Ringkasan Jawaban
Pembahasan Lengkap
Terima kasih Bapak Abraham atas pertanyaannya. Untuk menjawab pertanyaan mengenai penggunaan jasa pengacara di Vietnam, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai prinsip pengenaan PPN di Indonesia. Sistem PPN di Indonesia menganut prinsip destinasi (destination principle). Prinsip destinasi diartikan bahwa PPN dikenakan atas konsumsi barang atau pemanfaatan jasa yang terjadi di dalam daerah pabean. Jadi, meskipun barang atau jasa tersebut berasal dari luar Indonesia, tetapi dikonsumsi atau dimanfaatkan di Indonesia maka tetap terutang PPN di Indonesia. Ketentuan tersebut diatur di dalam Pasal 4 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah s.t.d.t.d. UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (“UU PPN“), sebagai berikut:
“(1) Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:
1. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
2. impor Barang Kena Pajak;
3. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
4. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
5. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
6. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
7. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
8. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.”
Pasal 4 ayat (1) UU
Sehubungan dengan studi kasus Bapak Abraham, meskipun pemberian jasa pengacara dilakukan di Vietnam untuk permasalahan di Vietnam, tetapi sesuai dengan prinsip destinasi, pihak yang mendapatkan manfaat atas jasa tersebut adalah perusahaan di Indonesia yaitu PT X. Dengan demikian, PPN atas jasa pengacara tersebut harus tetap dipungut di Indonesia karena dianggap sebagai pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean seperti yang disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e UU PPN. Sesuai ketentuan tersebut, PPN harus dipungut dan disetorkan sendiri oleh PT X sebagai pihak yang mendapatkan manfaat atas jasa pengacara.
PPN atas Jasa Freight Forwarding
Kemudian, terkait pertanyaan PPN atas jasa Freight Forwarding dapat dilaksanakan berdasarkan kontrak yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait. Freight Forwarding sendiri merupakan kegiatan usaha yang ditujukan untuk mewakili kepentingan pemilik untuk mengurus semua/sebagian kegiatan yang diperlukan bagi terlaksananya pengiriman dan penerimaan barang melalui transportasi darat, laut, dan/atau udara, yang dapat mencakup kegiatan penerimaan, penyimpanan, sortasi, pengepakan, penandaan, pengukuran, penimbangan, pengurusan penyelesaian dokumen, penerbitan dokumen angkutan, perhitungan biaya angkutan, klaim, asuransi atas pengiriman barang serta penyelesaian tagihan dan biaya-biaya lainnya berkenaan dengan pengiriman barang-barang tersebut sampai dengan diterimanya barang oleh yang berhak menerimanya.
Pada umumnya, pihak-pihak yang melakukan transaksi yang menggunakan jasa Freight Forwarding akan membuat kontrak untuk menentukan pembebanan biaya atas jasa ini. Jika jasa Freight Forwarding dibebankan kepada penerima barang, maka PPN akan dipungut kepada penerima barang. Sebaliknya, jika berdasarkan kontrak jasa Freight Forwarding dibebankan kepada penjual barang, maka PPN akan dipungut kepada penjual.
Dari kasus Bapak Abraham diketahui bahwa biaya atas jasa Freight Forwarding dari tangan penjual, dalam hal ini PT X, sampai dengan Pelabuhan Tanjung Perak ditanggung oleh PT X. Dengan demikian, seharusnya PPN dipungut sebesar 11% dari dasar pengenaan pajak (“DPP”).
Untuk jasa Freight Forwarding sendiri, perhitungan PPN-nya berdasarkan DPP Nilai Lain yang diatur di dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 121/PMK.03/2015 (“PMK-121/2015”). DPP Nilai lain atas jasa Freight Forwarding yaitu sebesar 10% dari jumlah yang ditagih sebagaimana diatur dalam Pasal 2 huruf m PMK-121/2015.
“Pasal 2
Nilai Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ditetapkan sebagai berikut:
m. untuk penyerahan jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) yang di dalam tagihan jasa pengurusan transportasi tersebut terdapat biaya transportasi (freight charges) adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau seharusnya ditagih.”
Pasal 2 huruf m PMK-121/2015.
Kesimpulannya, biaya jasa Freight Forwarding yang ditanggung PT X dikenakan PPN dengan tarif 11% dari DPP. Kemudian berdasarkan Pasal 2 huruf m PMK-121/2015, DPP dari Freight Forwarding adalah 10% dari jumlah yang ditagih. Dengan demikian, tarif efektif PPN dari freight forwarding adalah 1,1% dari jumlah yang ditagih. PPN atas jasa Freight Forwarding ini harus dipungut oleh perusahaan Freight Forwarding apabila sudah berstatus sebagai PKP.