masyarakat terutama pekerja kelas medioker. Meskipun persentasenya terlihat kecil, bagi banyak pekerja, terutama mereka yang berada dalam golongan pendapatan menengah ke bawah, pemotongan ini dapat berdampak signifikan terhadap kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara itu, biaya hidup yang semakin tinggi dan kebutuhan mendesak seperti makanan, transportasi, pendidikan, dan kesehatan tetap harus dipenuhi, sehingga penurunan pendapatan akan langsung berimbas pada kemampuan konsumsi mereka.

Kebijakan ini juga tidak mempertimbangkan perbedaan tingkat pendapatan di berbagai sektor. Bagi karyawan dengan gaji yang lebih rendah, pemotongan 2,5% dari gaji mereka dapat terasa sangat memberatkan dibandingkan dengan karyawan yang berpenghasilan lebih tinggi. Dengan demikian, dampak negatif terhadap daya beli akan lebih dirasakan oleh kelompok yang lebih rentan secara finansial.

Senior Economic Policy Analyst Pratama Institute for Fiscal and Governance Gustofan Mahmud menyatakan bahwa Tapera berpotensi menurunkan disposable income atau take home pay, yang tentunya akan menurunkan angka konsumsi masyarakat. Menurutnya, tujuan Tapera juga masih belum jelas.

“Tujuannya apa? apakah untuk mengatasi housing backlog atau untuk apa? Sebenarnya kalau housing backlog kan udah ada KPR subsidi yang ditujukan untuk masyarakat berdaya beli rendah, lalu Tapera ini tujuannya untuk apa?” Ungkap Gustofan (31/05/2024).

Gustofan menambahkan bahwa tidak ada pihak yang diuntungkan dari kebijakan ini. Menurutnya, jika dibanding BPJS ketenagakerjaan dan kesehatan masih lebih jelas penerapannya ketimbang program Tapera ini.

Gustofan menambahkan, ”Tapera ini kedudukannya sebagai apa? Kalau BPJS jelas, bisa dipakai kalau kita sakit, atau kalau kena PHK bisa diambil untuk kebutuhan hidup, Tapera ini untuk apa? Kan uangnya nggak bisa diambilkan, harus buat beli rumah kan? Berarti ada kesejahteraan yang hilang, uang yang keluar dari pekerja dan pemberi kerja untuk apa dan untuk siapa? Apa untuk pekerja, pemberi kerja, atau pemerintah?” Kata Gustofan (31/05/2024).

Tanggapan Pemerintah

Dikutip dari berbagai sumber, Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial (PHI) dan Jaminan Sosial Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Indah Anggoro Putri, menyampaikan, ketentuan Tapera memang akan berlaku wajib bagi seluruh pegawai. Termasuk pekerja swasta, pegawai BUMN, BUMD, ASN/TNI/Polri dan BUMDes seperti yang tercantum dalam UU 4/2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat. “Nantinya, aturan teknis untuk pekerja swasta akan diatur dalam Peraturan Menaker,” ujar Indah.

“Tapera tujuannya menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pembiayaan perumahan dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau bagi peserta,” kata Indah (28/5/2024).

Sementara itu, bagi pekerja yang sudah memiliki rumah, Tapera dapat digunakan sebagai dana renovasi. Putri juga menyatakan bagi yang sudah memiliki rumah dana Tapera bisa diambil ketika peserta pensiun atau berakhirnya masa kepesertaan. Untuk pemberi kerja swasta, diingatkan wajib mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta Tapera paling lambat 2027.

Tags: Joko WidodoKemenakerKemenkeuTapera
Share65Tweet41Send
Previous Post

Apa Boleh Membetulkan SPT setelah Penerbitan SP2DK ?

Next Post

Kalender Pajak Juni 2024

Lambang Wiji Imantoro

Lambang Wiji Imantoro

Related Posts

Kurfa Laffer dan relevansinya perpajakan di Indonesia
Analisis

Relevansi Kurva Laffer bagi Perpajakan Indonesia

20 Juni 2025
Sumber: Freepik
Artikel

Memahami Perbedaan Standar Assurance Laporan Keberlanjutan

16 Juni 2025
Sumber: Freepik
Artikel

Menanti Panduan Pelatihan ESG Nasional

2 Juni 2025
Artikel

Perpajakan Berkelanjutan di Era IFRS S1 dan S2

2 Juni 2025
Sumber: Freepik
Analisis

Pajak untuk Pemerataan Literasi

30 Mei 2025
Sumber: Freepik
Artikel

Peneliti PRINS Berbagi Perspektif Terkait Pajak Daerah dan Cukai MBDK

28 Mei 2025
Next Post
kalender pajak juni 2024

Kalender Pajak Juni 2024

Bagaimana Pengenaan PPN atas Jasa Freight Forwarding?

Perlukah BPN atau BOPN

Perlukah Membentuk Badan Otorita Penerimaan Negara (BOPN)?

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Instansi Anda memerlukan jasa berupa kajian kebijakan fiskal, pajak dan retribusi daerah, penyusunan naskah akademik, ataupun jasa survei?

Atau, Perusahaan Anda membutuhkan pendampingan dalam menyusun Laporan Tahunan (Annual Report) atau Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report)?

Konsultasikan kepada ahlinya!

MULAI KONSULTASI

Popular News

  • Jika Suami Tidak Berpenghasilan, Berapa Besarnya PTKP Istri?

    1469 shares
    Share 588 Tweet 367
  • Batas Waktu Pengkreditan Bukti Potong PPh Pasal 23

    957 shares
    Share 383 Tweet 239
  • Apakah Jasa Angkutan Umum Berplat Kuning Dikenai PPN?

    932 shares
    Share 373 Tweet 233
  • Apakah Pembelian Domain Website dikenakan PPh Pasal 23?

    779 shares
    Share 312 Tweet 195
  • Iuran BPJS dikenakan PPh Pasal 21?

    737 shares
    Share 295 Tweet 184
Copyright © 2025 PT Pratama Indomitra Konsultan

Pratama Institute

Logo Pratama Indomitra
  • Antam Office Tower B Lt 8 Jl. TB Simatupang No. 1 Jakarta Selatan Indonesia 12530
  • Phone : (021) 2963 4945
  • [email protected]
  • pratamaindomitra.co.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Konsultasi
  • ESG
  • Insight
    • Buletin
    • In-depth
    • Working Paper
  • Analisis
    • Artikel
    • Opini
    • Infografik
  • Publikasi
    • Buku
    • Jurnal
    • Liputan Media
  • Jasa Kami
    • Annual Report
    • Sustainability Report
    • Assurance Sustainability Report
    • Kajian Kebijakan Fiskal
    • Kajian Potensi Pajak dan Retribusi Daerah
    • Penyusunan Naskah Akademik
    • Analisis Ekonomi Makro
    • Survei
    • Konsultasi Pajak Komprehensif
  • Tentang Kami
    • Kontak Kami

© 2025 Pratama Institute - All Rights Reserved.